Kembali ke judul buku ,,Door Duisternis tot Licht" yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia ,,Habis Gelap Terbitlah Terang" oleh Armijn Pane dan
populer dipakai sampai sekarang. Lainnya ada yang dalam bahasa Jawa
,,Mboekak Pepeteng"; bahasa Indonesianya = ,,Membuka Kegelapan "; jadi benar
seperti bung Chan terjemahin. Kegelapan sebagai kata benda. Aku tidak akan
persoalkan arti kata itu secara linguistik, tapi sekedar curhat saja. Sama
seperti bung Djie dan bung Chan, benar juga ,,Habis Gelap Terbitlah Terang"
itu kurang cocok, dalam artian Gelap = duister, sedangkan ada kata
penghubungnya yaitu ,,Door. tot", perasaan saya itu merupakan proses, yaitu
oleh/dari...ke/sampai... . Tolong bung Djie apa begitu? Lalu habis gelap,
benarkah? Lagi sama dengan bung Chan. Sampai sekarang yang namanya terang
masih belum seperti yang dicita-hasratkan oleh kaum perempuan.

Lalu saya membuka catatan saya- dari internet - kumpulan ttg peringatan Hari
Kartini. Saya temukan judul ,,Beberapa Pemikiran Kartini"tulisan Harsutejo
2015(?) - 'cuplikan dari  Harsutejo, Kartini, Pemikir Multidimensi, naskah
buku sedang dalam penyelesaian)'. Satu dua kalimat:

 

Kartini Dibuat Abu-Abu

Ada sejumlah pemikiran Kartini yang tidak atau hampir tidak dibicarakan,
apalagi ketika kumpulan surat Kartini pertama diterbitkan oleh JH Abendanon
di Belanda pada 1911, di antaranya diterjemahkan oleh Armijn Pane pada 1938,
Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku yang sarat dengan sensor untuk
kepentingan penjajah Belanda inilah yang pada 2008 telah mengalami cetakan
ke-24 tanpa perubahan secuwil pun, tersebar dan dibaca luas di Indonesia.
Banyak surat Kartini yang tidak dimuat dalam buku tersebut dan banyak bagian
telah dipotong-potong, justru surat atau bagian surat yang sangat penting.

Mungkin sekali penerbit Balai Pustaka sebagai alat pemerintah kolonial ikut
menyensor terjemahannya. Misalnya kata revolutie yang dgunakan Kartini
diterjemahkan Armijn Pane dengan "berubah terbongkar dengan
sungguh-sungguh," nampaknya kata 'revolusi' yang tersohor di kalangan
gerakan nasional di masa itu sesuatu yang menakutkan dan menjadi tabu.
Kartini dengan gairah menyambut tanda-tanda datangnya perubahan zaman. Dalam
hubungan ini ada kata-kata lain Kartini yang diterjemahkan dengan
menyesatkan maknanya.

"Eene verandering in onze geheele Inlandsche wereld zal komen; het keerpunt
is voorbeschikt; maar wanneer? Dit is de groote vraag. Wij kunnen het uur
der revolutie niet vervroegen. Dat juist wij in deze wildernis, in dit diepe
binnenland, waarachter geen land meer is, zulke oproerige gedachten moesten
hebben!" (DDTL 1976:19-20).

"Seluruh dunia kami Bumiputra tentu akan berubah juga; masanya berubah sudah
ditakdirkan Allah. Akan tetapi apabilakah? Itulah yang menjadi masalah.
Ketikanya berubah terbongkar dengan sungguh-sungguh, tiada dapat kami
percepat. Apakah sebabnya maka kami yang gaduh pikirannya, kami yang hidup
di dalam rimba ini jauh di tanah darat, di ujung negeri!"(terjemahan Armijn
Pane 1938, huruf tebal hs).

 
---

Kutipan selesai. Sekali gus kita bisa membandingkan. 

Tambahan, di buku Armijn Pane, tidak dimuat seperti postingan bung Djie :
R.A. Kartini, cuplikan dari surat tertanggal 8 Juni 1904 jaadi memang di
potong atau sensor; sedang yang bahasa Jawa, dimuat lengkap. O ya maaf, buku
Mboekak Pepeteng  penulisnya R. Sasrasoegonda. Diterbitkan oleh Panitya
Fonds Kartini Djawa, Soerabaja - 1938. 

Itulah bung di kala di karantin selama covid-19 masih mengganas.

 

Salam,

 

Titiek Maslam

 

Kirim email ke