-- j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>
https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/1990-kontroversi-belva-dan-kartu-prakerja Kamis 23 April 2020, 05:00 WIB Kontroversi Belva dan Kartu Prakerja Administrator | Editorial SETIAP kontroversi hendaknya segera diselesaikan. Terlebih jika yang menimbulkan kontroversi itu kebijakan pemerintah. Penyelesaiannya harus cepat, tuntas, tidak setengah-setengah. Tuntaskan agar tidak malah menimbulkan kontroversi-kontroversi baru. Kontroversi terkait dengan kartu prakerja belakangan ini semestinya juga masuk ke daftar itu. Ada anggaran besar di situ. Sebelumnya dianggarkan Rp10 triliun, kemudian dinaikkan menjadi Rp20 triliun seiring dengan perubahan orientasinya dari sebelumnya sebagai jaring pengaman para pencari kerja menjadi bantuan sosial, terutama bagi korban PHK akibat pandemi virus korona. Dari jumlah anggaran sebesar Rp20 triliun itu, hampir seluruhnya, yakni Rp19,88 triliun, dialokasikan untuk insentif kepada masyarakat. Nominalnya Rp3,55 juta untuk 5,6 juta peserta yang mendaftar. Sampai di sini publik masih melihat kartu prakerja ialah program bagus yang kiranya dapat membantu meringankan beban masyarakat, utamanya mereka yang harus kehilangan kerja dan penghasilan gara-gara efek covid-19. Lantas, di mana kontroversinya? Dari setiap Rp3,55 juta yang diperoleh peserta kartu prakerja, uang tunai yang mereka dapatkan hanya Rp2,55 juta. Itu terdiri atas insentif sebesar Rp600 ribu per bulan selama empat bulan (Rp2,4 juta) dan biaya pengisian survei evaluasi sebesar Rp50 ribu per survei untuk 3 kali survei (Rp150 ribu). Sisanya Rp1 juta ditransfer ke rekening dompet elektronik peserta untuk dipakai sebagai biaya pelatihan. Di sinilah kontroversi mulai muncul, karena tanpa publik tahu, pemerintah rupanya sudah memilih delapan mitra penyelenggara pelatihan online kartu prakerja. Delapan mitra itu Tokopedia, Bukalapak, Ruangguru, MauBelajarApa, HarukaEdu, PijarMahir, Sekolah.mu, dan Sisnaker. Dalam logika paling sederhana pun, kita bisa menghitung merekalah yang akan menikmati anggaran Rp1 juta dikalikan 5,6 juta peserta. Hasilnya Rp5,6 triliun. Padahal, selain Sisnaker, para mitra itu ialah perusahaan-perusahaan startup yang jika dilihat dari nilai kapitalisasi ataupun valuasinya tak patut disusui anggaran negara. Kritik tidak berhenti di situ. Materi-materi pelatihan daring yang ditawarkan pun dinilai aneh, lucu, bahkan mengada-ada. Relevansinya juga dipertanyakan. Tidak sebanding dengan uang yang mesti dibayarkan peserta kartu prakerja. Malah, sebagian besar materi itu sebetulnya bisa didapatkan secara gratis lewat platform digital yang lain. Mundurnya CEO Ruangguru Adamas Belva Syah Devara dari jabatan Staf Khusus Presiden, beberapa waktu lalu, mungkin ialah bagian dari penyelesaian kontroversi-kontroversi itu. Pada satu sisi, ia perlu diapresiasi karena koleganya sesama stafsus yang sebelumnya menggunakan 'kuasanya' dengan mengirimkan surat ke camat-camat untuk membantu operasional perusahaan yang ia pimpin, sampai hari ini justru belum mengundurkan diri. Namun, mesti dicatat, dalam konteks permasalahan kartu prakerja secara utuh, mundurnya Belva hanyalah penyelesaian persoalan domestik dia sendiri. Ia tentu tidak nyaman dengan tuduhan konflik kepentingan dalam kasus kartu prakerja akibat rangkap jabatannya sebagai CEO Ruangguru dan Stafsus Presiden. Substansi persoalannya belum tersentuh solusi. Yaitu anggaran Rp5,6 triliun yang tidak tepat sasaran. Bahasa lainnya ialah pemborosan anggaran. Inilah yang mesti direspons dan diselesaikan cepat oleh pemerintah, mumpung baru anggaran untuk 168 ribu peserta Kartu Prakerja gelombang I yang sudah ditransfer kemarin, Rabu (22/4). Minimal, jelaskan dulu sejelas-jelasnya kepada publik apa manfaat pasti dari pelatihan-pelatihan berbayar itu. Adakah jaminan, misalnya, ketika pandemi korona berakhir dan para peserta sudah mengenyam pelatihan daring itu, mereka dapat prioritas untuk mendapatkan lapangan kerja? Bila perlu setop dulu program ini untuk segera mencari skema lain pemanfaatan anggaran kartu prakerja yang lebih masuk akal, relevan, dan efektif. Pemerintah tak mesti menjadi anak muda seperti Belva Devara dulu untuk mau mundur selangkah demi menyingkir dari kontroversi sekaligus menggali skema baru yang lebih mampu menyelesaikan persoalan.