Hipotesa saya sementara kenapa pertumbuhan ekonomi melamban di jaman Jokowi:

1.      Pemberantasan korupsi dicanangkan sejak Jokowi dan ahok menjadi 
gubernur DKI dgn ebudgeting, eprocurement dll. Begitu juga pembentukan instansi 
spt dispendukcapil yg mengurus masalah kependudukan dari KTP, surat lahir, 
surat kawin dll memotong jalur RT, RW, kelurahan, kecamatan dll yg adalah 
sarang birokrasi dan penuh dgn korupsi. KPK menangkap pejabat2 terutama 
didaerah/luar DKI adalah momok. Semua bentuk korupsi ini meningkatkan 
pertumbuhan ekonomi tetapi hanya terjadi dikota2 besar saja uang beredarnya.
2.      Masalah kebangsaan di Indonesia. Ribut2 SARA itu bikin ketar ketir 
investasi baik asing maupun domestic. Yg berani bertahan adalah mereka2 yg 
sudah matang berbisnis diindonesia, tetapi walaupun demikian, tetap saja 
orientasinya jangka pendek. Ketar ketir kestabilan politik, keamanan dll itu 
adalah momok buat pertumbuhan ekonomi.
3.      Pengaruh ekonomi dunia juga berperan cukup dominan. Akibat perang 
dagang USA – RRT tidak bisa dipungkiri bikin perekonomian dunia melamban. 
Sekarang seluruh dunia merasakan imbasnya.
4.      Proyek infrastruktur Jokowi belum terasa dampak positifnya. Dimanapun 
infrastruktur itu diperlukan utk individu dan business utk produksi barang dan 
jasa lebih efisien. Ini tidak bisa disangkal. Tetapi memang bisa didebatkan ttg 
seberapa banyak investasi dalam infrastruktur ini akan berdampak positif ke 
economic output dan employment. Long term infrastruktur ini jelas akan 
berdampak positif. Masalahnya adalah employment. Semestinya dampak positif 
suatu proyek apapun akan terasa pada employment dalam short term. Ini yg 
tidak/kurang dirasakan oleh Indonesia. Kenapa? Ini ada kaitannya dgn financing. 
Sumber dana infrastruktur ini kalau didapatkan dari asing, ya asing akan 
mendikte. Jadi jangan heran kalau duitnya dari RRT, ya tentu saja yg punya duit 
akan minta ini dan itu termasuk mengirimkan pekerja2nya.

 

Sekian dulu singkatnya. Bisa diteruskan bagi yg berminat.

 

Nesare

 

From: GELORA45@yahoogroups.com <GELORA45@yahoogroups.com> 
Sent: Sunday, November 10, 2019 1:57 PM
To: nasional-l...@yahoogroups.com; GELORA45@yahoogroups.com; Chalik Hamid 
chalik.ha...@yahoo.co.id [nasional-list] <nasional-l...@yahoogroups.com>
Subject: [GELORA45] pertumbuhan ekonomi hanya 4 persen.

 

  


Pakar Ekonomi Sebut Pertumbuhan Ekonomi Indonesia di Tahun Depan
‘Anjlok’ 

by Miminidn10/11/2019

IDNNews.id, Jakarta – Pakar ekonomi sekaligus Menteri Koordinator
Ekonomi, Keuangan, dan Industri, era pemerintahan Abdurrahman Wahid
alias Gus Dur, Rizal Ramli, memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia
tahun depan hanya 4 persen.

Hal itu terjadi jika tim ekonomi pemerintah tidak mengubah langkah
ekonomi secara signifikan.

“Jika tidak ada perubahan ekonomi makro hingga Desember 2019,
diperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan anjlok ke 4 persen,
yang akan semakin menurunkan daya beli dan meningkatkan jumlah
perusahaan yang mengalami gagal minus bayar (default). Tidak ada juga
tanda-tanda indikator ekonomi makro seperti defisit perdagangan,
defisit curent account akan membaik 2020,” kata Rizal di Jakarta, Jumat
(8/11/2019).

Angka yang diprediksi Rizal itu lebih rendah daripada pertumbuhan
ekonomi tahun ini sebesar 5,05 persen. Padahal, pada 2019, target
pertumbuhan ekonomi dipatok di angka 5,1 persen.

Terlebih lagi, peningkatan kegiatan ekonomi dan korporasi Tiongkok di
Indonesia yang semakin masif juga menjadi dampak perekonomian di Tanah
Air semakin memburuk.

“Nilai tambah mereka (Tiongkok) terhadap ekonomi rakyat Indonesia
sangat minimum. Karena model bisnisnya menyedot nilai tambah dari hulu
ke hilir, sangat berbeda dengan investasi asing lainnya di masa lalu,
yang biasanya hanya membawa kurang dari 10 orang tenaga kerjanya,” kata
Rizal.

Belum lagi, lanjut Rizal, pemerintah masih menggunakan strategi
berutang untuk mengatasi persoalan ekonomi. Ironisnya, bunga utangnya
pun sangat besar bila dibanding negara yang ratingnya rendah dari
Indonesia.

“Bunga utang luar negeri lebih tinggi dibanding negara yang ratingnya
lebih rendah dari Indonesia. Bunga utang Indonesia sampai 8,3 persen,
sementara negara lain seperti Vietnam, Thailand, dan Filipina bunganya
empat sampai lima persen. Itu kenapa subsidi energi dan sosial
dipangkas untuk bayar utang. Dampaknya daya beli rakyat lemah, karena
harga TDL naik, BBM naik, dan akan menyusul iuran BPJS Kesehatan naik
100 persen,” kata mantan Tim Panel Bidang Ekonomi PBB itu.

Meski demikian, Rizal masih optimis dengan kinerja beberapa menteri
kabinet yang bisa menyelamatkan masa depan Indonesia.

“Ada beberapa sektor yang akan melakukan perubahan positif, terutama
Mendikbud Nadiem Makarim, dan Menteri BUMN Erick Thohir yang didampingi
dua mantan CEO Bank Mandiri,” tuturnya. (*)



Kirim email ke