-- j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>
https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1721-parpol-bukan-embahnya-korupsi Sabtu 11 Januari 2020, 05:10 WIB Parpol (bukan) Embahnya Korupsi Usman Kansong Dewan Redaksi Media Group | podium Parpol (bukan) Embahnya Korupsi MI/Ebet Usman Kansong Dewan Redaksi Media Group "SAYA mohon maaf kepada Ketua, anggota, Sekjen KPU RI atas peristiwa yang saya alami." Begitu tertulis di surat terbuka Wahyu Setiawan. Wahyu tersangka penerima suap perkara pergantian antarwaktu anggota legislatif PDIP. Kita membaca permohonan maaf itu serupa ‘mohon maaf atas ketidaknyamanan Anda’. Tidak ada rasa bersalah dalam diri. Yang salah orang lain. Yang salah bukan saya, tetapi tukang yang sedang membetulkan lantai sehingga kenyamanan Anda terganggu dan untuk itu saya mohon maaf. Yang salah bukan saya korupsi, tetapi KPK yang menangkap saya sehingga kenyamanan pengurus KPU terganggu dan untuk itu saya mohon maaf. Mohon maaf, saya sedang sial dan KPK memang sialan. Tersangka korupsi jamaknya tidak mau mengakui kesalahannya. Ungkapan klise 'mana ada maling mengaku' benar belaka. Tidak mengherankan bila tidak ada efek jera dalam pemberantasan korupsi di negeri ini. Kapok berbuat salah mesti diawali rasa bersalah mendalam di diri. Kita memang bukan bangsa yang punya kultur bersalah (guilt culture). Bangsa yang menganut kultur bersalah malu berbuat salah meski orang lain tidak mengetahuinya. Orang serupa dikejar rasa bersalah dan berdosa ketika berbuat buruk meski orang lain tak mengetahuinya. Rasa atau kultur bersalah ini bisa mencegah orang berbuat buruk. Kita bangsa penganut budaya malu. Orang berkultur malu baru merasa malu bila perbuatan buruknya diketahui orang. Sejauh tidak diketahui orang, enteng-enteng saja dia. Jangan-jangan, khusus kasus korupsi, budaya malu pun belum kita capai. Buktinya, para tersangkanya masih suka melambaikan tangan, senyum kiri dan kanan, bukannya tertunduk lesu dan malu. Karena orang baru malu kalau perbuatan jeleknya diketahui orang, pelaku korupsi biasanya berupaya berkelit, menghindar, bersembunyi dari kejaran KPK. Petinggi PDIP yang katanya tersangkut suap kasus pergantian antarwaktu anggora legislatifnya, misalnya, diberitakan ngumpet di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) menghindari kejaran KPK. Namun, yang bersangkutan beralibi, berada di tempat lain, bukan di PTIK. KPK pantang menyerah apalagi pasrah. Bongkar keterlibatan seluruh aktor suap dalam kasus tersebut. KPK baru saja menjawab keraguan publik setelah mereka menangkap Bupati Sidoarjo Saiful Ilah dan Wahyu Setiawan. Publik kembali ragu bila pengungkapan kasus suap pergantian antarwaktu anggota legislatif PDIP ini berhenti pada Wahyu. Bila kegarangan KPK menciut, keraguan publik mencuat. Kasus suap ini melibatkan peserta pemilu, yakni parpol dan caleg, serta penyelenggara pemilu, yakni komisioner KPU. Bila kita lihat secara saksama, pangkal korupsi di kasus ini ialah parpol yang menginginkan caleg dengan perolehan suara tertinggi ketiga menggantikan caleg dengan perolehan suara tertinggi pertama yang wafat. Padahal, sesuai dengan undang-undang, calon tertinggi kedua yang mestinya menggantikan. KPU bergeming meski PDIP menggunakan fatwa MA yang memutuskan pergantian antarwaktu menjadi kewenangan parpol. Untuk memuluskan keinginannya, parpol dan atau caleg menyuap komisioner KPU. Oleh karena itu, untuk mencegah korupsi, tidak dengan mengubah pemilu langsung menjadi pemilu tidak langsung, tetapi memaksa parpol mematuhi undang-undang. Bila parpol melanggar undang-undang, apalagi dengan menyuap, KPK tanpa harus didorong-dorong, langsung turun tangan menegakkan undang-undang. Jangan sampai parpol jadi embahnya korupsi karena parpol semestinya jadi embahnya demokrasi.