Mungkin ada PROBLEM SERIUS yang patut diperhatikan, "Mengapa kekerasan
seksual terjadi pada anak2!" bahkan anak2 hanya diklas SD-2 saja! Masih
7-8 tahun, dibawah usia 10 tahun, bukan lagi seperti dahulu hanya
terdengar pada anak2 SMP-SMA yang sudah belasan tahun! Anak2 yang memang
sudah beranjak masa pubertas, sudah ada rangsang hubungan beda klamin,
.... atau masa pubertas jadi menurun beberapa tahun??? Apa sebab???
Ada ahli biologis menyatakan, perubahan manusia cepat pubertas banyak
diakibatkan makanan! Mengandung hormon, ... disamping makin banyak dan
mudahnya anak2 mengakses medsos yang tidak sedikit tayangan porno,
membuat anak-anak lebih cepat dewasa dari usia anak2 umumnya!
Tapi, kalau kejadian pelecehan seksual sampai anak perempuan SD-2 merasa
kelaminnya sakit, sedang kepala sekolah menganggap sebagai "KENAKALAN
Biasa!" ini sudah keterlaluan! Dan itu dilakukan oleh 4 anak kakak klas!
Atau kepala sekolah itu sudah TIDAK SEHAT??? Mengasuh anak2 sekolah jadi
bejat, ... dan boleh dianggap kenakalan biasa saja???
On 21/3/2020 上午3:46, 'j.gedearka' j.gedea...@upcmail.nl [GELORA45] wrote:
--
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>
https://news.detik.com/kolom/d-4947421/kekerasan-seksual-di-sekolah-bukan-iseng?tag_from=wp_cb_kolom_list
Kolom Kalis
Kekerasan Seksual di Sekolah Bukan Iseng
Kalis Mardiasih - detikNews
Jumat, 20 Mar 2020 17:56 WIB
0 komentar
<https://news.detik.com/kolom/d-4947421/kekerasan-seksual-di-sekolah-bukan-iseng?tag_from=wp_cb_kolom_list#comm1>
SHAREURL telah disalin
<https://news.detik.com/kolom/d-4947421/kekerasan-seksual-di-sekolah-bukan-iseng?tag_from=wp_cb_kolom_list>
kalis mardiasihKalis Mardiasih (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
*Jakarta*-
Setelah saya punya pemahaman yang cukup baik tentang pelecehan seksual
dan kekerasan seksual, saya mulai bisa mengingat kejadian-kejadian
yang saya lihat pada masa sekolah. Siswa laki-laki yang menjebret tali
bra teman perempuan, hingga sekelompok siswa laki-laki yang memaksa
meminta uang teman perempuan dengan langsung mengambil dari saku bajunya.
Dulu, saya diam saja. Barangkali saya pengecut, mungkin juga
kebingungan mesti berbuat apa. Kini saya tahu, kebingungan itu
disebabkan karena saya belum punya pengetahuan bahwa peristiwa yang
saya saksikan tergolong pelecehan seksual. Otak saya tidak punya
instrumen bahasa untuk menamai peristiwa itu sebagai pelecehan. Naluri
remaja saya sadar jika hal itu buruk, tapi saya tak punya pengetahuan
soal relasi kuasa antara pelaku-korban sehingga hanya bisa diam.
Sore hari, tanggal 13 Maret 2020, pembaca berita sebuah stasiun
televisi menelepon secara/live/Kepala Dinas Pendidikan Kecamatan Bungo
Jambi. Ia berusaha mengonfirmasi berita kekerasan seksual pemerkosaan
yang menimpa siswi kelas 2 SD oleh 4 kakak kelasnya. Peristiwa
tersebut terjadi dalam lingkungan sekolah saat jam sekolah.
Kepala Dinas Pendidikan menjawab dengan gelagapan. Ia bilang,
peristiwa kekerasan seksual itu sebagai kenakalan siswa biasa. Saat
pembaca berita menanyakan kondisi siswi yang menjadi korban, dengan
sangat enteng Bapak Kepala Dinas menjawab bahwa kondisinya baik-baik
saja, bahkan siswi sudah masuk sekolah seperti biasa.
Beberapa hari sebelumnya, di media sosial viral sebuah video pelecehan
seksual kepada siswi SMA di Kabupaten Bolaang Mongondouw, Sulawesi
Utara. Aksi pelecehan seksual tersebut dilakukan beramai-ramai oleh
sekelompok siswa di dalam kelas dengan masih mengenakan seragam
sekolah. Pihak sekolah, lagi-lagi mengatakan bahwa peristiwa itu
kenakalan biasa.
