Ada tiga cerita Dahlan Iskan yang cukup menarik - Belfast Dublin, Mendengar Menjawab dan Heboh Sendiri. Selamat membaca di akhir minggu.
Belfast Dublin Oleh Dahlan Iskan Selasa, 17 September 2019 – 09:39 WIB jpnn.com - Heboh di sana, sunyi di sini. Saya pun ke perbatasan itu. Di London bukan main serunya. Pembahasan perbatasan itu. Antara Irlandia Utara (Inggris) dan Republik Irlandia (anggota Uni Eropa) itu. Sampai seorang perdana menteri mundur --Theresa May. Perdana menteri lainnya mau mati di parit --Boris Johnson. Saya pun ke perbatasan itu. Berangkat dari Belfast, ibu kota Irlandia Utara. GPS di mobil tidak menyediakan kata 'perbatasan'. Sebagai pilihan tujuan. Ada satu kota kecil sebelum perbatasan. Namanya: Newry. Namun masih agak jauh dari tujuan saya. Mau tidak mau saya masukkan kata 'Dublin' di GPS itu. Jalan menuju Dublin itulah yang akan melintasi perbatasan. Namun itu berarti saya harus masuk ke negara lain --ke Republik Irlandia. Dublin adalah ibu kotanya. Ya, sudah. Lakukan saja. Ikuti GPS. Ke arah selatan. Begitu mobil melewati Kota Newry, saya mulai waspada. Semestinya 15 menit kemudian tiba di perbatasan itu. Begitulah menurut peta yang saya ukur sendiri. Tidak ada lagi desa. Apalagi kota. Newry adalah kota terakhir di wilayah Inggris. Tidak pula terlihat lagi rumah. Atau ternak. Yang ada hanya tanah bergunduk-gunduk. Belum memenuhi syarat untuk disebut berbukit-bukit. Kanan kiri tanah kosong. Hijau. Pepohonan tidak terlalu lebat. Mungkin kini sudah waktunya memasuki perbatasan. Oh, itu dia tandanya. Hanya satu papan di kiri jalan. Saya tidak sempat membaca lengkap. Jalan ini terlalu mulus. Semua mobil berjalan cepat. Kalau saya melambatkan mobil terasa aneh. Apalagi hanya untuk membaca kata di papan kecil itu. Saya juga tidak sempat memotret sambil nyetir. Intinya, ini bukan seperti perbatasan. Tidak ada yang peduli. Kendaraan dari utara ramai ke selatan. Yang dari selatan ramai ke utara. Jalannya empat lajur. Dua menuju Selatan, dua menuju Utara. Terus, bagaimana saya ini. Apa yang harus saya lakukan. Setelah melihat perbatasan. Bahkan melewatinya. Tidak mungkin balik ke Belfast. Tidak ada u-turn. Tidak bisa putar balik. Tidak pula ada persimpangan. Ya sudah. Lanjut. Ke Dublin. Tidak ada pemeriksaan apa-apa. Tidak ada tanda apa-apa. Pun tidak ada petugas. Tidak ada yang peduli. Batas antar-negara ini tanpa batas. Satu jam kemudian saya sampai di Dublin. Makan siang di situ. Harus mencari tempat parkir dulu. Dua jam Rp 350.000, padahal mobilnya sedan kecil Ford. Habis makan saya balik ke Irlandia Utara. Ini pertama kali saya ke Dublin. Ups, ini sebenarnya yang kedua, tetapi yang pertama dulu hanya mampir. Bersama Ir. Misbahul Huda. Ia manajer percetakan. Saat kami mendarat di Dublin --dari Frankfurt, Jerman-- hari sudah senja. Dari bandara kami langsung ke pelosok jauh. Ke kota Kabupaten Limerick. Tiba di Limerick sudah jam 23.00 --pukul twenty three hundred. Langsung meninjau percetakan koran di pelosok itu. Waktu itu kami selalu bersemangat. Kalau mendengar ada teknologi baru di bidang surat kabar. Di Limerick-lah kami mendengar ada mesin cetak jenis baru: