Setelah David Ransom, awal 2000an giliran John Perkins menggemparkan dunia dengan pengakuannya sebagai "prajurit" nekolim (confessions of an economic hit man). Selesai sudah. Kejahatan terorganisir nekolim terbongkar hidup-hidup. Basah kuyup. Sialnya, masih banyak orang yang bersedia mencucuk biji mata sendiri supaya tidak melihat kejahatan yang begitu terang-terangan. Di Indonesia misalnya, banyak sekali orang "buta" yang ternganga kena goyangan kibul Sri Mulyani, tak peduli sekalipun dia pernah kabur dari tugas kenegaraan (menkeu) demi jabatan tinggi di Bank Dunia. Lalu, begitu rezim berganti tiba-tiba dia tinggalkan gaji besar di lembaga dunia itu lantaran (katanya) hatinya terpanggil untuk "menolong" Indonesia. Tentu bukan cuma RR yang sewot dengan "pertolongan" menteri terbaik nekolim itu, semua orang yang diperas macam-macam pajak dan dicekik iuran BPJS juga pada heran, Sri Mulyani ni cerewet betul tentang segala macam persoalan ekonomi Indonesia tetapi jarang sekali dia buka mulut soal kondisi kehidupan di Papua. Mentri terbaik... --- lusi_d@... wrote: Untuk menyegarkan kembali ingatan sekaligus menelusuri kelanjutan dari cikalbakalnya dulu sampai kaum penerus jaringan-kerjanya Mafia Berkeley yang sedang berkuasa ditanahair kita saya kutipkan uraian dari Pengantar Penerbit Berbahasa Indonesia, dalam Buku Persekongkolan Jahat dibalik Utang Luar Negeri, karya Davis Ransom dng judul: Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia. Selamat membaca di akhir minggu.
Ramparts --- David Ransom: Pengantar Penerbit: Persekongkolan Jahat dibalik Utang Luar Negeri Transaksi utang luar negeri tidak bisa dipandang sebagai transaksi utang piutang biasa. Hal ini dibuktikan oleh kehadiran utang luar negeri yang telah berlangsung sejak awal kemerdekaan, kemudian berlanjut pada masa pemerintahan Soeharto dan masih berlangsung pemerintahan saat ini. Kemerdekaan Indonesia mendapat pengakuan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB), setelah pemerintah Indonesia mau menanggung beban utang luar negeri yang dibuat oleh Hindia Belanda. Praktis sejak tahun 1950, pemerintah Indonesia serta merta memiliki utang yang terdiri dari utang luar negeri warisan Hindia Belanda senilai US$ 4 miliar dan utang luar negeri baru Rp 3,8 miliar. Ketika pemerintahan Soekarno melakukan pembuatan utang luar negeri baru maka pemerintah tidak bisa menghindar dari tekanan pihak pemberi utang. Tabel - Pembuatan Utang Luar Negeri Sumber: Higgins, 1957 Dalam periode 1950-1956 pembuatan utang selalu diikuti dengan adanya intervensi dari pemberi utang (asing). Peristiwa pertama intervensi asing dalam pemberian utang ini terjadi pada tahun 1950, ketika pemerintah AS bersedia memberikan pinjaman sebesar US$100 juta. Melalui pemberian utang tersebut, pemerintah Amerika Serikat (AS) menekan Indo- nesia untuk mengakui keberadaan pemerintahan Bao Dai di Vietnam. Karena tuntutan tersebut tidak segera dipenuhi, pemberian pinjaman itu akhirnya tertunda pencairannya (Weinstein, 1976: 210). Peristiwa kedua terjadi pada 1952. Setelah menyatakan komitmennya untuk memberikan pinjaman, pemerintah AS kemudian mengajukan tuntutan kepada Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk mengembargo pengiriman bahan-bahan mentah strategis ke China. Sebagai negara produsen karet dan anggota PBB, secara tidak langsung tuntutan tersebut ‘terpaksa’ dipenuhi Indonesia. Peristiwa yang paling dramatis terjadi pada 1964. Menyusul keterlibatan Inggris