Saya melihat video pelecehan seksual yang viral itu karena mention
salah satu pengikut di Twitter. Saya berhenti menontonnya sebelum
selesai karena tak kuat.
Siswi SD perempuan korban pemerkosaan mengaku alat kelaminnya sakit
dan takut berangkat ke sekolah sehingga ia melapor kepada ibunya.
Korban video pelecehan seksual konon telah didampingi oleh lembaga
perlindungan perempuan dan anak untuk pemulihan psikis pascatrauma.
Dan saya tak sanggup membayangkan, bagaimana kedua anak perempuan ini
menjalani hari-hari ke depan. Mungkin mereka akan selalu ketakutan
ketika ada laki-laki berjalan mendekat. Mungkin ada kelainan atau
penyakit lanjutan pada alat kelaminnya. Rasa percaya diri mereka
hilang seumur hidup dan seolah tak ada lagi cita-cita serta masa depan
karena merasa dirinya tak lagi berharga. Fase yang paling berat adalah
menyembuhkan trauma tiap kali video yang terlanjur viral itu muncul
lagi ke hadapannya.
Di sekolah, sama dengan kampus atau lembaga terhormat lain, pada
umumnya kasus pelecehan seksual kepada perempuan dianggap bukan
persoalan serius. Saya melakukan jajak pendapat di Instagram. Para
perempuan yang memiliki pengalaman pelecehan seksual pernah melapor
kepada layanan bimbingan dan konseling di sekolah, lalu mendapat
respons yang mengecewakan. Guru hanya menganggap pelecehan seksual
sebagai sebuah keisengan. Siswa perempuan diminta menjaga rahasia. Dan
pelakunya, siswa laki-laki tidak dihukum.
Jangan-jangan, karena memang perempuan tidak dianggap sebagai manusia
seutuhnya.
Kesedihan korban dianggap bisa segera berlalu sebab anak perempuan
kelak dapat segera dinikahkan dan masalah pun selesai dengan damai.
Menikahkan anak perempuan sebagai solusi adalah satu tanda bahwa
perempuan tidak memiliki agensi utuh terhadap dirinya sendiri.
Perempuan dianggap tidak memiliki mimpinya sendiri. Perempuan dianggap
tidak memiliki masa depan jika tanpa bantuan orang lain, dalam hal ini
adalah pasangan hidup.
Lembaga sekolah, lembaga kampus dan lembaga terhormat lainnya berusaha
sekuat tenaga menutupi kasus kekerasan seksual yang terjadi atas nama
"nama baik".
Kepala sekolah hingga kepala dinas lebih memilih ketakutan jika kasus
menjadi isu nasional. Padahal, publik akan bangga jika sebagai
pimpinan, ia dapat berpihak kepada korban dan menyelesaikan kasus
dengan rasa keadilan, apapun risikonya. Prestasi sebagai pemimpin
dalam lembaga pendidikan telah diukur lewat sejumlah hal yang bersifat
administratif. Pemimpin yang menyelesaikan kasus pelecehan seksual di
sekolah atau kampus sepertinya tidak akan mempengaruhi kenaikan poin
atau jabatan, sehingga perjuangan ini jadi tidak penting.
Jika pelakunya adalah seorang guru besar atau profesor, apalagi yang
dalam keseharian memiliki citra religius, pelecehan seksual juga jadi
berita yang tak masuk akal. Guru atau dosen perempuan kesulitan
membangun solidaritas untuk melawan predator dalam lembaga pendidikan
sebab ternyata level pendidikan yang tinggi tidak berkaitan dengan
penyakit kronis bernama seksisme. Guru atau dosen perempuan yang
melapor dianggap terlalu GR, baper, emosional, atau membesar-besarkan
persoalan kecil.
Atau, bisa jadi, ada isu bias kelas juga dalam kasus pelecehan seksual
di sekolah? Anak-anak pelaku barangkali adalah anak seorang pengusaha
atau pejabat daerah. Sedangkan, perempuan korban hanyalah anak
biasa-biasa saja yang keluarganya tidak bisa berbuat apa-apa ketika
mendapat ancaman atau perintah untuk diam.
Terlalu banyak lapis yang mesti dibuka untuk mencari keadilan bagi
korban. Tapi, segala sesuatunya hanya dianggap iseng.
*Kalis Mardiasih*/penulis konten dan fasilitator Gusdurian National
Networks of Indonesia Yogyakarta/
*(mmu/mmu)*
kekerasan seksual
perempuan