Rasisme dan Separatisme Papua (Bagian 1)
8 Oktober 2019   
   - 
   - 
   - 
   - 
   - 
Antusias massa rakyat dalam pembebasan Papua Barat dari cengkeraman 
kolonialisme [Foto: Istimewa]
Koran Sulindo – Tindakan rasis ormas tertentu dan oknum aparat keamanan 
terhadap mahasiswa Papua yang terjadi tanggal 16 Agustus 2019, di Surabaya, 
telah menyulut kemarahan dan protes luar biasa dari masyarakat suku bangsa 
Papua dan masyarakat suku bangsa lainnya di Indonesia. Rasisme dan diskriminasi 
tak bisa ditoleransi, harus ditolak dan dilawan. Wajib dan wajar kita mendukung 
manifestasi yang diorganisasi berbagai ormas dan lembaga untuk memprotes dan 
menuntut agar diusut tuntas; dan mereka yang terlibat dalam penghinaan terhadap 
kehormatan saudara-saudara suku bangsa Papua mendapat hukuman setimpal dengan 
kesalahannya.

Rasisme dan diskriminasi merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem ekonomi, 
politik dan sosial yang ada di Indonesia. Itulah salah satu warisan yang 
ditinggalkan oleh kolonialisme Belanda. Pada zaman itu, orang pribumi 
ditempatkan di jenjang paling bawah: warga kelas kambing. Orang Tionghoa, Arab, 
India dan asing lainnya masuk dalam kategori dua. Yang masuk dalam kategori 
pertama adalah orang Belanda dan kulit putih lainnya.

Kategorisasi penduduk berdasarkan ras itu merupakan kebijakan Belanda untuk 
memecah belah dan mengadu domba demi kepentingan ekonomi dan politiknya. Orang 
Tionghoa digunakan Belanda sebagai perantara dalam perdagangan dan agen dalam 
pemungutan pajak terhadap penduduk. Kedudukan ini mendatangkan kemakmuran pada 
sebagian kecil warga Tionghoa yang akhirnya dianggap VOC sebagai saingannya, 
ketika yang belakangan ini mengalami kemerosotan.

Itu merupakan salah satu faktor yang mendorong pembantaian (Chinezenmoord) 
terhadap warga etnis Tionghoa pada 1740. Sekitar 10.000 orang Tionghoa mati 
dibunuh.

Selanjutnya, untuk bisa mengontrol kegiatan orang Tionghoa, VOC mengeluarkan 
passenstelsel yang mengharuskan warga Tionghoa mempunyai surat jalan khusus 
untuk bepergian ke luar distrik di mana mereka tinggal. Wijkenstelsel 
dikeluarkan untuk mengharuskan orang Tionghoa tinggal bersama dalam satu 
perkampungan sendiri. Dari situ datangnya istilah “pecinan”.

Kesenjangan dan peran sebagai agen penjajah dan kaum feodal yang berkuasa dalam 
memungut pajak telah menimbulkan sentimen anti-Tionghoa di kalangan penduduk. 
Hal ini telah memicu kerusuhan di berbagai kota di Jawa, seperti Solo pada 
1912, Kudus pada 1918 dan juga pembantaian warga Tionghoa oleh Raden Ayu 
Yudakusuma di Ngawi pada 1925.

Pada zaman Sukarno, tanggal 10 Mei, 1963, terjadi kerusuhan anti-Tionghoa. 
Mula-mula di Bandung, kemudian menjalar ke kota lain. Dalam kerusuhan itu 
terlihat tangan-tangan kotor imperialis AS yang melalui kaki tangan 
anti-komunisnya bertujuan mendestabilisasi pemerintah yang dianggap terlalu 
dekat dengan RRT dan PKI. Bung Karno bertindak tegas dengan menghukum mereka 
yang terlibat.

Jenderal Suharto yang berkuasa sejak 1965, adalah pewaris terbaik tindakan 
kolonial Belanda terhadap kaum komunis yang dibuang dan dikucilkan di kamp 
konsentrasi Boven Digul untuk waktu tak terbatas. Itu terjadi setelah 
pemberontakan nasional pertama melawan penjajah meletus di 1926. Ia juga 
mewarisi kebijakan kejam Belanda terhadap warga Tionghoa. Puncak kejahatan 
melawan kemanusiaan dilakukan Suharto dengan pembantaian kurang lebih 3 juta 
(jumlah yang diakui sendiri oleh Jenderal Sarwo Edi) orang komunis, buruh, 
tani, pemuda, wanita, kaum intelektual dan pengikut Bung Karno dari berbagai 
grup etnis dan kepercayaan serta warga etnis Tionghoa.

