-- j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>
https://news.detik.com/kolom/d-4932839/pertanian-perkotaan-inovatif?tag_from=wp_cb_kolom_list Kolom Pertanian Perkotaan Inovatif Dian Armanda - detikNews Selasa, 10 Mar 2020 15:10 WIB 0 komentar SHARE URL telah disalin Konsep urban farming saat ini memang menjadi tren berkebun di lahan sempit perkotaan. Salah satunya, Abdul Rahman yang merawat tanamannya di atas rumah. Foto: Grandyos Zafna Jakarta - Ketika dunia butuh lebih banyak sumber pangan, di tengah krisis politik, ekonomi, dan sosial tahun 60-an, di sanalah revolusi hijau muncul sebagai penyelamat. Sejarah dunia mencatat akselerasi produksi dan distribusi pangan pada era tersebut (1960-2000), terutama komoditas biji-bijian seperti beras dan gandum. Kombinasi upaya intensifikasi pertanian masif melalui digenjotnya investasi, ekspansi area dan mekanisasi pertanian, serta aplikasi pupuk sintetis dan varietas bibit unggul (high yielding varieties, HVY) dilakukan demi mendongkrak produksi pangan dunia (Evenson and Gollin, 2003; Shiva, 1993). Dari segi kapasitas, tentu terjadi peningkatan produksi pangan dari usaha-usaha tersebut. Tapi dari aspek lingkungan hidup, era ini telah mewariskan dampak hilangnya keanekaragaman hayati dan degradasi kualitas lingkungan yang serius. Ekspansi lahan pertanian yang dilakukan selama era revolusi hijau semakin menggerus area hijau dan daerah resapan. Sampai dengan tahun 2005, tercatat ada 41 negara tropis dunia yang mengalami deforestasi akut karena praktik konversi lahan secara masif (DeFries et al, 2010). Kualitas tanah pun merosot akibat penggunaan penggunaan pupuk sintetis dan pestisida berlebihan. Demikian pula dengan cadangan air tanah, menipis akibat eksploitasi pertanian. Hingga 2017, organisasi pangan dunia FAO mencatat, 70 % air tanah dunia tersedot untuk usaha pertanian. Persentase itu meningkat hingga 90% di daerah minim hujan. Meskipun puncak revolusi hijau tersebut telah berlalu, berbagai inovasi pertanian terus dikembangkan manusia untuk mengimbangi kecepatan populasi. Mengimbangi kecepatan urbanisasi, sejak tahun 2010, muncullah harapan akan sumber produksi pangan baru yang cukup menjanjikan. Pengembangan sistem pertanian perkotaan inovatif (innovative urban farming) mulai marak secara global. Perkawinan inovasi teknologi pertanian terkini dengan optimalisasi area urban melahirkan praktik-praktik urban farming skala kecil (sebagai lifestyle baru), skala medium (kebun pangan komunitas), hingga skala komersial (pabrik sayuran di tengah kota). Sebut saja misalnya, inovasi teknik pertanian dalam ruang (indoor farming), pertanian vertikal, pertanian tanpa tanah (hidroponik, aeroponik, aquaponik), hingga pertanian presisi yang melibatkan automatisasi mutakhir. Secara umum sistem pertanian perkotaan ini dipandang lebih ramah lingkungan. Inovasinya membuat aspek perawatan dan sumber daya yang dipakai menjadi minimalis, namun menghasilkan panen yang maksimalis. Di tingkat global, 2010 menandai munculnya industri pertanian perkotaan inovatif di beberapa negara di dunia (Armanda, et al., 2019). Sistem pertanian perkotaan inovatif telah mengubah cara orang dalam memproduksi pangan. Sebuah lompatan atau revolusi dalam meningkatkan sumber produksi pangan baru. Inilah penanda datangnya revolusi hijau kedua, revolusi untuk pemenuhan kebutuhan pangan masa depan dengan mendekatkan lokasi produksi langsung kepada konsumen yaitu mayoritas populasi dunia (masyarakat urban). Revolusi akan sistem pertanian yang lebih efektif, efesien, dan dianggap ramah lingkungan. Namun apakah sistem pertanian perkotaan ini bisa berkontribusi signifikan dalam menciptakan ketahanan pangan dunia? Atau, hanya sekadar mendemontrasikan lompatan teknologi dalam ruang laboratorium tanpa mampu mewujudkan hasil riil dalam pemenuhan kebutuhan pangan global? