https://news.detik.com/kolom/d-4705049/fast-fashion-budaya-konsumtif-dan-kerusakan-lingkungan?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.4664051.1782879471.1568398531-1816293670.1568398531
Jumat 13 September 2019, 14:10 WIB
Kolom
"Fast Fashion", Budaya Konsumtif, dan
Kerusakan Lingkungan
Veronica Kadista Putri - detikNews
<https://connect.detik.com/dashboard/public/veecha>
Veronica Kadista Putri <https://connect.detik.com/dashboard/public/veecha>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-4705049/fast-fashion-budaya-konsumtif-dan-kerusakan-lingkungan?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.4664051.1782879471.1568398531-1816293670.1568398531#>
Tweet
<https://news.detik.com/kolom/d-4705049/fast-fashion-budaya-konsumtif-dan-kerusakan-lingkungan?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.4664051.1782879471.1568398531-1816293670.1568398531#>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-4705049/fast-fashion-budaya-konsumtif-dan-kerusakan-lingkungan?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.4664051.1782879471.1568398531-1816293670.1568398531#>
0 komentar
<https://news.detik.com/kolom/d-4705049/fast-fashion-budaya-konsumtif-dan-kerusakan-lingkungan?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.4664051.1782879471.1568398531-1816293670.1568398531#>
Fast Fashion, Budaya Konsumtif, dan Kerusakan Lingkungan Membeli baju
bekas berkontribusi pada pencegahan kerusakan lingkungan (Foto: Grandyos
Zafna)
*Jakarta* -
Mulai hari pertama di bulan September hingga 26 hari ke depan setelahnya
Oxfam Great Britain (GB) mengadakan kampanye #SecondHandSeptember di
media sosial Instagram dan Twitter. Mangangkat /tagline/ "/saying no to
new/", organisasi nirlaba ini mengajak warga dunia untuk hanya membeli
pakaian bekas, /vintage/, /thrift/, atau hasil daur ulang untuk
mengurangi konsumsi fesyen yang memberi masalah terhadap keberlangsungan
lingkungan dan penghuninya. Setiap minggu akan diundi satu orang
pemenang beruntung yang mengikuti kampanye ini dengan cara mengunggah
foto pakaian "/saying no to new/" kesukaannya.
Pemilihan isu dalam kampanye itu memang penting dan sudah seharusnya
menjadi perhatian oleh masyarakat yang peduli terhadap lingkungan. Namun
yang tidak kalah krusial adalah bagaimana semua orang dapat melihat
hubungan aspek ekologi dan ekonomi politik yang terjadi di belakang
industri fesyen khususnya /fast fashion/ sebagai penyumbang kerusakan
lingkungan yang utama di sektor industri tersebut.
Dalam persoalan lingkungan yang menjadi dampak ikutan dari faktor di
luar sistem --kapitalisme industri/fast fashion--/ munculnya kerusakan
tidak datang secara tiba-tiba. Semuanya terjadi secara terstruktur dan
terkesan alami sehingga rantai eksploitasi terhadap alam terus berlanjut
tanpa disadari oleh sebagian besar konsumen dari industri fesyen yang
utamanya dari negara berkembang. Meminjam istilah Andre Gunder Frank,
semua dimungkinkan dengan adanya konstelasi sistem kapitalis dunia yang
tercipta dalam hubungan negara satelit dan metropolis, meskipun konteks
masyarakatnya bukan lagi tinggal di masa kolonialisme.
Negara berkembang menjadi alat pengisap kapital atau surplus ekonomi
dari dalam negaranya sendiri menuju saluran yang bermuara di dunia
metropolis melalui konstruksi sub pemerintahan kolonial yang digantikan
sedemikian rupa dengan pabrik garmen lokal sebagai tempat produksi,
penyedia bahan produksi, dan tenaga kerja murah. Bahkan juga menjadi
tempat pemasaran produksi pakaian tersebut.
Berdasarkan data Fastretailing, Statista, dan Inditex antara tahun
2015-2016 jumlah toko retailer /fast fashion/ besar --rata-rata berasal
dari Eropa dan Amerika-- seperti kelompok merek Inditex, H&M, dan Uniqlo
yang tersebar di seluruh dunia mencapai ribuan gerai. Uniqlo bahkan
berencana membuka 100 toko setiap tahunnya di China.
