-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>


https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1724-islam-yes-kafir-no


Rabu 15 Januari 2020, 05:10 WIB

Islam Yes Kafir No

Usman Kansong Dewan Redaksi Media Group | podium
 
Islam Yes Kafir No

Dok.MI/Ebet
Usman Kansong Dewan Redaksi Media Group

JUDUL di atas saya ambil dari yel-yel yang diteriakkan di satu kegiatan 
kepramukaan. Disclaimer ini perlu karena saya tidak sedang mengglorifikasi atau 
menggaungkan yel-yel bernada rasialis itu, tetapi justru hendak 
'meramaikannya', mempersoalkannya.

Setahu saya, yang pertama kali mengungkap jargon 'ngono yes, nganu no' 
Nurcholish Madjid. Cak Nur pada 1970 memperkenalkan slogan 'Islam yes, partai 
Islam no'.

Orang kemudian latah menggunakan slogan itu dengan berbagai modifikasinya. Ini 
beberapa slogan yang saya temukan melalui mesin pencari: 'Islam yes, FPI no', 
'rohis yes, Islam radikal no', 'prestasi yes, narkoba no', 'nikah yes, zina 
no', 'kebebasan pers yes, hoaks no'. Akan tetapi, saya juga menemukan slogan 
'Islam yes, partai Islam yes'. Ada juga slogan 'no woman no cry' yang 
dinyanyikan Bob Marley.

Baru-baru ini kita dihebohkan slogan serupa yang diteriakkan dalam kegiatan 
kepramukaan di satu sekolah dasar negeri di Yogyakarta. Seorang kakak pembina 
mengomandokan yel-yel 'Islam yes, kafir no' itu.

Kita gusar karena yel-yel tersebut intoleran. Kata kafir dikontraskan dengan 
Islam. Kata kafir bermakna bukan Islam, bukan muslim, bukan pemeluk Islam. Itu 
artinya pemeluk agama selain Islam ialah kafir dan katakan 'no' kepada mereka.

Kita tahu intoleransi cikal bakal radikalisme dan radikalisme pangkal 
terorisme. Kita gusar karena bibit-bibit intoleransi disemai sejak kanak-kanak 
di institusi pendidikan. Institusi pendidikan menjadi arena pengaderan. Boleh 
jadi, bila di masa kanak-kanak intoleran, ketika remaja jadi radikal, dan kelak 
dewasa jadi teroris.

Kita gusar karena yel 'Islam yes, kafir no' bertentangan dengan semangat 
ketakwaan dalam keberagaman seperti tercantum dalam Dasadarma Pramuka. 
Dasadarma pertama, Bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, dan Dasadarma kedua, 
Cinta Alam dan Kasih Sayang sesama Manusia. Setiap anggota pramuka, kalau tidak 
bisa menerapkannya, pasti menghafal Dasadarma Pramuka tersebut.

Kakak pembina pasti tahu bahwa pendiri gerakan kepramukaan ialah Lord Baden 
Powel, seorang kafir dalam pengertian si kakak pembina. Kok kakak pembina 
bergabung dengan gerakan yang didirikan orang kafir?

Kaum intoleran rupanya sudah mengubah strategi gerakan mereka. Sebelumnya 
mereka mengharamkan 'institusi formal dan kafir'. Dulu, misalnya, mereka golput 
pada pemilu karena menganggap institusi demokrasi haram. Belakangan mereka ikut 
mencoblos di pemilu meski yang dipilih yang 'seiman' dengan mereka. Bahkan, 
mereka membentuk atau bergabung ke partai politik. Dulu mereka mengharamkan 
parpol karena berparpol sama saja berfirkah atau berkelompok yang membuat umat 
terkotak-kotak dan terpecah.

Strategi mereka serupa ungkapan the end justifies the means, tujuan 
menghalalkan segala cara. Tujuan menghalalkan cara-cara haram sekalipun. Untuk 
mencapai tujuan, yang haram bisa disulap menjadi halal. Bila tujuan tercapai, 
yang tadi disulap dari haram menjadi halal, disulap kembali menjadi haram.

'Institusi kafir' yang paling efektif digunakan untuk mencapai tujuan mereka 
ialah pendidikan formal. Mereka menyusup ke sekolah-sekolah formal untuk 
menyemai bibit intoleransi. Mereka bahkan membangun sekolah-sekolah sendiri 
supaya lebih leluasa menanamkan bibit intoleransi tersebut.

Mereka menancapkan bibit intoleransi bahkan kepada anak-anak usia dini di 
pendidikan anak usia dini (PAUD) dan taman kanak-kanak (TK). Kanak-kanak serupa 
kertas putih yang bisa dituliskan apa saja di atasnya, termasuk tulisan 
'intoleransi'. Di satu TK di Banyumas, Jawa Tengah, misalnya, syair 'tepuk anak 
saleh' pernah ditambah dengan kalimat akhir 'Islam yes, kafir no'.

Kita tidak boleh menganggap enteng perkara slogan 'Islam yes, kafir no' ini. 
Guru, penyelenggara pendidikan, hingga pemerintah mesti mengambil langkah 
mengerem dan menghentikannya. Rebut kembali institusi pendidikan yang dikuasai 
kaum intoleran.

Pun, orangtua harus peduli. Jangan masukkan anak-anak ke sekolah yang 
terindikasi mengajarkan intoleransi. Bila menemukan bibit intoleransi, segera 
'ramaikan' saja. Perkara slogan 'Islam yes, kafir no' di sekolah dasar negeri 
di Yogyakarta itu menjadi perhatian karena orangtua murid 'meramaikannya' di 
media sosial.
 






Kirim email ke