-------- Forwarded Message --------
Subject: Potret Suram Kabinet Jilid II
Date: Thu, 24 Oct 2019 11:41:51 +0800
From: ChanCT <sa...@netvigator.com>
To: GELORA_In <GELORA45@yahoogroups.com>
Potret Suram Kabinet Jilid II
Kamis, 24 Oktober 2019 07:00 WIB
Ekspresi Menkopolhukam Mahfud MD saat bersalaman dengan Presiden Joko
Widodo di sela Kabinet Indonesia Maju periode Tahun 2019-2024 di Istana
Negera, Jakarta, Rabu 23 Oktober 2019. TEMPO/Subekti Ekspresi
Menkopolhukam Mahfud MD saat bersalaman dengan Presiden Joko Widodo di
sela Kabinet Indonesia Maju periode Tahun 2019-2024 di Istana Negera,
Jakarta, Rabu 23 Oktober 2019. TEMPO/Subekti
Kabinet Kerja jilid II tak menggambarkan jawaban atas tantangan untuk
Indonesia selama lima tahun ke depan. Sejumlah posisi diisi oleh orang
yang tak tepat. Alih-alih memberikan kepercayaan kepada mereka yang
kompeten, Presiden Joko Widodo malah memilih orang berlatar belakang tak
meyakinkan.
Di bidang ekonomi, misalnya, tantangan di depan mata adalah mengatasi
defisit neraca perdagangan. Lebih jauh lagi, memacu pertumbuhan ekonomi,
yang selama lima tahun ke belakang selalu di kisaran 5 persen. Bank
Dunia malah meramalkan pertumbuhan ekonomi tahun depan hanya mencapai
4,6 persen seiring dengan perlambatan ekonomi global. Menghadapi situasi
sulit tersebut, Jokowi semestinya paham bahwa menteri berkarakter
teknokratis cenderung akan bekerja lebih efektif ketimbang menteri dari
partai politik.
Presiden memilih mendahulukan keterwakilan partai politik ketimbang
efektivitas. Pemilihan menteri lebih seperti bagi-bagi kue kekuasaan,
dengan melupakan mencari orang terbaik. Dibandingkan dengan periode
pertamanya, pemilihan menteri di bidang ekonomi kali ini lebih buruk.
Menteri dengan latar belakang tak jelas malah menduduki posisi penting.
Dalam menyusun kabinet, Jokowi juga tampak menyederhakan persoalan.
Pendidikan, misalnya, diidentikkan dengan vokasi, sehingga Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan dibekali misi untuk menyediakan tenaga siap
kerja. Lalu, yang dianggap sebagai masalah utama politik dan keamanan
adalah radikalisme, sehingga Kementerian Dalam Negeri diisi jenderal
polisi dan Kementerian Agama ditempati pensiunan jenderal Angkatan Darat.
Penempatan Prabowo Subianto-pesaing Jokowi dalam pemilihan presiden
lalu-sebagai Menteri Pertahanan serta Edhy Prabowo sebagai Menteri
Kelautan dan Perikanan demi mengakomodasi kepentingan politik praktis.
Wajar jika kemudian langkah itu dinilai sebagai siasat mengunci Gerindra
agar tak mengusik pemerintahan.
Karena tujuan praktis yang dikejar, sulit untuk berharap isu lain yang
tak kalah penting menjadi perhatian pemerintah. Dalam pidatonya setelah
dilantik sebagai presiden untuk kedua kalinya, Jokowi bicara
panjang-lebar soal pertumbuhan ekonomi. Namun tak sekali pun ia
menyinggung penegakan hak asasi manusia, pemberantasan korupsi, hingga
demokrasi.
ADVERTISEMENT
Dengan terpaku pada "stabilitas" dan "pertumbuhan", Jokowi berpotensi
mengulangi kesalahan Orde Baru. Pertumbuhan ekonomi yang mengabaikan
demokrasi dan hak asasi manusia justru akan menurunkan kualitas hidup
manusia. Ditambah leluasanya praktik korupsi, model pembangunan semacam
itu akan menyebabkan ketimpangan kian parah. Aktivitas ekonomi yang
tidak efisien dan sarat dengan perburuan rente itu juga sulit membawa
Indonesia keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah, seperti
yang dicitakan-citakan Jokowi terjadi pada 2045.
Berharap bahwa kabinet baru ini bisa mengatasi berbagai persoalan pelik
mungkin terlalu muluk. Tapi Jokowi punya hak prerogatif untuk segera
mengganti menterinya bila kinerjanya tak memuaskan dengan orang yang
lebih kompeten, tak sekadar memenuhi keinginan partai atau hasrat
politik jangka pendek.
Catatan:
Ini merupakan artikel tajuk koran tempo edisi 24 Oktober 2019