Bagaimana kalau orang suci dikumpulkan di satu wilayah tertentu, supaya
yang suci-suci tidak membuat kesalahan karena memberi salam kepada kafir?
Cara kedua ialah seperti pemisahan antara India dan Pakistan, kemudian
Pakistan menjadi dua yaitu Pakistaan dan Bangladesh. Jadi dimulai dengan
pulau Jawa menjadi negara tersendiri, merdeka dan bebas berdaulat penuh,
tempat kediaman penduduk suci dan wilayah lainnya tempat bagi orang-orang
kafir. Cara pertama  ini diharapkan  semua pihak tidak ambil pusing dengan
urusan zaman bahula supaya menymbangkan tenaga untuk pembebasan dan kemerdekaan
penuh pulau Jawa. Pulau sudah punya semua, infrastruktur cangih, jadi pasti
akan menjadi negara paling maju pada masa mendatang, paling lambat
2045.Wilayah-wilayah dan penduduknya sekalipun terkebelakang jangan
dicampur aduk dengan kepentingan rezim neo-Mojopahit. Sokonglah kemerdekaan
pulau Jawa.


https://www.hidayatullah.com/artikel/tsaqafah/read/2019/11/15/173576/ucapan-salam-kepada-orang-kafir.html


*Ucapan Salam Kepada Orang Kafir*

Jum'at, 15 November 2019 - 15:32 WIB

*Larangan mengucapkan salam kepada orang kafir, menurut para ulama karena
kata ”salam” adalah salah satu dari Nama Allah yang memiliki karakteristik
khusus*


Oleh *Bahrul Ulum*



*Hidayatullah.com  <http://www.hidayatullah.com/>*| *MAJELIS* Ulama
Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Timur mengeluarkan taushiyah atau imbauan
agar umat Islam tidak melakukan salam lintas agama, karena dinilai syubhat
yang dapat merusak kemurnian agamanya.

Menurut MUI, kaum Muslimin tidak perlu mengucapkan salam yang berasal dari
agama-agama lain, seperti salam sejahtera bagi kita semua (Kristen), Shalom
(Katolik), Om Swastiastu (Hindu), Namo Buddhaya (Buddha) dan Salam
Kebajikan (Konghucu), setelah ucapan *assalamuaalaikum warahmatullahi
wabarakatuh*.

Tausyiah yang dituangkan dalam surat bernomor 110/MUI/JTM/2019 menjelaskan
bahwa salam merupakan doa yang tidak terpisahkan dari ibadah yang merujuk
kepada keyakinan agama masing-masing. Jangan hanya berdalih toleransi
kemudian mengorbankan kemurnian ajaran agama.

Baca:  Salam Lintas Agama, Bolehkah?
<https://www.hidayatullah.com/artikel/tsaqafah/read/2019/11/13/173435/salam-lintas-agama-bolehkah.html>

Apa yang disampaikan MUI Jatim sudah tepat dan tidak melanggar hukum.
Sebagai lembaga keulamaan, MUI punya tanggungjawab moril menegakkan
kemurnian ajaran Islam dan menjaga aqidah kaum Muslimin.

Adanya keragaman agama tidak lantas diartikan sebagai pembauran keyakinan
dalam beragama atau sinkritisme. Sebab setiap agama punya identitas, sistem
kepercayaan dan aturan tersendiri.

Menurut KBBI, kata ‘identitas’ memiliki pengertian ciri-ciri atau keadaan
khusus seseorang, atau jati diri. Lalu, kamus Merriam-Webster menjelaskan
lebih dalam lagi dengan mendefinisikan identitas, atau dalam bahasa Inggris
‘identity’ sebagai kesamaan ciri-ciri dalam hal tertentu dan ciri-ciri yang
membedakan manusia yang satu dengan yang lain. Jadi, identitas, pada
dasarnya, merupakan ciri-ciri yang tertanam dan melekat dalam diri tiap
manusia atau kelompok.

Kalau disebut identitas agama berarti jati diri yang melekat pada agama
tersebut yang berbeda dengan agama lainnya. Setiap agama tidak dilarang
menunjukkan identitas diri selama tidak mengganggu atau merendahkan agama
lain. Inilah arti keragaman dan kebhinekaan yang sesungguhnya. Keragaman
identitas setiap agama tidak boleh dilebur dan diseragamkan.

Baca: Salam Lintas Agama dan Toleransi
<https://www.hidayatullah.com/artikel/tsaqafah/read/2019/11/13/173465/salam-lintas-agama-dan-toleransi.html>

*Salam adalah Nama Allah*



Identitas diri seorang muslim adalah cerminan dari ajaran Islam yang
dibawah oleh Nabi Muhammad. Dalam konteks mengucapkan salam, beliau telah
mengajarkan kepada umatnya bagaimana mengimplementasikannya dalam kehidupan..

Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa umat Islam tidak boleh mengucapkan salam
kepada orang kafir sebagaimana sabda beliau: *“Janganlah kalian memulai
salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani!, maka jika kalian berpapasan
dengan salah satu dari mereka di jalan, maka himpitlah ke tempat yang lebih
sempit.*” (HR:  Muslim).

Larangan mengucapkan salam kepada orang kafir, menurut para ulama karena
kata ”*salam*” adalah salah satu dari Nama Allah yang memiliki
karakteristik khusus dalam Islam yang menuntut hanya diucapan di antara
kaum muslimin saja.

Baca:  MPU Aceh Akan Keluarkan Fatwa Soal Salam Lintas Agama
<https://www.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2019/11/14/173518/mpu-aceh-akan-keluarkan-fatwa-soal-salam-lintas-agama.html>

Hal ini ditunjukkan dalam firman-Nya:

هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ
السَّلَامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ

*”**Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Sang Raja, Yang Maha Suci,
Yang Maha Salam, Yang Mengaruniakan Keamanan …* (QS. al-Hasyr: 23).

Makna nama Allah *as-Salam* maksudnya, Allah terbebas dari semua kekurangan
dan kesamaan dengan makhluk. Dia Dzat yang memiliki sifat-sifat
kesempurnaan.

Berdasarkan makna ini, ketika ada seorang muslim mengucapkan “*Assalamu
alaikum*” kepada muslim yang lain, berarti dia mendoakan, ‘Semoga Allah
Dzat as-Salam bersama kalian, sehingga rahmat dan keberkahannya, turun
kepada kalian.’

Sedangkan kata selain “*salam*” dari semua bentuk ucapan selamat, seperti:
*marhaban* (selamat datang), semoga pagimu menyenangkan, *ahlan wa
sahlan* (selamat
datang) maka tidak bisa dianalogikan dengan kata: “*Assalamu’alaikum*”.

Imam Nawawi berkata: “Agar mengatakan,“*Hadakallah* (semoga Allah memberimu
hidayah), ‘*An’amallahu shabahaka* (semoga Allah menjadikan pagimu penuh
dengan nikmat), ucapan ini tidak apa-apa jika memang dibutuhkan ucapan
selamat kepada mereka untuk mencegah keburukannya dan atau semacamnya, maka
hendaknya mengatakan: Semoga pagimu menjadi baik, menyenangkan, sehat dan
lain sebagainya”.(Al Majmu’, 4/487).

Ini artinya tidak boleh mengucapkan salam kepada mereka baik *tahiyyatul
Islam* (assalamu’alaikum), atau “*salam sejahtera”, “shalom”, “om
swastyastu”*, atau salam lainnya.

Baca: INSISTS: Sudah Tepat MUI Imbau Muslim Tak Ucapkan Salam Lintas Agama
<https://www.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2019/11/13/173424/insists-sudah-tepat-mui-imbau-muslim-tak-ucapkan-salam-agama-lain.html>


Hukum kepada selain Yahudi dan Nasrani menurut Syaikh Abdul Aziz bin Baz
sama, karena tidak ada dalil yang menunjukkan perbedaan hukum (dalam
masalah ini). Karenanya tidak boleh memulai salam kepada orang kafir secara
mutlak. (Sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas/1409).

Menurut Syeikh Ibnu Utsaimin, sebagian ulama berkata: “Jika kamu berkata:
“Selamat pagi, selamat datang wahai fulan, maka yang demikian itu bukan
termasuk salam; karena Rasulullah ﷺ bersabda: “Janganlah kalian memulai
salam kepada mereka”. Salam itu adalah do’a, berbeda dengan marhaban
(selamat datang), *Ahlan bi fulan* (selamat datang), itu adalah bentuk
ucapan bukan salam”. (*Liqa Al Bab Al Maftuh*)

Memang benar kita diperbolehkan berbuat baik kepada orang-orang kafir,
namun tidak boleh sampai melanggar syariat dan merendahkan wibawa kaum
Muslimin. Allah Ta’ala berfirman tentang bolehnya berbuat baik kepada
orang-orang kafir: “*Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan
berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan
tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil*” (QS. Al Mumtahanah: 8).

Ayat ini menjelaskan dibolehkannya umat Islam bertetangga, berteman dan
berbisnis dengan non-Muslim. Islam juga tidak melarang umatnya mempunyai
sanak kerabat dari penganut agama yang beragam. Namun mengucap salam lintas
agama tidak dikenal dalam ajaran Islam.

*Peneliti InPAS (Institut Pemikiran dan Perdaban Islam) serta Sekretaris
MIUMI (Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia) Jawa Timur*

Rep: Admin Hidcom

Editor: Cholis Akbar

Kirim email ke