Nah sekarang bung sudah tahu ya siapa si OON ini?

Termasuk dimana posisinya yang dikamuflasekan tadinya sbg pahlawan HAM, 
demokrasi dll!!!!

 

Nesare

 

 

From: GELORA45@yahoogroups.com <GELORA45@yahoogroups.com> 
Sent: Thursday, October 10, 2019 3:33 AM
To: Jonathan Goeij jonathango...@yahoo.com [GELORA45] 
<gelor...@yahoogroups..com>; Yahoogroups <temu_er...@yahoogroups.com>
Subject: Re: [GELORA45] Re: Rasisme adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang Papua

 

  

Pencerminan orang yang dengan sengaja "membutakan dan membodohkan"dirinya 
sendiri....pewaris dari gubernur jenderal Van Mook!!

 

On Thursday, October 10, 2019, 01:07:19 AM GMT+2, Jonathan Goeij  
<mailto:jonathango...@yahoo.com> jonathango...@yahoo.com [GELORA45] < 
<mailto:GELORA45@yahoogroups.com> GELORA45@yahoogroups.com> wrote: 

 

 

  

Papua dan Indonesia tidak sama, Indonesia rasis sedang Papua tidak. Karena itu 
depak Papua dari NKRI.

 

 

---In  <mailto:GELORA45@yahoogroups.com> GELORA45@yahoogroups.com, < 
<mailto:ilmesengero@...> ilmesengero@...> wrote :

 <https://tirto.id/rasisme-adalah-masalah-indonesia-bukan-orang-papua-egA9> 
https://tirto.id/rasisme-adalah-masalah-indonesia-bukan-orang-papua-egA9 

 

