https://news.detik.com/kolom/d-4748220/jalan-terjal-mewujudkan-kedaulatan-pangan?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.168237026.271642975.1571237028-1431925201.1571237028
Rabu 16 Oktober 2019, 16:13 WIB
Kolom
Jalan Terjal Mewujudkan Kedaulatan
Pangan
Arfi Hidayat - detikNews
<https://news.detik.com/kolom/d-4748220/jalan-terjal-mewujudkan-kedaulatan-pangan?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.168237026.271642975.1571237028-1431925201.1571237028#>
Arfi Hidayat
<https://news.detik.com/kolom/d-4748220/jalan-terjal-mewujudkan-kedaulatan-pangan?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.168237026.271642975.1571237028-1431925201.1571237028#>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-4748220/jalan-terjal-mewujudkan-kedaulatan-pangan?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.168237026.271642975.1571237028-1431925201.1571237028#>
Tweet
<https://news.detik.com/kolom/d-4748220/jalan-terjal-mewujudkan-kedaulatan-pangan?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.168237026.271642975.1571237028-1431925201.1571237028#>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-4748220/jalan-terjal-mewujudkan-kedaulatan-pangan?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.168237026.271642975.1571237028-1431925201.1571237028#>
0 komentar
<https://news.detik.com/kolom/d-4748220/jalan-terjal-mewujudkan-kedaulatan-pangan?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.168237026.271642975.1571237028-1431925201.1571237028#>
Jalan Terjal Mewujudkan Kedaulatan Pangan Foto: Istimewa
*Jakarta* - Setiap tanggal 16 Oktober kita memperingati Hari Pangan
Sedunia (World Food Day). Tahun ini, peringatan Hari Pangan
Internasional bertemakan "/Our Action are Our/ /Future, Healthy Diets
Zero Hunger World/". Ketersediaan pangan merupakan isu global yang
terus-menerus menjadi bahan kajian sekaligus perdebatan di kalangan ahli
maupun pengampu kebijakan.
Saat ini, dunia tengah mengalami problem terkait ketahanan pangan.
Jumlah populasi dunia yang terus membengkak nyatanya tidak berbanding
lurus dengan meningkatnya produksi pangan. Konsekuensinya, manusia di
masa depan menghadapi ancaman kelaparan, terlebih jika persoalan ini
tidak kunjung diselesaikan.
Merujuk hasil riset International Fund for Agricultural saat ini
diperkirakan terdapat 925 juta manusia di dunia mengalami kekurangan
pangan. Jumlah itu diprediksi akan terus meningkat di masa depan. Lalu
bagaimana dengan kondisi ketahanan pangan di Indonesia?
Kita harus akui bahwa kondisi ketahanan pangan kita tidak baik-baik
saja. Meski dikenal sebagai negara dengan empat musim yang memiliki
tanah subur, juga luas wilayah laut yang luas dan kaya akan ikan, pada
kenyataannya kita masih harus mengimpor bahan pangan dari luar negeri.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah impor beras Indonesia pada
periode Januari hingga November 2018 mencapai 2, 2 juta ton. Jumlah itu
meningkat drastis ketimbang periode sebelumnya, yakni Januari hingga
Desember 2017 yang hanya mencapai 307, 75 juta ton. Belum lagi impor
bahan makanan lain seperti jagung, gandum, gula, daging, dan ikan yang
saban tahun mengalami kenaikan jumlah.
Bercermin dari kondisi itu, tema Hari Pangan Internasional di Indonesia
yakni "Teknologi Industri Pertanian dan Pangan Menuju Indonesia Lumbung
Pangan Dunia 2045" menjadi sangat relevan. Tema itu tampak gagah,
optimistik, dan ambisius. Namun sebagaimana galibnya semua hal yang
kelewat optimisitik dan ambisius, tema itu pun tampaknya akan sulit
terwujud.
Bagaimana tidak? Di awal masa kepemimpinannya, Presiden Joko Widodo
sesumbar akan mewujudkan swasembada pangan pada tiga tahun pertama masa
kerjanya. Apa lacur, menjelang akhir masa kerja pemerintahannya agenda
kedaulatan pangan itu agaknya masih jauh panggang dari api. Jangankan
daulat secara pangan, untuk mencukupi kebutuhan asupan karbohidrat saja,
kita harus mengimpor beras jutaan ton setiap tahunnya.
Di Indonesia, isu pangan tidak hanya menjadi isu ekonomi, namun juga
telah menjadi komoditas politik. Bukan rahasia lagi bahwa urusan pangan
kerap berkelindan dengan urusan politik. Ambil satu contoh misalnya
kebijakan impor beras yang lebih merupakan bentuk kebijakan politis
ketimbang kebijakan yang mempertimbangkan kepentingan dan kebutuhan
ekonomi nasional. Maka, membenahi persoalan pangan, apalagi terkait
mewujudkan agenda kedaulatan pangan tidak merupakan pekerjaan yang
membutuhkan /political will/.
