Jakarta, Beritasatu.com - Sempat beredar tulisan yang dibuat oleh seorang
bernama Restu Bumi dengan judul "JOKOWI DIPASTIKAN TIDAK MENANG PILPRES
2019. Pasalnya, kemenangan Jokowi berdasarkan hasil *quick count,* tidak
memenuhi memenuhi syarat keterpilihan dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945.

Pasal 6A ayat (3) ini berbunyi, *pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam
pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara disetiap provinsi
yang tersebar dilebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia dilantik
menjadi Presiden dan Wakil Presiden.*

Dari norma Pasal 6A ayat (3) tersebut, sebagaimana ditulis Restu Bumi, maka
Jokowi belum otomatis menang karena kemenangannya tidak memenuhi syarat
sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih
dari setengah jumlah provinsi di Indonesia dilantik menjadi Presiden dan
Wakil Presiden.

Benarkah demikian?

Perlu diketahui ketentuan Pasal 6A ayat (3) pernah diatur dalam Pasal 159
ayat (1) UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden (UU Pilpres). Pasal ini kemudian digugat oleh tiga pemohon ke MK
yakni Forum Pengacara Konstitusi, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi
(Perludem), dan dua orang advokat atas nama Sunggul Hamonangan Sirait dan
Haposan Situmorang.

Ketiga pemohon meminta tafsir atas syarat sebaran perolehan suara 20 persen
dalam Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres dihubungkan dengan Pasal 6A ayat (3)
dan (4) UUD 1945 demi kepastian hukum. Namun, putusan permohonan Perludem
dan dua advokat itu dinyatakan *nebis in idem.*

Bunyi Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres menyatakan, *"Pasangan Calon terpilih
adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen dari
jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20
persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah
provinsi di Indonesia"*. Bunyi Pasal ini sama dengan bunyai Pasal 6A ayat
(3) UUD 1945.

Para pemohon menilai Pasal 159 ayat (1) itu multitafsir dan tidak
menyebutkan jumlah paslon yang ikut kompetisi. Jika syarat mendapatkan* "suara
lebih 50 persen dari jumlah suara dengan sedikitnya 20 persen suara di
setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di
Indonesia"* maka akan menimbulkan persoalan kalau paslon yang bertarung
hanya dua.

Ketentuan tersebut akan menimbulkan pemborosan anggaran dan ketidakstabilan
politik.

MK kemudian memutuskan uji materi Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres ini dalam
Putusan 50/PUU-XII/2014 yang dibacakan pada 3 Juli 2014 oleh Ketua MK saat
itu Hamdan Zoelva. Selain Hamdan, uji materi ini diputuskan oleh delapan
Hakim Konstitusi lainnya, yaitu Arief Hidayat, Muhammad Alim, Wahiduddin
Adams, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Maria Farida Indrati, Patrialis
Akbar, dan Aswanto. Dua hakim yang disentting opinion, yakni Wahiduddin
Adams dan Patrialia Akbar.

Dalam pertimbangannya, MK menilai, risalah pembahasan Pasal 6A ayat (3) UUD
1945 tidak membicarakan secara ekspresis verbis apabila pasangan calon
presiden dan wakil presiden terdiri dari dua paslon. Menurut Mahkamah,
dapat ditarik kesimpulan pembahasan saat itu (saat muncul Pasal 6A UUD
1945) terkait dengan asumsi pasangan calon presiden dan wakil presiden
lebih dari dua pasangan calon. Selain itu, atas dasar penafsiran gramatikal
dan sistematis makna keseluruhan pasal 6A UUD 1945 menyiratkan pasangan
calon lebih dari dua pasangan calon.

Karena itu, menurut Mahkamah Konstitusi, jika dari awal hanya ada dua
paslon maka yang menjadi pemenang adalah peraih suara terbanyak. Karena
dari dua paslon pasti akan ada paslon yang meraih suara terbanyak.

Terkait representasi perolehan suara yang harus merata minimal di setengah
provinsi dari seluruh Indonesia, Mahkamah berpendapat bahwa representasi
keterwakilan suluruh Indonesia terpenuhi karena paslon diusung oleh partai
politik nasional yang merepresentasi keterwakilan seluruh daerah di wilayah
Indonesia.

"Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres harus dimaknai apabila terdapat lebih dari
dua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Artinya, jika hanya ada dua
pasangan calon presiden dan wakil presiden, pasangan calon yang memperoleh
suara terbanyak seperti dimaksud Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 tidak perlu
dilakukan pemilihan langsung oleh rakyat pada pemilihan kedua," ungkap
Mahkamah dalam putusan tersebut.