 Rasisme adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang Papua 

20 Agustus 2019 Dibaca Normal 2 menit Ada bagian dalam diri saya yang tak 
menghendaki tulisan ini dibuat. Saya khawatir apa yang akan saya beberkan di 
sini betul-betul melukai orang Papua, sebagaimana saya merasa terluka dulu.. 
Saya yakin sebagian pokok yang akan saya katakan sudah dipahami betul oleh 
orang Papua, seperti halnya yang saya ingat dari pengalaman tinggal di sebuah 
kota yang dihuni orang-orang non-Papua. Orang-orang Papua selalu dianggap 
"terbelakang" dan "pemabuk". Tak ada pembicaraan tentang sebab-sebab yang 
membuat orang Papua putus asa. Tak ada pembicaraan soal bagaimana negara 
ini—benda asing yang disodorkan secara paksa kepada kami ini—hanya bisa berjaya 
melalui pemiskinan orang Papua, perampasan tanah, penggusuran lapak mama-mama, 
serta gelombang pendatang yang kian besar. Yang paling buruk dari itu semua: 
mereka habis-habisan melucuti kemanusiaan orang Papua. Ada pandangan-pandangan 
tertentu terhadap orang Papua yang sebetulnya enggan saya sebutkan. 
Pandangan-pandangan ini berfokus pada "kekurangan" orang Papua: kurang tata 
krama, kurang pakaian, kurang "cantik" atau "tampan", minim sinyal internet, 
kurang fasih berbahasa Indonesia, hingga kurang "beradab". Keyakinan semacam 
itu sangat familiar. Saking lazimnya dipelihara dan dipraktikkan pada zaman 
penjajahan Belanda. Indonesia hari ini mengulanginya: Percaya bahwa Papua serba 
kekurangan. Dari kepercayaan itu pula keberadaan Indonesia di Papua seolah bisa 
dibenarkan. Itu sebabnya “tertinggal” jadi lema favorit. Karena berangkat dari 
“ketertinggalan”, maka “pembangunan” adalah solusinya. Segala pandangan miring 
terhadap orang Papua ini kita kenali sejak para ilmuwan pasca-kolonial 
(khususnya Frantz Fanon) menamainya “tatapan kolonial” (colonial gaze). Saya 
tidak dibesarkan bersama media sosial sehingga ada masanya ketika saya tak 
memikirkan rasanya menjadi orang Papua di hadapan orang lain, orang-orang di 
luar Sentani. “Tatapan kolonial” tak pernah saya alami sebelum saya 
menginjakkan kaki di Jawa. Saya tak menyadari betapa "terbelakangnya" kami 
orang Papua. Koteka seolah menjadi bukti sahih betapa kami membutuhkan 
pakaian—atau lebih buruk lagi: kami harus diajarkan cara berpakaian. Tinggal di 
luar Papua juga membuat saya berhadapan dengan berbagai stereotip orang Papua. 
Hampir semuanya tak mengenakkan—dan bukan barang baru. Saya sudah mendengar 
bermacam stereotip itu diungkapkan dengan cara-cara lebih santun di Papua. 
Kami, misalnya, dianggap bodoh sampai terbukti sebaliknya. Atau alkoholik atau 
tukang bikin onar hingga terbukti sebaliknya. Selain itu ada kesadaran bahwa di 
luar Papua saya tak menjadi diri sendiri; di luar Papua saya adalah 
representasi masyarakat Papua. Entah bagaimana caranya seakan-akan saya 
bertanggungjawab atas perilaku orang Papua lainnya. Orang merasa nyaman 
menyampaikan pendapat pribadi tentang rupa-rupa masalah orang Papua. Saya sudah 
mendengar masalah-masalah ini sebelumnya. Tapi, karena kali ini saya pendatang, 
mereka tak merasa perlu bersopan santun ketika menunjuk satu per satu masalah 
itu. Anehnya, sebagai orang campuran, saya punya kehidupan lebih baik dari 
mayoritas orang Papua di Indonesia. Karena berkulit terang, yang saya dapati 
cuma remah-remah persoalan yang biasa dihadapi orang Papua berkulit gelap. Saya 
tak pernah dipanggil “monyet”. Kok bisa? Kulit saya lebih cerah. Sekumpulan 
orang Papua berkulit terang seperti saya takkan dipandang sebagai ancaman. Baca 
juga: Sejarah Pepera 1969: Upaya Lancung RI Merebut Papua? Saat sedang 
sendirian di Jakarta, misalnya, saya takkan dituduh "separatis pembuat onar." 
Dalam tatapan kolonial, orang seperti saya mungkin diusung sebagai "orang Papua 
yang pantas"; tak berkulit terlampau gelap (baca: tak kelihatan Papuanya), tak 
berisik, tak tajam tutur katanya, atau tak terlalu percaya diri. Berkat warna 
kulitlah saya terhindar dari hal-hal terburuk yang disodorkan rasisme Indonesia 
(kasus akhir pekan lalu telah membuktikannya). Saya kira orang dengan warna 
kulit seperti yang saya punya ini tidak akan ditangani dengan kekerasan 
sebagaimana yang dialami orang asli Papua. Tapi, warna kulit tak melindungi 
saya dari unsur-unsur rasisme lainnya. Saya mendudukkan Jawa sebagai ibu kota 
kolonialisme Indonesia. Cukup lama saya tinggal di Jawa sampai-sampai ada 
bagian dari diri saya yang menjelma sesuatu yang Fanon takutkan. Saya menjadi 
orang Papua yang menginternalisasi tatapan kolonial itu. Anggapan yang terus 
dijejalkan ke khalayak bahwa orang Papua belum sanggup memerintah bangsanya 
sendiri—ihwal yang menjadi alasan di balik semua stereotip di atas—kerap 
menghantui diri saya. Tentu, kita tahu Indonesia berpikir "orang Papua bodoh", 
"orang Papua terbelakang"—dan daerah yang "terbelakang" tak menghasilkan orang 
pintar. Kami paham Indonesia tak peduli kesejahteraan orang Papua.. Dengan mata 
kepala kami telah menyaksikan kekerasan polisi dan aparat saat membubarkan 
demo-demo orang Papua. Dan kami juga melihat bagaimana banyak orang Indonesia 
santai-santai saja menanggapi kekerasan terhadap orang Papua di Jawa. Kami 
mungkin tak pernah mengira mereka bisa sangat ugal-ugalan rasisnya. Tampaknya, 
selama hari-hari ke depan, kita akan mendengar segudang kisah bahwa pembangunan 
adalah solusi untuk rasisme; pembangunan akan mengangkat martabat orang Papua 
ke taraf kehidupan yang berbeda dari monyet; pembangunan akan mengantarkan kami 
ke puncak antah-berantah di mana tiap orang Papua dihormati. Biarkan saya 
mendahului semua kisah di atas dengan meyakinkan Anda bahwa tidak benar 
pembangunan akan mengakhiri rasisme terhadap orang Papua. Yang punya masalah 
rasisme bukanlah orang Papua, tapi Indonesia. Begitulah contoh tatapan 
kolonial. Jika Indonesia membayangkan orang Papua sudah hidup cukup, 
selanjutnya, mungkin ia akan mengkhotbahi mereka agar bersyukur. -------- 
Diterjemahkan oleh Windu Jusuf dari tulisan berjudul "Papuans, It's Not You, 
It's Them". Versi bahasa Inggris bisa dibaca di sini..


Baca selengkapnya di artikel "Rasisme adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang 
Papua",  <https://tirto.id/egA9> Rasisme adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang 
Papua - Tirto.ID

 




                

        

Rasisme adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang Papua - Tirto.ID


Ligia Judith Giay

Banyak orang Indonesia santai-santai saja menanggapi kekerasan terhadap orang 
Papua di Jawa. Kok bisa?

 

 

 



Kirim email ke