Orientasi kapitalis adalah perolehan laba sebanyak-banyaknya sehingga
mereka memasarkan produk dengan sedemikian rupa agar konsumen terbuai
dalam budaya konsumtif. Secara eksplisit, karakteristik kapitalis
tersebut sebenarnya telah melekat pada konsep /fast fashion/ sendiri.
Mengutip Terry Muthahari (2018), istilah /fast fashion/ digunakan untuk
mendeskripsikan koleksi busana murah mengikuti tren merek-merek
mentereng yang diproduksi dalam waktu cepat. Artinya, kapitalisme
membujuk konsumen untuk melakukan pembelian terus-menerus karena tren
fesyen modelnya selalu /up to date,/ jauh lebih cepat dari peluncuran
produk musiman.
Belum lagi harga yang murah kemudian mendukung iklim konsumerisme yang
dikehendaki oleh pelaku industri tersebut. Hasilnya, terjadi peningkatan
jumlah konsumsi rata-rata busana sebanyak 60% setiap tahunnya (McKinsey,
2016). Kombinasi perilaku kapitalis di industri /fast fashion/ dan
budaya konsumtif yang dibawanya pada masyarakat berakibat terhadap
polusi yang menyebabkan kerusakan lingkungan.
Di sisi produksi, agar bisa memproduksi pakaian-pakaian lebih cepat,
banyak, dan harganya murah kapitalis industri /fast fashion/ berupaya
menekan sekecil mungkin biaya produksi. Selain mencuri nilai lebih dari
upah yang seharusnya diterima oleh para pekerja, kapitalis ini
mengalihkan biaya penanganan limbah tekstil dan residu pembakaran bahan
bakar batu bara yang beracun kepada lingkungan. Greenpeace pada 2017
menyatakan bahwa limbah tersebut tidak dapat dianggap remeh terhadap
pencemaran lingkungan dan mengancam kehidupan masyarakat di
negara-negara berkembang.
Demam produksi untuk memenuhi kebutuhan pasar dunia yang berlebihan
bahkan membuat permasalahan lingkungan lainnya: kelebihan produksi yang
berakibat pembakaran stok pakaian tidak terjual seperti oleh retailer
H&M pada 2017 (sekitar 19 ton atau setara 50.000 /jeans/) dan stok
Burberry pada 2018 (senilai 38 juta dolar AS).
Budaya konsumtif yang menjangkiti konsumen /fast fashion/ juga
menyebabkan sampah /over/-konsumsi. Pada suatu kesempatan, Elizabeth
Cline, penulis buku /Overdressed:/ /The Shockingly High Cost of Cheap
Fashion/ mengatakan bahwa pakaian murah sering kali berakhir di tempat
sampah. Keterjangkauan harga dan cepatnya produksi model busana terbaru
membuat pergeseran nilai guna dari pakaian menjadi menomorsatukan nilai
tanda sebagai bentuk identitas sosial. Oleh karena itu, ketika bosan
(padahal terhitung tidak lama menggunakannya) konsumen tidak merasa
sayang membuang isi lemarinya untuk diisi dengan koleksi terbaru yang
dikeluarkan oleh retailer /fast/ /fashion/.
Selama ada permintaan untuk /fast fashion/ dari sisi konsumen, maka
rantai kerusakan lingkungan oleh industri fesyen akan terus berlanjut.
Apalagi dalam konteks masyarakat yang terintegrasi dengan sistem
kapitalistik global, budaya konsumtif telah mengaburkan kesadaran kita
untuk mengaitkan perilaku konsumtif khususnya dalam hal konsumsi pakaian
dengan sumbangan pola produksi pakaian cepat, banyak, murah dan sekali
pakai terhadap keberlanjutan kelestarian lingkungan.
Penyelesaian persoalan lingkungan bukan lagi hanya tentang mengatur
perilaku individu per individu dalam berinteraksi dengan lingkungan,
melainkan perlu memutus campur tangan sistemik dari kerja kapitalisme
modern yang turut menentukan dan membentuk perilaku individu yang
bersifat destruktif terhadap lingkungan untuk menguntungkan segelintir
orang saja. Konsumen harus lebih kritis dan selektif lagi agar tidak
membeli pakaian-pakaian baru tanpa pertimbangan utilitas dan
memperhatikan komitmen merek yang memproduksi pakaian kesukaannya
terhadap biaya sosial dan penanganan limbah hasil sampingan dari proses
produksi.
*(mmu/mmu)*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*