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya telah meneliti 18 sampel pertanian perkotaan inovatif komersial yang tersebar di Asia, Amerika, Eropa. Saya mencoba mengkompilasi data produksi dari praktisi sistem pertanian inovatif tersebut. Data yang ada lalu ditelaah, dikomparasi, divalidasi, dan diambil kesimpulannya. Kontribusi Pertanian Perkotaan Setidaknya ada empat hal yang dapat dikaji untuk melihat signifikansi kontribusi sistem pertanian inovatif dalam program ketahanan pangan. Pertama, jumlah potensial produksi global. Penelitian Zezza dan Tascioti (2010) di 15 negara berkembang mencatat proporsi pertanian perkotaan dalam sistem pertanian secara keseluruhan persentasenya variatif, mulai 3 sampai dengan 27%. Sedangkan hasil panennya bisa mencapai 50 kilogram per meter persegi. Sementara di negara maju, seperti pertanian Aerofarm di New Jersey, AS hasil panennya bahkan mencapai 140 kilogram per meter persegi (Orsini et al., 2013). Jika membandingkan produktivitas pertanian perkotaan dengan konvensional, hasilnya cukup menggembirakan. Teknik hidroponik untuk selada, misalnya, menghasilkan panen 11 kali lebih banyak per hektarnya (Barbosa et al., 2015). Sementara dalam sistem rumah kaca, panen stroberi 13 kali lebih banyak per hektarnya (Khoshnevisan et al., 2013), sedangkan tomat 1,5 kalinya (Martinez-Blanco et al., 2011). Kebanyakan dari studi tersebut sangat tergantung situasi dan kondisi spesifik (lokasi, teknologi, syarat, dan jenis tanaman), sehingga tidak dapat digeneralisasi. Namun itu saja sudah dapat memberikan kita gambaran, bagaimana besarnya potensi jumlah produksi hasil sistem pertanian perkotaan inovatif ini. Kedua, cakupan hasil produk. Saat ini memang produk holtikultura (sayuran dan buah) masih mendominasi hasil pertanian perkotaan. Karena perawatannya yang mudah, praktis dan cepat panen. Tapi kini tanaman sumber karbohidrat mulai diuji coba ditumbuhkan di perkotaan. Bahkan diversifikasi pun sudah merambat ke hasil produk sumber protein hewani. Yakni dengan teknik aquaponik yang menggabungkan produksi hortikultura dan perikanan. Dalam catatan FAO (2007), hasil pertanian perkotaan memenuhi 10-100% kebutuhan sayuran penduduk urban. Kontribusi di negara berkembang lebih besar angkanya dibandingkan di negara maju (FAO, 2014). Ketiga, daerah pertanian potensial. Luasan daerah pertanian perkotaan semakin meningkat khususnya di negara-negara maju, Hasil studi Polling et al (2016) di sebuah kota metropolitan di Jerman contohnya, luas lahan pertanian perkotaannya mencapai 33% dari luas wilayah kota. Namun yang paling menjanjikan adalah optimasi lahan vertikal untuk perluasan pertanian perkotaan. Contohnya Skyfarm, sebuah pertanian aeroponik rumah kaca vertikal setinggi 20 lantai yang menempati total lahan 1 hektar (Germer et al., 2011). Per tahunnya Skyfarm mampu memproduksi 200 kali lipat bijih beras (hampir 900 Mg) dibandingkan dengan produsen beras reguler paling produktif di Mesir (sekitar 8 Mg). Selain itu, lahan pertanian perkotaan juga bisa memanfaatkan area rooftop gedung, bangunan yang terbengkalai, atau ruang bawah tanah. Sehingga tidak memakan banyak lahan terbuka seperti halnya pertanian konvensional. Keempat, jumlah potensial praktisi pertanian perkotaan inovatif. Data tentang jumlah pasti praktisi sistem pertanan ini masih sumir. Namun menurut Armar-Klemesu (2001), diperkirakan ada 800 juta petani urban secara global. 100 sampai dengan 200 juta diantaranya memproduksi sayuran segar untuk pasar pada tahun 2000. Sedangkan jumlah praktisi pertanian perkotaan di 15 negara berkembang yang diteliti Zezza dan Tascioti (2010) bervariasi prosentasenya dari 11 hingga 69%. Dari berbagai potensi di atas dapat disimpulkan bahwa kombinasi pertanian perkotaan inovatif dalam berbagai skala praktik (kecil, menengah, maupun komersial) mampu mendukung tiga dimensi ketahanan pangan, yakni ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan. Pertanian skala kecil dan menengah mampu memproduksi sejumlah sayuran untuk pasar lokal. Sedangkan pertanian skala medium dan komersial dapat dikembangkan untuk melengkapi pemenuhan kebutuhan nasional atau bahkan global. Meskipun masih diperdebatkan, sistem pertanian inovatif juga berpotensi berkontribusi pada stabilitas pangan (termasuk keamanan pangan). Yaitu dengan mengurangi ketergantungan pada rantai penyediaan pangan yang panjang dan kurang berkembang (poorly developed food value chains), dari produsen di pedesaan ke konsumen di perkotaan. Jadi, tak berlebihan jika kita katakan, sistem pertanian perkotaan inovatif telah meretas jalan menuju revolusi hijau kedua. Mengemban misi suci terutama Sustainable Development Goals nomor 2: melenyapkan kelaparan dari muka bumi. Dian Armanda staf pengajar Biologi di Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, sedang menempuh program doktoral di Institute of Environmental Sciences (CML) Leiden University Belanda (mmu/mmu) urban farming pertanian 4.0 ketahanan pangan