dalam konfrontasi dengan Malaysia, pemerintah Indonesia segera menyikapi hal itu dengan menasionalisasikan perusahaan Inggris. Ini adalah nasionalisasi kedua yang dilakukan Indonesia setelah nasionalisasi perusahaan Belanda pada 1956. Mengetahui hal itu, pemerintah AS segera turut campur. Setelah beberapa waktu sebelumnya menekan Indonesia untuk mengaitkan pencairan pinjamannya dengan program stabilisasi IMF, AS kemudian mengaitkan pencairan pinjaman berikutnya dengan tuntutan untuk mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia. Campur tangan AS tersebut - ditengah maraknya demonstrasi menentang pelaksanaan program stabilisasi IMF di Tanah Air - ditanggapi Soekarno dengan mengecam utang luar negeri dan menentang AS. Pernyataan,”Go to hell with your aid”, yang sangat terkenal itu adalah bagian dari ungkapan kemarahan Soekarno kepada negara tersebut. Penolakan Soekarno yang sangat keras tersebut harus dibayar dengan kejatuhannya dari kursi Kepresidenan. Ketika krisis ekonomi-politik nasional memuncak pada 1965, Soekarno secara sistematis mendapat tekanan untuk menyerahkan kekuasaannya kepada Soeharto tepat 11 Maret 1966. Hal ini menandai berakhirnya era pemerintahan Soekarno dan dimulainya era pemerintahan Soeharto dengan Orde Baru-nya di Indonesia. Pada era pemerintahan Soeharto, selain Indonesia kembali dalam kontrol IMF dan Bank Dunia, kedua jenis warisan utang pada masa Soekarno juga disepakati untuk dibayar. Utang luar negeri warisan Hindia Belanda disepakati untuk dibayar selama 35 tahun terhitung sejak 1968, sehingga lunas pada 2003. Sedangkan utang luar negeri warisan Soekarno disepakati untuk dibayar selama 30 tahun terhitung sejak 1970, dan bakal lunas pada 1999. Selain itu para pemegang otoritas kebijakan ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru ini diisi oleh orang-orang yang dibina oleh pemerintah Amerika Serikat. Mereka membawa perekonomian Indonesia kearah ekonomi pasar liberal atau liberalisme. Para penguasa kebijakan ini kemudian dikenal dengan sebutan Mafia Berkeley. Para ekonom yang menguasai kebijakan perekonomian nasional sejak Orde Baru berkuasa antara lain adalah Widjojo Nitisastro, Subroto, Ali Wardhana, Mohammad Sadli, dan Emil Salim. Pemerintahan yang dikendalikan para ekonom Mafia Berkeley ini selain menunda pembayaran utang luar negeri selama beberapa tahun, mereka juga menggalang pembuatan utang luar negeri baru, dan membuka pintu bagi masuknya investasi asing secara besar-besaran ke Indonesia. Ternyata kehadiran Mafia Berkeley yang tidak dapat dipisahkan dari proyek besar kapitalisme internasional untuk menggulingkan Soekarno telah hadir jauh sebelum Soekarno digulingkan. Mafia Berkeley bekerja keras mempersiapkan segala alat legitimasi, berupa Undang Undang, rencana pembangunan, dan proposal pinjaman, yang memungkinkan bekerjanya tangan-tangan kapitalisme internasional dan pemerintahan tangan besi di sini. Dari tulisan hasil penelitian David Ransom ini juga mengungkapkan adanya rangkaian kerja sistematis keterlibatan Amerika Serikat melalui Mafia Berkeley sebagai pemegang otoritas kebijakan didalam pemerintahan Indonesia. Termasuk kebijakan politik Amerika Serikat dengan dalih anti-komunisnya untuk menjerat bangsa-bangsa dan negeri-negeri lain untuk masuk ke dalam strategi kapitalisme global. Sementara itu badan intelijen Amerika Serikat (CIA) telah menyusupi hampir semua badan, lembaga, kekuatan sosial-politik, dan oknum-oknum penting untuk kemudian