kecil tetapi mampu cetak warna. Bisa 16 halaman sekaligus. Rasanya mesin itu akan cocok untuk koran-koran di daerah. Di kabupaten itu pula kami bermalam. Hanya beberapa jam. Di sebuah hotel yang seperti rumah. Pagi-pagi kami balik ke Dublin. Langsung ke bandara. Balik ke Jakarta via Frankfurt. Saya pernah ke Dublin tapi belum ke Dublin. Baru kali ini saya bisa muter-muter Kota Dublin Ini bukan Inggris. Kota lain. Negara lain. Mata uangnya juga lain. Secara tidak terencana kok saya tiba di Dublin. Jadi, mau diapakan perbatasan itu? Setelah Inggris keluar dari Uni Eropa pada 31 Oktober nanti? Akankah dipasangi kantor imigrasi? Di selatan perbatasan dan di utaranya? Akankah dilakukan pemeriksaan atas semua kendaraan yang lewat? Itulah yang jadi perdebatan. Brexit tinggal 50 hari lagi. Membangun tenda darurat pun tidak akan bisa selesai. Apalagi membangun gedung -- dan fasilitas teknologi imigrasinya. Perbatasan itu begitu naturalnya sekarang ini. Politiklah yang membuatnya absurd.(***) JPNN.com Mendengar Menjawab Oleh Dahlan Iskan Kamis, 19 September 2019 – 04:14 WIB jpnn.com - Hong Kong mau punya Gurkha lagi. Seperti di zaman penjajahan Inggris dulu. Gurkha baru ini juga akan dipekerjakan sebagai aparat keamanan. Namun khusus untuk di stasiun-stasiun MTR --kereta bawah tanah. Mengapa? Selama hampir 100 hari ini banyak stasiun MTR yang dirusak demonstran. Setidaknya 40 stasiun yang jadi sasaran kemarahan pedemo. Banyak petugas keamanan MTR yang mudah terpancing. Mereka mudah marah. Terutama kalau terus diejek dan dimaki demonstran. Petugas keamanan itu akan digantikan oleh Gurkha. Agar tidak mudah tersinggung. Agar tidak terjadi bentrok. Di zaman penjajahan dulu, Inggris memang mempekerjakan Gurkha. Sebagai tentara Inggris di Hong Kong. Pasukan Gurkha itu sudah dibubarkan. Sudah tidak ada lagi. Sejak Inggris menyerahkan Hong Kong ke Tiongkok. Tahun 1997. Istilah pasukan Gurkha terkenal di Indonesia. Terutama di sekitar Pertempuran 10 November 1945. Yang lantas menjadi Hari Pahlawan itu. Waktu itu Inggris kembali ke Indonesia. Setelah Jepang kalah di Perang Dunia ke-2 dan meninggalkan Indonesia. Inggris merasa berhak menguasai kembali Indonesia. Pasukan Inggris tiba di Tanjung Perak Surabaya. Sebagian besar mereka adalah tentara Gurkha. Yakni tentara berkebangsaan Nepal. Orang Indonesia, umumnya mengira Gurkha itu berasal dari India. Wajah mereka memang sangat mirip. Nepal memang satu rumpun dengan India. Letaknya pun berbatasan dengan India. Sekarang pun masih banyak eks Gurkha yang tinggal di Hong Kong. Beserta keluarga mereka. Menurut sensus 2011, masih ada 25.000 warga Nepal tinggal di Hong Kong. Menjadi warga negara Hong Kong. Mereka itulah yang akan direkrut menjadi petugas keamanan MTR. Menghadapi demo yang tidak kunjung berakhir itu CEO MTR nekad. "Kami akan merekrut sekitar 200 Gurkha," kata Jacob Jam, sang CEO. Mengapa? "Mereka kan tidak mengerti bahasa Kanton. Tidak mudah terpancing," ujar Jacob. Makian para demonstran itu umumnya memang dalam bahasa Kanton. Kata 'anjing', 'babi', 'preman' sering ditujukan pada mereka. Petugas keamanan MTR sering terpancing. Lalu melawan. Akibatnya