-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>


https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1795-politik-kesehatan


Senin 06 April 2020, 05:30 WIB

Politik Kesehatan

Gaudensius Suhardi Dewan Redaksi Media Group | Editorial
 
Politik Kesehatan

MI/Tiyok
Gaudensius Suhardi Dewan Redaksi Media Group.

POLITIK dan kesehatan ialah dua sisi dari sekeping mata uang. Kesehatan ialah 
produk politik yang mestinya dihasilkan politik yang sehat pula. Hanya 
pemerintahan dan DPR yang sakit-sakitan, kedua-dua lembaga itu merumuskan 
politik kesehatan, yang membiarkan rakyat sakit-sakitan.

Untungnya, pemerintahan dan DPR sekarang berusaha sekuat tenaga menyehatkan 
rakyat. Artinya, mereka sehat adanya. Politik kesehatan itu terkait dengan hak 
dasar. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyatakan, ‘Setiap orang berhak hidup 
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup 
yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan’.

Untuk mewujudkan hak sehat rakyat itu, diperlukan keputusan cepat dan tepat 
dari otoritas kesehatan yang sehat pula. Otoritas kesehatan berada di garda 
terdepan melawan covid-19. Akan tetapi, sepanjang Januari sampai Februari, 
peran menonjol justru dimainkan Kementerian Luar Negeri karena menyangkut 
pemulangan warga negara Indonesia dari Wuhan, Tiongkok, tempat asal virus 
korona.

Kementerian Kesehatan tampaknya terlalu percaya diri bisa mengatasi covid-19. 
Sepanjang Januari sampai Februari otoritas kesehatan bekerja apa adanya, 
menyiagakan thermal scanner di 135 pintu negara dan menghidupkan kembali  umah 
sakit rujukan penyakit menular sebelumnya.

Dalam kurun waktu itu sama sekali tidak ada pengadaan alat pelindung diri (APD) 
secara besar-besaran, juga tidak ada pelatihan tenaga medis. Percaya diri 
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto bisa dilacak dari kutipan keterangan 
persnya pada 11 Februari.

Saat itu ia membanggakan kit yang ada di Badan Penelitian dan Pengembangan 
Kesehatan untuk pemeriksaan virus korona dan sudah teruji. Jika ada yang 
meragukan, kata Terawan, dipersilakan untuk melihat sendiri karena alatnya 
berasal dari Amerika. Padahal, Amerika sendiri lunglai hadapi covid-19.

Jujur dikatakan bahwa persiapan otoritas kesehatan menghadapi covid-19 
tertatih-tatih, tampak kelabakan setelah Presiden mengumumkan dua orang positif 
covid-19 pada 2 Maret. Disebut tertatih-tatih karena sejak saat itu, ujung 
grafi k perkembangan covid-19 terus menuju langit. Belum ada tanda-tanda ujung 
grafi k kembali ke bumi.

Protokol covid-19 baru diterbitkan pada 6 Maret yang diinisiasi Kantor Staf 
Presiden. Protokol yang dimaksud ialah Protokol Kesehatan, Protokol Komunikasi, 
Protokol Pengawasan Perbatasan, Protokol Area Pendidikan, dan Protokol Area 
Publik dan Transportasi.

Protokol tersebut dilaksanakan di seluruh Indonesia oleh pemerintah dengan 
dipandu secara terpusat oleh Kementerian Kesehatan. Panduan terpusat yang 
dimaksud tidak berjalan semestinya sehingga Presiden, pada 16 Maret, 
mengeluarkan kebijakan kerja dari rumah, belajar dari rumah, dan ibadah di 
rumah.

Kebijakan jaga jarak sosial hanyalah bersifat imbauan, padahal Undang-Undang 
Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan memberikan kewenangan penuh 
kepada Menteri Kesehatan menetapkan pembatasan sosial berskala besar.

Ada sanksinya pula. Presiden meneken Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 
tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan 
Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) pada 31 Maret.

Pada saat bersamaan dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2010 tentang 
Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Desease 2019 
(Covid-19). Hingga 2 April, PP PSBB tidak bisa operasional karena menunggu 
peraturan menteri kesehatan.

“Saya minta dalam waktu maksimal dua hari peraturan menteri itu sudah selesai,” 
kata Presiden. Menkes Terawan meneken Permenkes Nomor 9 Tahun 2020 pada 3 
April. Secara umum permenkes itu cukup komprehensif dan rigid.

Akan tetapi, bupati dan wali kota hanya diberi kewenangan untuk melaksanakan 
PSBB untuk lingkup satu kabupaten/kota. Bagaimana kalau episentrum covid-19 
hanya ada di satu kecamatan, satu desa, atau satu pulau? Apakah seluruh 
kabupaten/ kota harus diberlakukan PSBB?

Mestinya diberi peluang PSBB untuk wilayah yang lebih kecil di dalam 
kabupaten/kota. Covid-19 memberikan pelajaran besar. Saatnya negara mengambil 
keputusan politik yang sehat agar rakyat tidak sakitsakitan. Membebani impor 
alat-alat kedokteran dengan pajak yang sama untuk impor mobil mewah ialah 
putusan politik yang tidak sehat.

Perlu pula keputusan politik agar dokter-dokter tidak menumpuk di kota-kota 
besar. Harus ada pertimbangan politik kesehatan terkait dengan persebaran 
dokter di seluruh negeri ini. Setelah covid-19 berlalu, perlu dipikirkan 
pembentukan omnibus law di bidang kesehatan.

Selama ini kesehatan diatur dalam banyak undang-undang yang satu sama lain 
tidak selaras. Indonesia membutuhkan kesehatan politik agar menghasilkan 
politik kesehatan yang benar-benar sehat.

 

 

 

 





Reply via email to