diperalatnya. Termasuk melibatkan yayasan-yayasan yang menyediakan dana-dana bantuan pendidikan semacam Ford Foundation dan Rockefeller Foundation, yang di samping sering memberikan bantuan-bantuan perlengkapan, tenaga-tenaga ahli, juga membiayai pengiriman mahasiswa-mahasiswa di luar negeri itu; adalah alat, pangkalan (sarang) dan kedok CIA untuk melancarkan operasi-operasinya ke berbagai penjuru dunia. Sedangkan perguruan tinggi-perguruan tinggi seperti: Berkeley, Cornell, MIT (Massachussete Institute of Technology), Harvard dan lain-lain menjadi sarang dan dapur CIA untuk mencekokkan ilmu-ilmu liberal dan meng-amerika-kan para mahasiswa yang datang dari berbagai negeri itu (termasuk Indonesia) serta menggemblengnya menjadi agen dan kaki tangannya yang setia. Bahkan banyak badan-badan pendidikan dan perikemanusiaan itu sekedar dijadikan kedok semata-mata untuk kepentingan CIA. Dengan mengikuti tulisan David Ransom ini maka kita dapat memahami mengapa Soekarno mesti digulingkan dan nasionalisme yang dibawakannya mesti dihancurkan. Termasuk memahami bagaimana kaum Sosialis Kanan/PSI telah berpuluh tahun mengadakan persengkongkolan dengan CIA untuk merebut kekuasaan di Indonesia ini dari tangan Soekarno dan peran Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia di Jakarta sebagai dapur dan sarang komplotan PSI-CIA. Dari kampus ini pulalah mereka melancarkan gerilya politik (gerpol) dan subversinya ke mana-mana. David Ransom juga menguak para aktor yang berperan dalam proyek imperium kapitalisme Amerika. Diantara mereka terdapat nama-nama sebagai tenaga ahli yang diperbantukan dari A.S untuk Indonesia seperti Guy Pauker, George Kahin, John Howard, Harris, Glassburner. Sementara itu kaum Sosialis Kanan/PSI juga ikut terlibat didalamnya. Mereka antara lain adalah Sumitro Djojohadikusumo, Widjoyo Nitisastro, Sadli, Emil Salim, Subroto, Barli Halim, dan Sudjatmoko. Menurut Ransom, mereka adalah orang-orang yang sengaja dipopulerkan sebagai kaum teknokrat-ekonom kaliber internasional untuk dapat menduduki posisi-posisi penting dalam lembaga-lembaga pemerintahan melalui permainan bersama yang licik. Bahkan mereka juga menggunakan SESKOAD yang merupakan: “kawah candradimukanya” perwira-perwira Tinggi AD Indonesia itu, melalui Soewarto (seorang Letjen Komandan SESKOAD yang telah meninggal dua tahun yang lalu) bersama kaum Sosialis Kanan/PSI untuk kepentingan-kepentingan yang digariskan Amerika Serikat. Peranan dan usaha Mafia Berkeley yang berkerumun di sekitar Jenderal Soeharto telah menumpuk jumlah utang luar negeri pemerintah, yang pada akhir masa pemerintahan Soekarno berjumlah sebesar US$ 6,3 miliar lantas membengkak menjadi US$ 54 miliar saat kejatuhan Soeharto pada 1998. Utang tersebut masih terus bertambah sampai dengan saat ini. Dengan mengikuti secara seksama uraian David Ransom maka kita akan bisa meyakini bahwa ada persekongkokolan jahat dengan menggunakan utang luar negeri sebagai alatnya. David Ransom juga sudah menjelaskan siapa yang terlibat dalam persekongkolan jahat tersebut termasuk bagaimana mereka bekerja dalam melakukan kejahatan yang menyengsarakan rakyat dibanyak negara, termasuk Indonesia. Jakarta, 5 Juni 2006 Kusfiardi Koordinator Nasional Koalisi Anti Utang (KAU) Kutipan selesai. Salam. Lusi.