kian rusuh. Orang Gurkha tidak akan tersinggung dimaki-maki sebagai anjing --kan tidak mengerti kata anjing dalam bahasa Kanton. Tentara Gurkha juga dianggap lebih tegas. Mereka tidak punya banyak teman atau kenalan. Siapa pun yang melanggar bisa ditindak. Orang Hong Kong juga bisa lebih segan. Terbukti dulu, penjajah Inggris sukses menjaga keamanan Hong Kong dengan menggunakan Gurkha. Namun Gurkha Hong Kong umumnya sudah pensiun. Yang masih muda di tahun 1997 pun kini sudah dalam usia pensiun. Namun Jacob akan tetap mempekerjakan mereka. "Demonstran itu tidak hanya merusak. Mereka juga banyak yang loncat portal. Menghindari pembayaran," ujar Jacob. Tanggal 17 September ini demo di Hong Kong genap 100 hari. Kian brutal pula. Sampai pekan lalu sudah 1.453 yang ditahan. Termasuk 280 wanita. Polisi sudah menggunakan 2.414 tabung gas airmata. Tapi demo belum surut. Memasuki hari ke 100 ini memang ada tren baru: demo nyanyi. Lagunya Glory of Hong Kong --lagu perjuangan para demonstran. Tempat nyanyinya di mal. Biasanya dilanjutkan dengan lagu-lagu gereja. Inti dari gerakan ini memang para aktivis gereja juga. Aktivis pro-Tiongkok ganti menyanyi. Lagu kebangsaan Tiongkok. Di mal yang sama. Sambil mengibarkan bendera RRT. Saling adu lagu ini hanya tiga hari. Setelah itu justru saling adu fisik. Antara yang pro-demonstran dan yang anti. Padahal asyik juga kalau perlawanan ini hanya sebatas saling serang dalam bentuk lagu. Joshua Wong sendiri sudah sampai di Washington DC. Tokoh demo berumur 22 tahun itu sudah menemui anggota Kongres. Yang merancang usulan UU demokrasi dan kebebasan di Hong Kong. Yang usulan itu sudah ditandatangani 40 anggota Kongres dan Senat "Itu hanya menegaskan bahwa memang ada campur tangan asing di Hong Kong". Begitu penilaian juru bicara Kemlu Tiongkok. Lebih dari itu, Tiongkok juga mengingatkan "Tidak mungkin Barat bisa menolong kalian, karena mereka sudah repot dengan diri sendiri". Intinya: belum ada titik terang di Hong Kong. Tiongkok belum mau turun tangan --menjaga komitmen perjanjian penyerahan Hong Kong tahun 1997. Pemerintah Hong Kong tidak menunjukkan tanda-tanda tunduk pada tekanan demonstran. Para pndemo masih berpegang pada lima tuntutan mereka. Yang demo tidak mau mendengar pemerintah. Pemerintah tidak mau mendengar demo. Saya teringat ucapan tokoh masa lalu: banyak orang mau mendengar. Tapi mendengar hanya untuk menjawab, bukan mendengar untuk memahami.(***) PNN.com Heboh Sendiri Oleh Dahlan Iskan Sabtu, 21 September 2019 – 05:50 WIB jpnn.com - Ada yang gatal tangan. Ingin sekali agar Iran diserang. Namun ia sendiri tidak mau melakukan. Inginnya: Amerika-lah yang menyerang Iran. Atau Israel. Atau siapa saja. Asal jangan negaranya. Itulah Arab Saudi. Tangan Saudi kian gatal. Minggu lalu. Ketika instalasi minyaknya diserang drone. Dengan sangat masifnya. Padahal itu instalasi terbesarnya. Milik Aramco. Perusahaan Amerika yang sudah dibeli sepenuhnya oleh Saudi. Minyak Aramco adalah juga sumber utama bahan baku kilang kita yang di Cilacap. Yang desainnya memang dicocokkan untuk produk Aramco. Serangan drone itu sendiri bukan yang pertama, tetapi yang