*Apoakah sudah  bebas dari praktek kolonial? Bersamaan dengan kolonial** lama
dipergikan, lahirlah neo- kolonial, makanya rakyat  di luar
jawasentris tetap berkehidupan buruk .*


https://www.alinea.id/kolom/omnibus-law-melebihi-hukum-agraria-kolonial-b1ZIn9rNH


*Omnibus Law melebihi hukum agraria kolonial*

*Iwan Nurdin* <https://www.alinea.id/me/iwan-nurdin>Senin, 24 Feb 2020
20:51 WIB

   -


Pemikiran utama dalam mengatur pertanahan pada RUU Cipta Kerja
yakni, pertama, strategi pembangunan di atas sumber agraria khususnya tanah
berlandaskan pada kepercayaan bahwa investor besar asing maupun dalam
negeri adalah juru selamat ekonomi. Kedua, pandangan tersebut menjadi dasar
perumusan masalah, bahwa kemelut pembangunan selama ini karena para
pengusaha memiliki sedikit keistimewaan bahkan dipersulit dalam memperoleh
tanah. Ketiga, menjawab hal tersebut RUU ini kemudian mengatur sejak proses
pengadaan pertanahan hingga proses pembangunan di atasnya segala hambatan
dari masyarakat dan birokasi mesti dipangkas.

Berlandaskan pikiran tersebut, pemerintah akan membentuk Bank Tanah. Karena
itu, tidak mengherankan jika cara pemerintah dalam aturan ini Bank Tanah
adalah memberikan kewenangan publik berupa melakukan penyusunan rencana
zonasi, melakukan pengadaan tanah, dan menentukan tarif pelayanan (Pasal
127 angka 4) meskipun hakekatnya Bank Tanah adalah institusi bisnis.

Menurut keterangan pemerintah, Bank Tanah kelak bekerja melalui mekanisme
penetapan lokasi. Kemudian, lokasi tersebut akan dibekukan (*freez*) dari
segala macam transfer kepemilikan kecuali kepada Bank Tanah. Setelah tanah
dikuasai, maka Bank Tanah bisa melakukan kerja sama kepada pihak investor,
atau kelak dipakai oleh pihak lain dalam rangka proyek kepentingan umum
yang membutuhkan tanah. Dalam RUU ini, Bank Tanah akan diberikan Hak
Pengelolaan (HPL) yang secara praktik adalah campuran domein verklaring dan
pemegang tanah partikelir ala zaman kolonial. Padahal *domein verklaring* dan
tanah partikelir telah dihapus ketika kita merdeka.

Selanjutnya, pengaturan pertanahan di atas HPL milik BT dapat diberikan
pemberian Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai (HP)
dengan jangka waktu selama 90 tahun yang diberikan sekaligus (Pasal 127).

Bandingkan dengan hak sejenis di masa kolonial yakni hak erfpacht yang
“hanya” 75 tahun. Sekedar mengingatkan, bahwa Mahkamah Konstitusi telah
membatalkan ketentuan jangka waktu sekaligus semacam ini pada UU No.25/2007
tentang Penanaman Modal, sebab bertentangan dengan prinsip penguasaan
negara atas tanah.

Anehnya, meski memberikan jangka waktu hak nyaris tiga generasi, ketentuan
tentang kewajiban pembangunan kebun secara aktif oleh perusahaan dan
larangan penelantaran tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU Perkebunan
dengan ancaman diambil alih negara justru dihapus oleh RUU ini.

Selain itu, perusahaan perkebunan asing yang akan masuk ke dalam negeri,
dalam RUU Cipta Kerja ini tidak memiliki kewajiban bekerja sama dengan
pemodal dalam negeri.

Beleid sapu jagat ini telah mengubah isi beberapa pasal 39 pada
Undang-Undang Nomor 39/2014 tentang Perkebunan. Pasal 39 yang mengatur
tentang penanaman modal asing akan dihapus.

Isi pasal tersebut kemudian diubah sebagaimana diatur dalam Pasal 30 RUU
Cipta Kerja menjadi berbunyi, "Pelaku usaha perkebunan dapat melakukan
usaha perkebunan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman
modal".

Para perancang RUU telah memberikan karpet merah untuk modal asing
menguasai tanah selama 90 tahun bahkan lebih lama dari aturan masa
kolonial. Hal semacam ini membahayakan. Sebab, tanah perkebunan tersebut
dapat dikuasai asing dan untuk melayani kebutuhan pangan dan bahan baku
negara asalnya.

Misalnya, negara seperti China dapat membangun sawah maha luas di negara
kita, sepenuhnya untuk melayani kebutuhan beras di negaranya untuk jangka
waktu 90 tahun ke depan.

Karena itu, RUU Cipta Kerja semacam ini dapat mengulang kesalahan lama,
menjadikan modal dan pemerintah bekerja sama tanpa kontrol publik akibat
dilegalkan oleh hukum dalam mengatur sumber- sumber agraria. Alih-alih
menciptakan kerja justru menimbulkan ketimpangan sosial karena perampasan
tanah rakyat meluas.

Perilaku gelap mata mengundang investasi oleh perancang RUU ini sebaiknya
dipahami benar oleh DPR dan masyarakat luas agar tidak disahkan.

Kirim email ke