- Am Sat, 12 Oct 2019 06:27:31 +0000 (UTC) schrieb ajeg : > Inilah wujud paling nyata dari kejahatan terorganisir > neokolonialisme-imperialisme. Mafia Berkeley cuma salahsatu unsur, > dengan area kerja di sektor peraturan / regulasi. Dukungan penuh > datang dari CSIS sebagai mesin pencuci otak penduduk koloni (lewat > berbagai "organisasi sosial" binaannya), dan IGGI sebagai sosok > neo-penjajahnya - untuk melakoni peran antagonis. IGGI inilah guru > pengganti VOC dalam matapelajaran korupsi. Tugas ketiga unsur nekolim > ini (MB-CSIS-IGGI) sangat jelas yaitu, menyelenggarakan "pembangunan" > untuk merusak kehidupan dan lingkungan alam di seluruh Indonesia > untuk keuntungan peserta nekolim. Khususnya, bertugas menjamin > kenyamanan merusak masyarakat dan alam di Papua. Itu sebabnya Papua > menjadi provinsi paling terbengkalai di antara puluhan provinsi > lainnya. --- lusi_d@... wrote: Berikut analisis Rizal Ramli yang > menelusuri kejahatan Mafia Berkeley di Indonesia bersama kaum > oligarkinya. Lusi.- > > Rizal Ramli: > > Mafia Berkeley Bikin Ekonomi Indonesia Dari Awal Babak Belur > > Submitted by redaksi on Jumat, 11 Oct 2019 - 10:02 > > KONFRONTASI - SEJAK dulu hingga saat ini setiap kali turun ke > lapangan, baik sebagai jurnalis maupun selaku pengamat sosial, saya > kerap menemui sebuah pertanyaan dari sejumlah orang di lapisan bawah. > Begini pertanyaannya: “Kenapa ekonomi Indonesia sejak awal selalu saja > tumbuhnya sangat lambat. Padahal, negara kita punya banyak uang dan > punya kekayaan alam yang lebih melimpah. Ke mana semua itu? Apakah ada > orang jahat (penjahat ekonomi) yang sengaja menguasai untuk > kepentingan kelompoknya saja? Saya memang sudah menjawab pertanyaan > itu secara langsung ke mereka dengan mengikutkan penjelasan singkat. > > Misalnya dengan menggambarkan bahwa negara kita memang selalu saja > kecolongan dengan menempatkan sebagian besar pejabat bermental rusak, > dan lain sebagainya. Dan saya yakin, jawaban itu tidaklah membuat > mereka terlalu puas. Sebab memang saya bukanlah orang berkompeten > menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Tetapi setidaknya, rakyat > tentu sangat membutuhkan penjelasan riil terhadap sesuatu yang belum > dipahaminya tersebut. Olehnya itu, saya mencoba mengangkat sebuah > jawaban yang telah dikemukakan Dr. Rizal Ramli, Menko Perekonomian era > Presiden Gus Dur, melalui bukunya berjudul: “Rizal Ramli Lokomotif > Perubahan”, cetakan II (edisi revisi: 2009). Dalam buku setebal 232 > halaman tersebut, Rizal Ramli yang juga sempat menjabat Menteri > Keuangan itu secara spesifik menggugat Mafia Berkeley sebagai kelompok > yang sejak awal membuat ekonomi Indonesia jadi babak belur. > > Rizal Ramli menggambarkan kondisi tersebut melalui penulis bukunya > itu, Didin Abidin Masud dan Edy Mulyadi. Ia menjelaskan, bahwa > istilah Mafia Berkeley ditujukan pada sejumlah menteri ekonomi yang > menjadi penentu strategi pembangunan Indonesia pada awal orde Baru. > Sebelum menduduki berbagai posisi strategis di pemerintahan, mereka > menimba ilmu ekonomi di Universitas California, Berkeley, pada tahun > 1960-an. Rizal Ramli menyebut tokoh sentral Mafia Berkeley adalah > Widjojo Nitisastro, yang menjadi Ketua Bappenas sejak Kabinet > pembangunan I, tahun 1969. Disebutkannya, kolega Widjojo, antara > lain, Ali Wardhana, Emil Salim, Sumarlin (alumnus Pittsburgh > University, tapi mengikuti garis kebijakan Mafia Berkeley), dan Saleh > Afiff. Radius Prawiro yang berpendidikan akuntan dari Belanda, juga > masuk kelompok generasi pertama Mafia Berkeley. > > Dikatakannya, sebagai konseptor dan arsitek utama pembangunan ekonomi > Indonesia 