----- Pesan yang Diteruskan ----- Dari: Sunny ambon ilmeseng...@gmail.com [nasional-list] <nasional-l...@yahoogroups.com>Terkirim: Sabtu, 23 November 2019 20.23.03 GMT+1Judul: [nasional-list] Kritik Profesor Australia: Indonesia Susah Terima Perbedaan
https://internasional.republika.co..id/berita/q1dcn2/kritik-profesor-australia-indonesia-susah-terima-perbedaan KritikProfesor Australia: Indonesia Susah Terima Perbedaan Jumat22 Nov 2019 21:52 WIB Red: ProfesorAustralia menilai masyarakat Indonesia terkesan khawatir terhadapperbedaan. Duaideologi besar dianggap sedang bertarung di Indonesia saat ini,mereka adalah ideologi nasionalisme dan Islam, kata seorang ProfesorKajian Indonesia di Monash University. Dari keduanya, masing-masingmemiliki elemen ekstrimis. Karenanya tak heran, masyarakat Indonesiaterkesan khawatir terhadap perbedaan. Berbicaradi Jakarta (20/11/2019), Profesor Ariel Heryanto menyebut masyarakatIndonesia begitu takut terhadap kemajemukan, bahkan termasuk kelompokyang membawa slogan-slogan kemajemukan itu sendiri. Iamengatakan perbedaan tidak boleh dilawan dengan hukuman. "Kalaumau melawan pikiran orang, ya dengan pikiran, jangan dihukum. Tapikalau orang itu melakukan tindakan kriminal, silahkan diproses, bukanpikirannya yang disalahkan," utaranya kepada awak media selepasmemberi kuliah umum di acara peringatan 70 tahun hubungan diplomatikIndonesia-Australia di Museum Nasional Jakarta Pusat, Selasa(20/11/2019) lalu. "Mengapabegitu takut pada perbedaan? Itu salah, harusnya justru bersyukur adaperbedaan," imbuh Ariel. NamunProfesor asal Indonesia di Monash University, Australia, inimemaklumi jika rezim penguasa terkesan tidak siap menerima perbedaan. "Mengapa?Karena jadi lama, repot, bikin keputusan ini enggak setuju, ituenggak setuju. Kan orang jadi enggak sabar," kemukanya. Belajardari pengalaman Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 April lalu,masyarakat Indonesia seharusnya bisa lebih bersabar dalam menghadapirealita sosial.. "Kenapasih harus buru-buru? Lebih lama sedikit enggak apa-apa. Contoh kecilaja lah, kalau kita mau agak vulgar ya, lihat tuh Pilpres." "Berapakorbannya? Ternyata dua calonnya juga dansa-dansi bersama tuh. Jadisebenarnya kalau anda mau bersabar sedikit, sebenarnya enggak masalahperbedaan itu," tegas Ariel. Argumenlainnya, Prof Ariel mengatakan perbedaan terlihat mengancam terhadaporang yang berpikiran lemah, selain terhadap mereka yang berkuasa. "Orangyang pikirannya lemah, dia takut dengan pemikiran lain yang berbeda,yang kuat. 'Hilangkan itu, enggak bener itu'. Salah, seharusnya yanglemah itu diperkuat." "Tapijangan larang orang yang berpikiran beda." DirekturMonash Herb Feith Indonesian Engagement Centre ini tak memungkirijika kekhawatiran terhadap kemajemukan juga ditemukan dalam kelompokyang mengusung slogan 'NKRI harga mati'. "Diajuga anti-kemajemukan kalau begitu. Dia anti-kemajemukan dalampengertian nomor satu, seakan-akan dia sudah benar sendiri." "Seakan-akandia sudah mewakili kemajemukan Indonesia. Indonesia itu ya dia-diasaja, padahal Indonesia itu macam-macam dan semuanya berhak,"kata Ariel. Menurutpenulis buku State Terrorism and Political Identity in Indonesia:Fatally Belonging ini, pencegahan paham ekstrimisme tidak bisadilakukan dengan pelarangan. Pihak yang berwenang harus menelusuripenyebab dari tindakan itu sendiri. "Orangmengatakan karena pikiran, saya enggak setuju. Kalau menurut sayamasalah ketimpangan." "Ketimpanganbisa dalam arti ekonomi, bisa dalam arti jenis kelamin. Pelecehanterhadap perempuan itu sangat serius loh di Indonesia, pelecehanterhadap agama-agama minoritas, itu sangat serius sekali. Jadi enggakcuma ekonomi." "Kemudianmereka jadi korban sehingga frustasi. Enggak ada yang mewakili danmembela mereka," jelas Ariel. Pentingnyapendidikan sejak dini Dalamkesempatan yang sama, Ariel Heryanto juga menyampaikan bahwaekstrimisme dan pemahaman tak lazim tak hanya terjadi di Indonesia,namun juga di Australia. Perbedaannya,sebut Guru Besar di Monash University ini, pemahaman-pemahamanseperti itu tak mendapat tempat di Australia. "DiAustralia itu banyak pikiran yang aneh-aneh tapi enggak pernah laku.Kalau di sini (Indonesia) laku, kenapa?" "Bagaimanacara menghadapi pikiran yang aneh-aneh? Ya saya jawab, letakkansampah pada tempatnya. Titik. Jangan dilayani." "Tapikalau banyak yang melayani ya itu harus ditanya kenapa? apaketimpangan ekonomi, seksual dan semacam itu?," paparnya. Menanggapiekstrimisme yang terjadi di negaranya, termasuk Islamophobia, DutaBesar Australia untuk Indonesia, Gary Quinlan, mengatakan agama takpernah menjadi persoalan. Garymenekankan, di negara manapun, persoalan ekstremisme saat ini menjadisebuah tantangan. "Karenaindividu di masing-masing negara kita bisa menjadi ekstrimis." "Kuncinyaadalah pendidikan dari usia dini, sehingga orang bisa belajar soaltoleransi dan penerimaan terhadap orang lain," ujarnya selepaskuliah umum Prof Ariel di Museum Nasional. Didalam sebuah negara dengan identitas multibudaya seperti Australia,sebut Gary, Pemerintah harus fokus untuk memastikan warganyabenar-benar memahami tentang budaya tiap harinya dari usia belia. "Australiasendiri punya aturan anti-diskriminasi, salah satu yang paling tegasdi dunia. Tapi pada akhirnya, perilaku individu begitu sulit untukdiatur.." "Makanyakami berupaya keras mendidik anak-anak muda tentang penerimaan,toleransi dan multikulturalisme," jelas Dubes yang mulaibertugas di Indonesia tahun 2018 ini. Simakberita-berita lainnya dari ABCIndonesia.