----- Pesan yang Diteruskan ----- Dari: Sunny ambon ilmeseng...@gmail.com 
[nasional-list] <nasional-l...@yahoogroups.com>Terkirim: Selasa, 22 Oktober 
2019 08.08.37 GMT+2Judul: [nasional-list] Politiktanpa Oposisi
     

 
Apayang mau dioposisikan, jika  semua yang berkuasa adalah kaum neo-Mojopahit, 
pancasilais dan NKRI harga mati?  Paling-paling mereka saling  rebut rejeki bin 
berkat.








https://kolom.tempo.co/read/1262419/politik-tanpa-oposisi




Politiktanpa Oposisi

Selasa,22 Oktober 2019 07:30 WIB

 

 0 KOMENTAR
 
 000



PrabowoSubianto bersama Sandiaga Uno melambaikan tangan saat menghadiriupacara 
pelantikan Presiden dan Wakil presiden periode 2019-2024 JokoWidodo dan Ma'ruf 
Amin di Gedung Nusantara, kompleks Parlemen,Senayan, Jakarta, Ahad, 20 Oktober 
2019. ANTARA
 
 PRABOWO Subianto seharusnya becermin dulu sebelum meminta publik mewaspadai 
bahaya oligarki, setelah ia berkunjung ke kantor Partai Golkar pekan lalu.. 
Jika benar Partai Gerindra bergabung ke pemerintah Joko Widodo-lawan Prabowo 
dalam pemilihan presiden lalu-justru dia dan elite partai yang kini berada di 
tampuk kekuasaanlah yang harus kita cemaskan.
 
 Dengan bergabungnya Gerindra, rezim Jokowi-Ma’ruf Amin akan memiliki dukungan 
mayoritas luar biasa di parlemen. Praktis tinggal Partai Keadilan Sejahtera 
yang berada di luar koalisi penguasa. Ini artinya, pertama kalinya sejak Orde 
Baru berakhir, kita akan memiliki pemerintah dengan kekuatan oposisi yang amat 
lemah.
 
 Ini kecenderungan yang berbahaya. Tanpa oposisi, tidak ada mekanisme checks 
and balances yang penting untuk memastikan kebijakan pemerintah dikontrol 
dengan ketat. Partai pendukung koalisi pemerintah akan sulit bersikap kritis.
 
 Inilah yang dulu terjadi pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Dewan 
Perwakilan Rakyat hanya berfungsi sebagai tukang stempel kebijakan pemerintah. 
Fungsi-fungsi DPR, terutama fungsi pengawasan, sulit diharapkan berjalan 
optimal. Suara Istana dan Senayan yang seragam akan menjadi akhir dari 
demokrasi liberal di negeri ini.




Ironisnya,perkembangan mengkhawatirkan ini justru terjadi pada masakepemimpinan 
Joko Widodo, presiden pertama yang berasal dari rakyatkebanyakan, di luar 
lingkaran elite yang selama ini mendominasikursi-kursi kekuasaan di Jakarta. 
Dia seperti anak kandung demokrasiyang durhaka meninggalkan ibunya sendiri.

PresidenJokowi keliru jika menilai konsolidasi partai-partai politik dalamsatu 
barisan pendukung pemerintah bakal memperkuat lima tahun keduamasa 
pemerintahannya. Di atas kertas, itu bisa terjadi, tapi tengoksaja periode 
kedua pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Ketika itu,ia didukung enam partai 
politik yang menguasai hampir 70 persen suaradi Senayan. Sejak tahun pertama, 
Yudhoyono sudah babak-belurdikeroyok soal penyelamatan Bank Century.

KekeliruanYudhoyono sama dengan Jokowi. Ia memberikan konsesi politik amatbesar 
kepada partai pendukungnya dan mengakomodasi para politikusuntuk menjadi 
menteri di kabinetnya. Hasilnya bukan stabilitaspolitik, melainkan kabinet yang 
lamban dan sulit dikendalikan. Paramenteri dari partai politik cenderung masih 
loyal kepada pemimpinpartai masing-masing.

Karenaitu, ketimbang membagikan jatah menteri ke partai, Jokowi lebih 
baikmengisi kabinet dengan lebih banyak orang profesional-yang kompetendan 
berintegritas, tentu saja. Tak perlu susah payah merangkul banyakpartai yang 
bakal merepotkan dia sendiri.

Jokowiharus sadar bahwa demokrasi bukanlah semata-mata mekanisme untukmencapai 
konsensus politik. Demokrasi memerlukandisensus-ketidaksepakatan-untuk 
memperbaiki diri terus-menerus.Dengan demikian, keberadaan oposisi merupakan 
cara untuk merawatdemokrasi itu sendiri.

Kasak-kusuksepekan terakhir tentang masuknya Partai Gerindra dan Partai 
Demokratke koalisi pro-pemerintah pasti membuat banyak pendukung Jokowi 
patahsemangat. Dirangkulnya Prabowo ke dalam kabinet adalah sinyal negatifbuat 
rakyat yang dulu memilih Jokowi karena tak setuju dengan tawarangagasan Prabowo.

Terbentuknyapemerintahan tanpa oposisi juga menafikan seluruh 
perdebatanjanji-janji kampanye selama pemilihan presiden lalu. Dua kubu 
yangsebelumnya menawarkan gagasan yang kerap bertolak belakang kinibekerja 
bersama dalam satu barisan. Aspirasi politik jutaan pemilihseolah-olah dibuang 
ke tong sampah.

Catatan:

Inimerupakan artikel majalah tempo edisi 21-27 Oktober 2019



    

Kirim email ke