1966-1997, Widjojo amat leluasa menempatkan kolega dan > kadernya untuk menduduki posisi penting di berbagai kementrian. Emil > Salim, Sumarlin, Saleh Afiff, diorbitkan ke posisi menteri setelah > “magang” di Bappenas. Demikian pula, katanya, generasi ekonom yang > lebih muda, terus mendaki ke posisi empuk di pemerintahan setelah > berkarier di Bappenas. Mereka, antara lain Adrianus Mooy, BS Moelyana, > Sudradjad Djiwandono, dan Boediono. Kebijakan makro ekonomi yang > diusung Mafia Berkeley, menurut Rizal Ramli, adalah pengendalian laju > inflasi lewat kebijakan fiskal dan moneter yang ketat, liberalisasi > sektor keuangan –dikenal dengan istilah deregulasi dan debirokratisasi > pada tahun 1980-an, liberalisasi sektor industri dan perdagangan, dan > privatisasi alias penjualan aset milik negara. Yang menarik, kehadiran > B.J. Habibie yang dengan cepat merebut simpati Soeharto, membuat kubu > Widjojo Cs menemukan rival yang sepadan dalam sirkulasi elit > birokrasi. Habibie, menurut Rizal Ramli, lewat "markasnya" di Badan > Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) juga berhasil menempatkan > orang-orangnya di kabinet, seperti Wardiman Djojonegoro dan Rahardi > Ramelan. > > Meski Harkan kemabibie menjadi rival kuat dalam “memperebutkan” kursi > kabinet, toh dalam cetak biru pembangunan ekonomi, posisi Mafia > Berkeley tak tergoyahkan. Rizal Ramli melihat generasi kedua dan > ketiga Mafia Berkeley masih bertebaran di Bappenas, Departemen > Keuangan, dan Bank Indonesia. “Banyak anggota dan murid Mafia > Berkeley yang menduduki posisi kunci di bidang ekonomi menjadi > saluran strategi dan kebijakan yang dirumuskan oleh IMF, Bank dunia, > dan USAID,” kata Rizal Ramli dalam seminar “50 Tahun Mafia Berkeley > vs Gagasan Alternatif pembangunan ekonomi indonesia”, di Jakarta, > beberapa tahun lalu. Rizal Ramli memandang, meski ditopang rezim > otoriter selama lebih dari tiga dekade, Mafia Berkeley nyatanya > memang gagal menjadikan Indonesia sebagai negara besar di Asia. Rizal > Ramli pun menunjuk pada pertengahan tahun 1960-an GNP perkapita > Indonesia, Malaysia, Thailand, Taiwan, China nyaris sama, yaitu > kurang dari US$100 per kapita. Namun setelah lebih dari 40 tahun, GNP > perkapita negara-negara tersebut pada tahun 2004, Indonesia mencapai > sekitar US$ 1.000; Malaysia US$ 4.520; Korea Selatan US$ 14.000; > Thailand US$ 2.490; Taiwan US$ 14.590; China US$ 1.500. Dan ini > sekaligus menunjukkan, bahwa ternyata kekuasaan dan peranan Mafia > Berkeley yang nyaris 40 tahun itu tidaklah mampu meningkatkan > kesejahteraan rakyat Indonesia dan hanya mewariskan potensi sebagai > salah satu negara gagal (failed state) di Asia. > > Atau dengan kata lain, Mafia Berkeley telah gagal membawa Indonesia > menjadi negara yang sejahtera dan besar di Asia walaupun didukung > rezim otoriter selama 32 tahun. Dan hal ini menurut Rizal Ramli tentu > sangat menyedihkan dan amat memprihatinkan, sebab selain ketinggalan > dari segi pendapatan per kapita, Indonesia juga merupakan salah satu > negara yang memiliki distribusi pendapatan paling timpang, stok utang > paling besar, serta memiliki landasan struktural dan industri yang > sangat rapuh. Padahal negara-negara seperti Taiwan, Malaysia, Korea > Selatan, Cina dan Thailand tidak memiliki sumber daya alam yang besar > seperti Indonesia. Bahkan, menurut Rizal Ramli, di bawah pengaruh dan > kekuasaan Mafia Berkeley, utang yang besar dan habisnya kekayaan alam > dan