https://news.detik.com/kolom/d-4737895/revolusi-politik-ruang-publik
Selasa 08 Oktober 2019, 15:00 WIB
Kolom
Revolusi Politik Ruang Publik
Galang Geraldy, M.IP - detikNews
<https://connect.detik.com/dashboard/public/sivitasakademikauwks>
Galang Geraldy, M.IP
<https://connect.detik.com/dashboard/public/sivitasakademikauwks>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-4737895/revolusi-politik-ruang-publik#>
Tweet
<https://news.detik.com/kolom/d-4737895/revolusi-politik-ruang-publik#>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-4737895/revolusi-politik-ruang-publik#>
0 komentar
<https://news.detik.com/kolom/d-4737895/revolusi-politik-ruang-publik#>
Revolusi Politik Ruang Publik Aksi mahasiswa di Surabaya (Foto: Deni
Prasetyo Utomo)
*Jakarta* -
Gelombang aksi mahasiswa di berbagai daerah telah mempengaruhi dinamika
politik Tanah Air. Aksi penolakan revisi UU KPK, RUU KUHP, RUU
Pertanahan, RUU Ketenagakerjaan, dan isu-isu kebakaran karhutla serta
konflik di Papua akhirnya mendapatkan respons dari pemerintah.
Setidaknya ada tiga kebijakan penting dari eskalasi gerakan aksi
mahasiswa. Pertama, menunda pembahasan beberapa RUU pada tingkatan lebih
lanjut. Kedua, mempertimbangkan menerbitkan perppu untuk menggantikan
revisi UU KPK yang telah diketok 17 September lalu. Ketiga, membuka
ruang dialog dengan mahasiswa.
Dari ketiga poin di atas, bila kita amati, pemantik gelombang aksi
mahasiswa adalah kebuntuan komunikasi publik. Tidak ada sinkronisasi
pesan politik antara publik dan pemerintah. Pemerintah masih menggunakan
model kebijakan politik yang elitis dibandingkan partisipatif. Publik
tidak dilibatkan secara substansial dalam proses legislasi dan
kebijakan-kebijakan politik lainnya. Kritik publik tidak mendapatkan
ruang dialog, atau dalam konsep Habermas, tidak ada ruang publik deliberasi.
Kedua, keterwakilan politik publik melalui DPR tidak sepenuhnya diserap
dengan optimal. Distorsi ini telah lama menjadi patologi representasi
politik baik dari skala individu maupun institisional seperti partai
politik. Ini pangkal dari segala persoalan politik demokrasi. Memang
terkesan anomali, jika kita meyakini bahwa nilai-nilai yang terkandung
dalam demokrasi sejatinya berkelindan erat dengan keterbukaan dan
kebebasan nalar publik dalam mendukung dan menuntut kebijakan politik
kepada pemerintah.
Ketersinggungan (kemarahan) publik memuncak karena distorsi keterwakilan
politik publik belum dapat diselesaikan. Distorsi yang sebenarnya bisa
diantisipasi ketika momen demokrasi elektoral (pemilu). Tuntutan pemilu
yang selalu dinilai dari partisipasi publik, dalam hal ini publik
"diwajibkan" untuk mencoblos caleg, cakada, dan capres tidak diikuti
dengan ketersediaan basis data informasi dan media komunikasi dialogis
yang optimal pra-pencoblosan.
Konsekuensinya jelas, publik yang hadir dan mencoblos tidak memiliki
ikatan politik ide, nilai, dan perjuangan yang kuat dan koheren dengan
caleg, cakada, maupun capres. Selanjutnya, apa yang terjadi secara
kontinu ini senantiasa akan memunculkan pola-pola komunikasi asimetris
dan ahistoris. Di tengah-tengah kejumudan politik yang demikian, maka
gerakan aksi massa menjadi instrumen rasional yang dipilih.
*Ambil Momentum
*
Berkaca dari kesalahan pola komunikasi politik yang elitis-vertikal dan
kemunculan gerakan aksi mahasiswa yang masif dan terkoordinasi di
sebagian besar wilayah di Indonesia yang telah menimbulkan korban jiwa,
mari kita ambil momentum tersebut untuk segera melakukan revolusi
politik. Revolusi yang menyangkut perubahan mendasar interpretasi
pemaknaan politik, baik dalam tataran ide maupun laku.
Pertama, mengembalikan nilai dan makna politik sebagai kontestasi
ide-ide rasional antara publik yang kemudian di instrumentalisasi oleh
lembaga-lembaga politik (legitimasi) dalam bentuk kebijakan politik.
Politik yang demikian berarti memberi ruang dialog dan partisipasi untuk
menentukan pilihan-pilihan ide politik yang menyangkut persoalan dan
kebutuhan publik.
Kedua, segera membenahi salah satu pilar sangat vital dalam iklim
demokrasi, yaitu partai politik. Yaitu membenahi kelembagaan partai
politik yang mampu menjadi wadah informasi dan saluran komunikasi
publik,merepresentasikan dukungan dan tuntutan publik terhadap
pemerintah serta menginternalisasi ide-ide dan persoalan politik publik,
Hal ini semakin kuat ketika fungsionalisasi kelembagaan tersebut
berjalan secara koordinatif-struktural dari jenjang paling bawah
(kecamatan) sampai pusat (nasional).
Ketiga, memerankan kampus sebagai ruang dialog publik yang menjunjung
rasionalitas dan akademik. Artinya, kampus menjadi panggung adu narasi
politik yang akademik, yang berbasis pada data, informasi, dan
kajian-kajian yang ilmiah. Proses legislasi yang melalui jenjang
administrasi-politik di pemerintahan, seyogianya juga melibatkan kampus
sebagai ruang uji publik.
Secara teknis, Kemenristedikti harus membuka ruang kerja sama kepada
lembaga pemerintah untuk masuk membincangkan dan membedah segala hal
menyangkut perencanaan, implementasi dan evaluasi kebijakan politik
(regulasi). Hal ini akan semakin kuat dan substansial, tatkala juga
terejawantahkan di level daerah, di mana persoalan dan kebijakan politik
daerah didiskusikan secara masif di kampus-kampus daerah tersebut.
Esensinya adalah segala hal berkaitan dengan kebijakan pemerintah
(politik) sudah sewajarnya menjadi kajian akademik kampus, yang nantinya
juga akan memperkaya khazanah Tri Dharma PT, yaitu materi pengajaran,
penelitian dan pemberdayaan masyarakat. Maka, segala output dari hasil
pembedahan bersama tersebut, memperoleh legitimasi politik yang berbasis
pada akademik.
Kesemuanya itu, di tengah deruan revolusi industri 4.0, akan ditunjang
dengan akselerasi digitalisasi informasi dan komunikasi. Ruang dialog
yang dibangun berdasarkan pemahaman dan pemaknaan bahwa politik adalah
kontestasi ide publik bukan hanya persoalan elitis, diinstrumentalisasi
melalui organisasi politik yang memiliki jejaring luas yaitu partai
politik dengan sistem kelembagaan yang fungsional-struktural, serta
dikaji melalui logika akademik yang berbasis rasionalitas dan ilmiah
akan melahirkan sebuah dimensi dan peradaban politik yang lebih baik
(demokrasi substansial) serta turunannya seperti kebijakan politik dan
orientasi pembangunan lainnya.
*Galang Geraldy, S.IP, M.IP */dosen Ilmu Politik Universitas Wijaya
Kusuma Surabaya/
/*
*/
*(mmu/mmu)
*
**