Jadi, di samping orang-orang komunis dan kiri progresif pengikut politik Bung 
Karno, dari segi etnis, warga Tionghoa menjadi sasaran khusus kekejaman 
Suharto. Selain mereka yang sudah menjadi korban pembantaian, pemenjaraan dan 
penghilangan paksa selama periode 65-66, warga etnis Tionghoa di Kalimantan 
Barat dibantai dalam rangka pembasmian terhadap PGRS  (Pasukan Gerilya Rakyat 
Serawak)/Paraku (Partai Rakyat Kalimantan Utara) pada 1967.

Dalam genosida etnis Tionghoa ini, buku Tanjungpura Berdjuang (1977), menyebut 
angka 27.000 orang mati dibunuh, 101.700 orang mengungsi di Pontianak dan 
43.425 di antaranya direlokasi di Kabupaten Pontianak.

Suharto meningkatkan dan memupuk sentimen anti-Tionghoa lebih jauh lagi melalui 
Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 06 Tahun 1967 yang menyeragamkan 
sebutan Cina (sebutan dengan konotasi menghina dan merendahkan) bagi warga 
Tionghoa. Artinya dengan sengaja mereka dipisahkan identitasnya dari orang 
Indonesia lainnya.

Kemudian, kekejaman biadab terhadap warga Tionghoa terjadi lagi pada bulan Mei 
1998. Penjarahan, pembunuhan, pembakaran, perampasan dan pemerkosaan kembali 
menjadikan warga Tionghoa sebagai sasaran empuk para penguasa Orba yang sedang 
dihimpit krisis ekonomi 1998 dan gelombang kemarahan massa rakyat berbagai 
sektor yang selama 32 tahun hidup ditindas, dimarginalisasi, dibodohkan dan 
dipasung hak-hak demokratisnya. Di Jakarta saja, diakui secara resmi sebanyak 
1.188 kehilangan jiwanya.

Saya perlu menampilkan beberapa fakta tentang diskriminiasi dan rasisme 
anti-Tionghoa sejak zaman kolonial Belanda sampai pemerintahan Sukarno dan 
rezim Orba Suharto, untuk mengingatkan kepada saudara-saudara suku bangsa Papua 
dan generasi muda lainnya bahwa diskiriminasi dan rasisme bukan masalah baru 
dan akarnya terletak pada sistem ekonomi, politik dan sosial yang berdominasi 
di Indonesia.

Tanpa sedikitpun ingin mengecilkan perasaan sakit hati dan penderitaan 
saudara-saudara suku bangsa Papua, saya hanya berusaha memperlihatkan dan 
membuktikan bahwa mereka tidak “sendirian” dalam menghadapi perlakuan 
diskriminatif dan rasialis. Diskriminasi dan rasisme yang diderita orang Papua 
tak dapat dibandingkan dengan apa yang diderita warga Tionghoa yang sifatnya 
lebih sistematis, periodik dan berakar dalam. Masih banyak lagi suku bangsa dan 
sektor penduduk yang diperlakukan sangat tidak adil oleh tatanan ekonomi, 
politik dan sosial dan para penguasanya. Misalnya, kaum wanita, kaum LGBT, 
penganut kepercayaan yang bukan Islam, bahkan penganut aliran Islam yang tidak 
diakui oleh mayoritas, korban pembantaian 1965-66 serta keturunannya, korban 
pembunuhan seperti kasus buruh Marsinah, kasus wartawan Udin, kasus Salim 
kancil, kasus Tanjung Priok, Trisakti, kasus Munir, penculikan aktivis 1998.

Pelanggaran berat HAM di Papua membuat daftar itu semakin panjang. Dengan 
ironis, saya dapat mengatakan saudara-saudara Papua tidak punya “hak istimewa” 
untuk perlakuan diskriminatif dan rasis.

Tak satupun dari kejahatan pelanggaran HAM berat dan genosida 1965-66 
diselesaikan oleh pemerintahan para presiden yang berkuasa setelah Suharto 
lengser. Nama presiden bisa berbeda, tapi struktur sistem ekonomi dan politik 
tak berubah. Jenderal Wiranto dan Kivlan Zein saling menantang untuk membongkar 
dalang peristiwa Mei 1998, namun lembaga hukum bermasa bodoh saja dan tak 
terjadi apa-apa. Impunitas berjalan terus.

Reaksi kita terhadap ketidakadilan, kesewenang-wenangan, kekerasan aparat 
negara, diskriminasi dan rasisme sudah tentu tidak sama. Saudara-saudara Papua 
pengikut separatisme serta pendukungnya, nasional maupun internasional, kontan 
menggunakan kejadian di Surabaya itu untuk menggelar berbagai macam demonstrasi 
menuntut kemerdekaan Papua.