hutan yang rusak, ternyata hanya menghasilkan pendapatan per > kapita sekitar US$ 1.000. Dan pemenuhan kebutuhan dasar sangat > minimal serta ketergantungan mental maupun finansial terhadap utang > luar negeri. Bagi Rizal Ramli, Mafia Berkeley juga gagal melakukan > reformasi terhadap birokrasi dan justru mendorong pegawai negeri dan > TNI untuk bertindak koruptif karena penentuan skala gaji yang sangat > tidak manusiawi. > > Anggota dan murid Mafia Berkeley sendiri direkayasa untuk mendapatkan > pendapatan yang sangat tinggi melalui penunjukan mereka sebagai > komisaris di BUMN-BUMN, double/tripple billing di BI, depKeu dan > Bappenas. Dengan pendapatan yang tinggi tersebut, Rizal Ramli menilai, > Mafia Berkeley tidak memiliki empati terhadap nasib pegawai negeri dan > TNI sehingga tidak berupaya melakukan reformasi penggajian pegawai > negeri dan TNI. “Dengan sengaja maupun tidak sengaja, mereka mendorong > pegawai negeri dan TNI menjadi koruptor,” tulis Rizal Ramli dalam > bukunya tersebut. Kegagalan penting lainnya yang dilakukan oleh Mafia > Berkeley adalah mengundang keterlibatan IMF untuk mengatasi krisis > ekonomi pada bulan oktober 1997. Keterlibatan IMF tersebut membuat > krisis menjadi lebih parah. Padahal, menurut Rizal Ramli, tanpa > keterlibatan IMF pun krisis ekonomi akan tetap terjadi, tetapi > skalanya akan relatif lebih kecil (pertumbuhan ekonomi antara -2% > sampai 0%) pada tahun 1998, tetapi keterlibatan IMF malah telah > mengakibatkan ekonomi indonesia anjlok luar biasa -12,8% pada tahun > 1998. > > Biaya sosial ekonomis dari krisis tersebut dalam bentuk kerusuhan > sosial (IMF-provoked riots), justru hanya meningkatkan puluhan juta > pengangguran, kebangkrutan ekonomi nasional dan swasta, biaya > rekapitalisasi bank lebih dari Rp 600 trilliun, serta tambahan beban > utang puluhan miliar dollar masih terasa sampai saat ini. Dan ini > ibarat dokter yang dimintai pertolongannya untuk menyembuhkan penyakit > pasien. Dokter tersebut tak hanya gagal menyembuhkan penyakit, tetapi > juga telah melakukan berbagai amputasi yang tidak perlu, karena > ternyata semua itu hanya membebankan biaya kegagalannya kepada sang > pasien. Dalam menjawab berbagai kegagalan tersebut, anggota Mafia > Berkeley biasanya menggunakan alasan klasik yang menyesatkan, yaitu > mereka menuding bahwa semua itu adalah akibat perilaku mantan presiden > Soeharto. Rizal Ramli yang pernah dipenjara pada era Orde Baru karena > aktif menentang keras pemerintahan Presiden Soeharto itu pun menampik, > bahwa memang Soeharto penuh KKN, tapi berbagai kegagalan yang timbul > tentunya tidak dapat dibebankan hanya kepada Soeharto. Rizal Ramli pun > menggugat Mafia Berkeley ikut bertanggungjawab karena selama ini > merekalah yang merumuskan strategi, kebijakan dan terlibat dalam > implementasinya. > > “Banyak dari berbagai kegagalan tersebut berada pada tataran sangat > teknis dan operasional yang tidak dipahami oleh Soeharto,” ujar Rizal > Ramli. Adalah sangat tidak bertanggungjawab dan tidak ksatria, bisa > menikmati jabatan selama 32 tahun, ikut merasakan privileges dan ekses > kekuasaan Soeharto, tetapi kemudian mereka malah menimpakan semua > kegagalan dan kesalahan hanya kepada Soeharto, itupun baru berani > mereka katakan setelah Soeharto tidak berkuasa. Mengapa Mafia Berkeley > gagal membawa Indonesia menjadi negara yang sejahtera dan besar di > Asia walaupun berkuasa selama nyaris 40 tahun? “Karena strategi dan > kebijakan