*Kebijakan Pemerintah*
Mula pertama yang harus diperhatikan oleh pemerintah ialah membenahi
sektor pertanian dengan merevitalisasi infrastrukturnya. Pemerintah
perlu berupaya keras untuk menambah luas lahan pertanian. Data BPS
menyatakan bahwa luas lahan pertanian di Indonesia pada 2018 hanya
mencapai 7,1 juta hektar atau menurun dari 2017 yang masih mencapai 7,75
juta hektar.
Luas lahan pertanian itu dipastikan akan terus menyusut seiring dengan
meningkatnya jumlah populasi yang tentu menambah kebutuhan akan lahan
hunian. Alih lahan pertanian menjadi lahan hunian adalah problem klasik
yang terus menggerus angka produksi pangan kita. Diperlukan kebijakan
radikal dari pemerintah agar lahan pertanian tidak dengan mudah
dikonversi menjadi lahan hunian.
Selain itu, pemerintah juga perlu meremajakan kembali jaringan irigasi
dan bendungan sebagai salah satu elemen vital aktivitas pertanian. Dalam
konteks ini, anggaran jumbo Dana Desa idealnya bisa dimanfaatkan oleh
pemerintah daerah semaksimal mungkin untuk merehabilitasi dan juga
menambah saluran irigasi dan bendungan. Tidak kalah penting tentunya
ialah memastikan ketersediaan benih unggul dan pupuk dengan mereformasi
sistem dan mekanisme tataniaganya yang selama ini kadung amburadul.
Dari sisi politik, perlu ada kebijakan yang melindungi para petani lokal
dengan memperketat aturan impor pangan. Keran impor yang dibuka lebar
oleh pemerintah terbukti telah memukul harga komoditas pangan lokal.
Akibatnya, petani pun merugi dan kehilangan harapan untuk melanjutkan
profesi yang ditekuninya selama bertahun-tahun.
Berbeda dengan era 1970-an ketika pertanian menjadi sektor primadona,
kini pertanian seolah kehilangan pamornya. Hal ini terlihat dari menurun
drastisnya antusias anak muda untuk menekuni profesi petani. Jurusan
pertanian di sejumlah universitas pun kini cenderung sepi peminat.
Pendek kata, menjadi petani bukanlah pilihan untuk meraih masa depan.
Pengetatan keran impor pangan tentu membutuhkan komitmen pemerintah
sekaligus diplomasi di dunia internasional. Sistem kapitalisme-liberal
yang diterapkan hari ini acapkali tidak berpihak pada negara-negara
kecil berkembang seperti Indonesia. Terutama dalam hal pertanian. Banyak
aturan internasional yang justru merugikan negara kecil-berkembang. Di
sinilah diperlukan diplomasi-diplomasi internasional agar industri
pertanian Indonesia tidak tergilas oleh aturan perdagangan global.
Masih terkait dengan impor, pemerintah bersama masyarakat perlu
membangun sebuah gerakan yang bertujuan menyadarkan publik bahwa produk
impor tidak selalu lebih baik ketimbang produk lokal. Selama ini,
ketergantungan masyarakat pada produk lokal juga dilatari oleh adanya
sikap inferior. Masyarakat kerap terjebak dalam opini klise bahwa barang
impor punya kualitas lebih bagus ketimbang barang lokal. Upaya
penyadaran itu tentu harus dibarengi dengan peningkatan produk lokal,
baik secara kuantitas maupun kualitas.
Terakhir, namun tidak kalah penting ialah kita harus mengembangkan
pertanian berbasis pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam konteks
ini kita patut belajar dari China yang dalam satu dekade terakhir ini
berhasil menjadikan sektor pertaniannya sebagai yang paling maju di
dunia. Salah satu kunci keberhasilan mereka mengembangkan sektor
pertanian ialah dengan melibatkan para ahli dan ilmuwan untuk
mengembangkan bioteknologi.
Di China, para ahli dan ilmuwan dengan dukungan penuh negara rajin
melalukan riset bioteknologi di bidang pertanian. Riset akademik itu
lantas menghasilkan berbagai temuan penting bagi dunia pertanian, mulai
dari varietas benih unggul yang tahan hama cuaca dan bergizi tinggi
sampai metode mekanisme penanganan pascapanen agar produk pertanian
tahan lama.
Riset bioteknologi di bidang pertanian bukan sama sekali tidak dikenal
di negeri ini. Kita sebenarnya juga telah mengembangkan riset
bioteknologi di bidang pertanian. Persoalannya adalah riset-riset itu
kerap terbentur oleh cekaknya anggaran. Maka, penting bagi pemerintah
untuk mengalokasikan anggaran bagi riset-riset bioteknologi di bidang
pertanian. Anggaran untuk riset itu harus dipahami sebagai investasi
yang akan menghasilkan keuntungan di masa depan.
Selain tiga poin di atas tentu masih banyak hal dan persoalan yang
membutuhkan perhatian pemerintah. Namun, jika tiga hal itu mampu digarap
dengan maksimal, kita boleh merasa optimistis bahwa target kedaulatan
pangan akan segera terwujud. Jika tidak, bisa dipastikan kita akan tetap
menjadi importir alias konsumen dari industri pangan global.
*Arfi Hidayat* /alumnus Teknik Pertanian Universitas Jenderal Soedirman
(Unsoed) Purwokerto/
*(mmu/mmu)*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*