Pada amar Putusannya:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
1.1. Pasal 159 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai tidak berlaku
untuk pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang hanya terdiri dari
dua pasangan calon;
1.2. Pasal 159 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,
sepanjang tidak dimaknai tidak berlaku untuk pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden yang hanya terdiri dari dua pasangan calon;
2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.

Dengan demikian jika mengacu pada Putusan MK 50/PUU-XII/2014, maka
penentuan keterpilihan presiden dan wakil presiden yang diikuti oleh dua
paslon berdasarkan suara terbanyak, tanpa memperhitungkan sebaran 20 persen
suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah
provinsi di Indonesia.

Lalu bagaimana pengaturan dalam  UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU
Pemilu)?

Dalam UU Pemilu, penetapan pasangan calon presiden dan wakil presiden
terpilih diatur dalam Bab XII bagian kesatu, Pasal 416. Jika membaca Pasal
tersebut memang tidak memuat ketentuan yang mengatur soal syarat
keterpilihan presiden dan wakil presiden jika kontestasi hanya diikuti oleh
dua paslon.

Pasal 416
(1) Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara
lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap
provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah provinsi di
Indonesia.

(2) Dalam hal tidak ada Pasangan Calon terpilih sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), 2 (dua) Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak pertama
dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden.

(3) Dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh
oleh 2 (dua) Pasangan Calon, kedua Pasangan Calon tersebut dipilih kembali
oleh rakyat secara langsung dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

(4) Dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh
oleh 3 (tiga) Pasangan Calon atau lebih, penentuan peringkat pertama dan
kedua dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih
luas secara berjenjang.

(4) Dalam hal perolehan suara terbanyak kedua dengan jumtah yang sama
diperoleh oleh lebih dari 1 (satu) Pasangan Calon, penentuannya dilakukan
berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara
berjenjang.

Pada bagian penjelasan juga disebutkan bahwa Pasal 416 sudah cukup jelas
sehingga tidak ada pengaturan spesifik terkait syarat keterpilihan jika
kontestasinya hanya diikut dua paslon.

Ketentuan Pasal 416 UU Pemilu kemudian diatur secara khusus oleh KPU dalam
Peraturan KPU (PKPU) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon
Terpilih, Perolehan kursi dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilu.

Dalam Pasal 3 PKPU 5 Tahun 2019 itu, mengambil sebagian besar ketentuan
yang terdapat pada Pasal 416 UU Pemilu. Namun, pada ayat (7) dari Pasal 3
PKPU 5 Tahun 2019 sudah menyebutkan secara jelas soal pengaturan syarat
keterpilihan presiden dan wakil presiden jika kontestasi hanya diikuti 2
paslon.

Berikut bunyi Pasal 3 PKPU 5 Tahun 2019:
(1) KPU menetapkan Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50%
(lima puluh persen) dari jumlah suara sah dalam Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden sebagai Pasangan Calon terpilih, dengan ketentuan:
a. memperoleh paling sedikit 20% (dua puluh persen) suara di setiap
provinsi; dan
b. perolehan suara sah sebagaimana dimaksud dalam huruf a tersebar di lebih
dari 50% (lima puluh persen) jumlah provinsi di Indonesia.

(2) Dalam hal tidak ada Pasangan Calon yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), KPU menetapkan 2 (dua) Pasangan Calon yang
memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua untuk dipilih
kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden putaran kedua.

(3) Dalam hal berdasarkan perolehan suara terbanyak terdapat 2 (dua)
Pasangan Calon dengan jumlah perolehan suara yang sama, Pasangan Calon
tersebut dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden putaran kedua.

(4) Dalam hal berdasarkan perolehan suara terdapat 2 (dua) Pasangan Calon
dengan jumlah perolehan suara terbanyak yang sama, penentuan peringkat
pertama dan kedua untuk dipilih kembali dalam Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden putaran kedua, dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan
suara yang lebih luas secara berjenjang.

(5) Dalam hal berdasarkan perolehan suara terdapat lebih dari 1 (satu)
Pasangan Calon yang memperoleh jumlah suara terbanyak kedua, penentuan
Pasangan Calon dengan perolehan suara terbanyak kedua dilakukan
berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara
berjenjang.

(6) Perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dan ayat (5) merupakan Pasangan Calon yang unggul di provinsi
dan kabupaten/kota dengan jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang lebih
banyak.

(7) Dalam hal hanya terdapat 2 (dua) Pasangan Calon dalam Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden, KPU menetapkan Pasangan Calon yang memperoleh suara
terbanyak sebagai Pasangan Calon terpilih.


Sumber: BeritaSatu.com

Kirim email ke