ekonomi Indonesia yang dirancang oleh Mafia Bekeley akan > selalu menempatkan Indonesia sebagai subordinasi (sekadar kepanjangan > tangan) dari kepentingan global,” ungkap Rizal Ramli. Padahal, > lanjutnya lagi, tidak ada negara menengah yang berhasil meningkatkan > kesejahteraannya dengan mengikuti model Konsensus Washington. > Kemerosotan selama tiga dekade di Amerika Latin (1970-2000) menurut > Rizal Ramli adalah contoh monumental dari kegagalan tersebut. Justru > negara-negara yang melakukan penyimpangan dari model Konsensus > Washington seperti jepang, Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, dan Cina > berhasil meningkatkan kesejahteran dan memperbesar kekuatan > ekonominya. Negara-negara yang berhasil tersebut mengikuti model > pembangunan Asia Timur yang memberikan peranan yang seimbang antara > negara dan swasta, serta ketergantungan utang yang minimal. > > “Dua negara Asia, Indonesia dan Filipina yang patuh pada Konsensus > Washington, mengalami kemerosotan ekonomi terus-menerus, > ketergantungan utang yang permanen, dan ketimpangan pendapatan sangat > mencolok,” kata Rizal Ramli. Dengan memahami penjelasan di atas dari > Rizal Ramli sebagai tokoh terkemuka di bidang ekonomi yang tak pernah > berhenti memperjuangkan ekonomi kerakyatan ini, tentulah dapat > ditebak bagaimana kondisi dan wajah ekonomi Indonesia ke depan > apabila para mafia ini masih bercokol nantinya dalam pemerintahan > yang baru. > > (Jft/Kompasiana/Ilustrasi/Desain repro Abdul Muis Syam S) > > Tags: Rizal Ramli : Mafia Berkeley ekonomi Babak Belur > > #yiv2657075081 -- #yiv2657075081ygrp-mkp {border:1px solid #d8d8d8;font-family:Arial;margin:10px 0;padding:0 10px;}#yiv2657075081 #yiv2657075081ygrp-mkp hr {border:1px solid #d8d8d8;}#yiv2657075081 #yiv2657075081ygrp-mkp #yiv2657075081hd {color:#628c2a;font-size:85%;font-weight:700;line-height:122%;margin:10px 0;}#yiv2657075081 #yiv2657075081ygrp-mkp #yiv2657075081ads {margin-bottom:10px;}#yiv2657075081 #yiv2657075081ygrp-mkp .yiv2657075081ad {padding:0 0;}#yiv2657075081 #yiv2657075081ygrp-mkp .yiv2657075081ad p {margin:0;}#yiv2657075081 #yiv2657075081ygrp-mkp .yiv2657075081ad a {color:#0000ff;text-decoration:none;}#yiv2657075081 #yiv2657075081ygrp-sponsor #yiv2657075081ygrp-lc {font-family:Arial;}#yiv2657075081 #yiv2657075081ygrp-sponsor #yiv2657075081ygrp-lc #yiv2657075081hd {margin:10px 0px;font-weight:700;font-size:78%;line-height:122%;}#yiv2657075081 #yiv2657075081ygrp-sponsor #yiv2657075081ygrp-lc .yiv2657075081ad {margin-bottom:10px;padding:0 0;}#yiv2657075081 #yiv2657075081actions {font-family:Verdana;font-size:11px;padding:10px 0;}#yiv2657075081 #yiv2657075081activity {background-color:#e0ecee;float:left;font-family:Verdana;font-size:10px;padding:10px;}#yiv2657075081 #yiv2657075081activity span {font-weight:700;}#yiv2657075081 #yiv2657075081activity span:first-child {text-transform:uppercase;}#yiv2657075081 #yiv2657075081activity span a {color:#5085b6;text-decoration:none;}#yiv2657075081 #yiv2657075081activity span span {color:#ff7900;}#yiv2657075081 #yiv2657075081activity span .yiv2657075081underline {text-decoration:underline;}#yiv2657075081 .yiv2657075081attach {clear:both;display:table;font-family:Arial;font-size:12px;padding:10px 0;width:400px;}#yiv2657075081 .yiv2657075081attach div a {text-decoration:none;}#yiv2657075081 .yiv2657075081attach img {border:none;padding-right:5px;}#yiv2657075081 .yiv2657075081attach label {display:block;margin-bottom:5px;}#yiv2657075081 .yiv2657075081attach label a {text-decoration:none;}#yiv2657075081 blockquote {margin:0 0 0 4px;}#yiv2657075081 .yiv2657075081bold {font-family:Arial;font-size:13px;font-weight:700;}#yiv2657075081 .yiv2657075081bold a {text-decoration:none;}#yiv2657075081 dd.yiv2657075081last p a {font-family:Verdana;font-weight:700;}#yiv2657075081 dd.yiv2657075081last p span {margin-right:10px;font-family:Verdana;font-weight:700;}#yiv2657075081 dd.yiv2657075081last p span.yiv2657075081yshortcuts {margin-right:0;}#yiv2657075081 div.yiv2657075081attach-table div div a {text-decoration:none;}#yiv2657075081 div.yiv2657075081attach-table {width:400px;}#yiv2657075081 div.yiv2657075081file-title a, #yiv2657075081 div.yiv2657075081file-title a:active, #yiv2657075081 div.yiv2657075081file-title a:hover, #yiv2657075081 div.yiv2657075081file-title a:visited {text-decoration:none;}#yiv2657075081 div.yiv2657075081photo-title a, #yiv2657075081 div.yiv2657075081photo-title a:active, #yiv2657075081 div.yiv2657075081photo-title a:hover, #yiv2657075081 div.yiv2657075081photo-title a:visited {text-decoration:none;}#yiv2657075081 div#yiv2657075081ygrp-mlmsg #yiv2657075081ygrp-msg p a span.yiv2657075081yshortcuts {font-family:Verdana;font-size:10px;font-weight:normal;}#yiv2657075081 .yiv2657075081green {color:#628c2a;}#yiv2657075081 .yiv2657075081MsoNormal {margin:0 0 0 0;}#yiv2657075081 o {font-size:0;}#yiv2657075081 #yiv2657075081photos div {float:left;width:72px;}#yiv2657075081 #yiv2657075081photos div div {border:1px solid #666666;min-height:62px;overflow:hidden;width:62px;}#yiv2657075081 #yiv2657075081photos div label {color:#666666;font-size:10px;overflow:hidden;text-align:center;white-space:nowrap;width:64px;}#yiv2657075081 #yiv2657075081reco-category {font-size:77%;}#yiv2657075081 #yiv2657075081reco-desc {font-size:77%;}#yiv2657075081 .yiv2657075081replbq {margin:4px;}#yiv2657075081 #yiv2657075081ygrp-actbar div a:first-child {margin-right:2px;padding-right:5px;}#yiv2657075081 #yiv2657075081ygrp-mlmsg {font-size:13px;font-family:Arial, helvetica, clean, sans-serif;}#yiv2657075081 #yiv2657075081ygrp-mlmsg table {font-size:inherit;font:100%;}#yiv2657075081 #yiv2657075081ygrp-mlmsg select, #yiv2657075081 input, #yiv2657075081 textarea {font:99% Arial, Helvetica, clean, sans-serif;}#yiv2657075081 #yiv2657075081ygrp-mlmsg pre, #yiv2657075081 code {font:115% monospace;}#yiv2657075081 #yiv2657075081ygrp-mlmsg * {line-height:1..22em;}#yiv2657075081 #yiv2657075081ygrp-mlmsg #yiv2657075081logo {padding-bottom:10px;}#yiv2657075081 #yiv2657075081ygrp-msg p a {font-family:Verdana;}#yiv2657075081 #yiv2657075081ygrp-msg p#yiv2657075081attach-count span {color:#1E66AE;font-weight:700;}#yiv2657075081 #yiv2657075081ygrp-reco #yiv2657075081reco-head {color:#ff7900;font-weight:700;}#yiv2657075081 #yiv2657075081ygrp-reco {margin-bottom:20px;padding:0px;}#yiv2657075081 #yiv2657075081ygrp-sponsor #yiv2657075081ov li a {font-size:130%;text-decoration:none;}#yiv2657075081 #yiv2657075081ygrp-sponsor #yiv2657075081ov li {font-size:77%;list-style-type:square;padding:6px 0;}#yiv2657075081 #yiv2657075081ygrp-sponsor #yiv2657075081ov ul {margin:0;padding:0 0 0 8px;}#yiv2657075081 #yiv2657075081ygrp-text {font-family:Georgia;}#yiv2657075081 #yiv2657075081ygrp-text p {margin:0 0 1em 0;}#yiv2657075081 #yiv2657075081ygrp-text tt {font-size:120%;}#yiv2657075081 #yiv2657075081ygrp-vital ul li:last-child {border-right:none !important;}#yiv2657075081