Diskriminasi dan rasisme dari pihak penguasa serta aparat dan lembaga 
pemerintah adalah sesuatu yang memang sudah melekat dan salah satu sifat 
hakikinya. Dengan berbagai cara dan jalan kita harus melawannya.

Diskriminasi dan Rasisme
Dalam percakapan dengan Jawa Pos, tanggal 6 Desember 2018, Sebby Sambom, juru 
bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka 
(TPNPB-OPM), dengan terang-terangan menyatakan: ”Serangan kami berlanjut hingga 
revolusi total. Saat ini masih revolusi tahapan serangan kecil ke titik-titik 
tertentu. Saat sampai revolusi tetap, semua warga non-Papua akan kami usir dari 
negeri ini.”

Salah satu poin dalam pernyataan Goliath Tabuni yang mengklaim dirinya sebagai 
Jenderal dan Komando Nasional Tentara Pembebasan Nasional Papua Ba-rat (TPNPB) 
berbunyi sebagai berikut: ”TPNPB dan rakyat bangsa Papua Barat mendukung penuh 
ULMWP menjadi anggota penuh di MSG pada KTT MSG tanggal 21-22 Desember 2016 di 
Vanuatu, dengan alasan bahwa bangsa Papua bukan Melayu, kami adalah ras 
Melanesia.” (Gatra, 8/1/2017).

Pada 3 September 2019, majalahweko.com, Wamena, memuat ultimatum Purom Wenda 
dari TPNPB, agar orang pendatang segera pulang kampung atau ke daerah 
masing-masing dalam waktu satu bulan. Ia mengancam “Apabila imbauan saya ini 
tidak mau mendengar maka kami akan tembak mereka, tidak peduli dia pengusaha 
sipil atau pegawai negeri. Abang ojek juga kami akan tembak.” Di samping itu, 
ia juga minta supaya seluruh mahasiswa Papua di seluruh Indonesia segera pulang 
ke Papua.

Dalam percakapan telepon dengan suara.com , 2 September 2019, Benny Wenda, 
Ketua “United Liberation Movement for West Papua” (ULMWP), menyatakan, di satu 
pihak mengutuk keras diskriminasi rasialis termasuk terhadap bangsa Indonesia, 
namun di lain pihak, menegaskan “bahwa secara ras, geografis, kebudayaan, 
bahasa, kami bangsa Papua berbeda dengan bangsa Indonesia.”

Semua perbedaan yang ia kemukaan itu sama sekali tidak dapat dijadikan alasan 
untuk menuntut referendum dan kemerdekaan Papua. Orang Maluku dan NTT juga 
termasuk ras Melanesia. Artinya, orang Indonesia terdiri dari ras Melayu dan 
ras Melanesia.

Apa maksud Benny Wenda dengan mengatakan secara geografis, bangsa Papua berbeda 
dengan bangsa Indonesia? Wilayah Indonesia terdiri dari ribuan pulau, termasuk 
pulau Papua Barat! Pulau Jawa terpisah dari Pulau Sulawesi, terpisah dari 
Kepulauan Maluku, dan semua pulau-pulau lainnya.

Siapa yang tidak tahu adanya keanekaragaman kebudayaan dan bahasa berbagai suku 
bangsa yang hidup di kepulauan Indonesia? Kebudayaan dan bahasa orang Jawa 
jelas berbeda dengan orang Dayak, orang Bugis, orang Batak dan sebagainya. 
Apakah perbedaan itu merupakan alasan untuk memisahkan diri dari Indonesia dan 
membentuk Republik Dayak, Republik Bugis, Republik Batak?

Justru kenyataan adanya keanekaragaman kebudayaan dan bahasa dari seribu lebih 
suku bangsa yang hidup di kepulauan Nusantara itulah, maka timbul pembangunan 
bangsa atau nation building, sejak pemberontakan nasional pertama melawan 
penjajahan Belanda pada 1926. Disusul kemudian oleh Sumpah Pemuda pada Kongres 
Pemuda Kedua, 1928, yang mendeklarasikan Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu 
Bahasa. Bangsa Indonesia lahir dalam sebuah proses sejarah perjuangan panjang 
melawan penjajahan Belanda. Kemerdekaan bangsa Indonesia dibayar dengan jutaan 
jiwa melayang, penderitaan dan pengorbanan luar biasa rakyat berbagai suku 
bangsa di Nusantara. Sama sekali bukan hadiah atau uluran tangan dan budi baik 
para penguasa kolonial Belanda. [Tatiana Lukman]

Kirim email ke