terbesar. Yang menyerang juga sudah mengaku: pejuang Houti. Dari Yaman. Yang anti-Saudi. Terutama sejak Saudi menyerang Yaman. Lima tahun lalu. Houti dianggap memberontak Pemerintah Yaman yang didukung Saudi. Namun Houti berhasil menahan serangan militer Saudi. Bahkan ibu kota Yaman, San'a, sepenuhnya bisa direbut Houti. Sampai sekarang. Perang Yaman ini tercatat sebagai gebrakan penguasa baru Arab Saudi: Pangeran MbS --Mohamad bin Salman. Yang saat itu usianya baru 28 tahun. Gebrakan lain adalah menangkap keluarganya sendiri. Para sepupunya. Menahan mereka. Dengan tuduhan korupsi. Lalu, yang itu. Terbunuhnya wartawan Jamal Khashoggi. Yang dibunuh di konsulat Saudi di Istanbul, Turki --saat Jamal diantar calon istrinya ke konsulat itu untuk mendapat surat-surat persyaratan menikah. Mayatnya pun sampai dihilangkan. Dan gedung konsulat itu sekarang juga akan dihilangkan --ditawarkan untuk dijual. Menurut Arab Saudi, Iran-lah yang mendukung pejuang Houti di Yaman. Mana mungkin bisa sekuat itu. Yaman itu kecil. Miskin. Saudi itu besar. Kaya raya. Namun Houti yang menang. Setidaknya belum kalah. Bahkan justru menyerang ke jantung kehidupan Saudi. Iran selalu menolak tuduhan di balik Houti. Namun Iran juga siap untuk perang --kalau Amerika sampai menyerang. Sebenarnya Amerika sudah getem-getem. Ingin sekali segera menyerang Iran. Sejak drone Amerika dijatuhkan Iran. Tidak jadi. Juga sejak kapal tangker minyak Inggris ditahan Iran. Tidak jadi. Lalu ada serangan drone yang masif ke instalasi minyak Aramco itu. Juga tidak jadi. Ups, jadi. Ups, tidak jadi. Ups, entahlah. Sebenarnya banyak juga tokoh di sekitar Presiden Donald Trump yang juga gatal tangan. Misalnya John Bolton. Penasihat keamanan nasionalnya. Keinginan Bolton perang terus. Kumisnya yang kaku dan panjang itu seperti kian mirip paku saja --dan kian memutih. Namun Trump justru memecatnya. Minggu lalu. Arab Saudi sendirilah yang mestinya sangat marah. Namun sama sekali tidak ada minat menyerang Iran. Mungkin juga tidak ada keberanian. Internal Saudi memang tidak kuat-kuat amat. Media Barat meramal MbS --kalau pun akan dilantik jadi raja-- bisa jadi raja terakhir. Houti sendiri mengaku serangan dronenya itu sukses karena ada bantuan dari dalam Saudi sendiri. Begitu besar orang asli Yaman yang menjadi penduduk Saudi. Memang sebaiknya Saudi jangan perang. Selesaikanlah dulu Yaman. Mundurlah dari sana. Akibat serangan Saudi itu penderitaan di Yaman luar biasa. Dulu Yaman hanya miskin. Kini miskin dan penuh derita. Vladimir Putin pun bilang begitu. Saat presiden Rusia itu bertemu Recep Tayyip Erdo?an tiga hari lalu. Di Turki. Sampai-sampai Putin mengutip ayat suci Alquran. Surah Ali Imran, ayat 103: "Berpeganglah kalian pada Quran bila...". Secara tidak langsung justru Putin mengingatkan Raja Arab Saudi untuk berpegang pada Alquran. Erdogan setuju itu. Erdogan memang lebih pro-Iran. Lebih anti-Saudi. Untung ada perang dagang Amerika-Tiongkok. Untung pula ada heboh Brexit. Pun untung ada demo sepanjang sepur di Hong Kong. Untung ada semua itu. Kalau tidak, dunia Islamlah yang kelihatan masih terus heboh sendiri di antara mereka.(***)