-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>


https://www.antaranews.com/berita/1445628/setop-remehkan-covid-19



Telaah

Setop remehkan COVID-19

Oleh Andi Jauhary       Minggu, 26 April 2020 22:04 WIB

Hasil pengujian sampel darah saat rapid test COVID-19. ANTARA FOTO/Maulana 
Surya/aww.
Laporan itu menyebutkan bahwa paling sedikit satu tahun ke depan tidak 
dianjurkan ada kegiatan berkumpul
Jakarta (ANTARA) - Virus corona baru penyebab COVID-19 menurut data terbaru di 
laman https://www.covid19.go.id/2020/04/26/infografis-covid-19-26-april-2020/ 
pada Minggu, 16.00 WIB menunjukkan jumlah masyarakat di Tanah Air yang positif 
terpapar COVID-19 mencapai 8.882 orang, tersebar di 34 provinsi dan 282 
kabupaten/kota.

Dari jumlah tersebut, 1.107 orang dinyatakan sembuh dan 743 orang meninggal..

Masih di laman yang sama, COVID-19 telah menyebar ke 213 negara di dunia dan 
wilayah/teritorial.

Hampir semua negara setiap hari melaporkan perkembangan kejadian COVID-19, baik 
mengenai jumlah yang positif, sembuh, maupun meninggal.

Di antara mereka yang meninggal tersebut --dan kondisi ini menjadi keprihatinan 
bersama-- adalah para tenaga kesehatan, baik dokter, perawat, maupun tenaga 
kesehatan terkait lainnya --yang selama ini banyak diposisikan sebagai garda 
terdepan dalam "perang" menghadapi virus mematikan itu.

Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mengonfirmasi bahwa tidak 
kurang dari 24 dokter meninggal akibat virus corona, sedangkan Ketua Umum Dewan 
Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPP PPNI) Harif Fadillah 
mengonfirmasi sekurangnya 16 perawat meninggal dunia terkait virus itu.

Dari data itu, tidak kurang dari 40 tenaga kesehatan telah gugur dalam tugas 
berat menangani COVID-19.

Itu sebabnya, pada Senin (20/4) dalam rapat terbatas melalui telekonferensi 
dari Istana Merdeka Jakarta, Presiden Joko Widodo memerintahkan diterapkannya 
perlindungan optimal bagi para dokter, perawat dan tenaga medis lainnya dalam 
menangani pandemi COVID-19.

Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Doni Monardo saat menyampaikan 
arahan dari Presiden usai rapat terbatas itu meminta jajarannya menerapkan 
upaya agar tidak ada lagi tenaga medis yang wafat karena menangani pasien 
terinfeksi virus corona.

Penekanan dari Presiden untuk memberikan perlindungan optimal kepada para 
dokter dan tenaga medis lain sebagai garda dengan memastikan ketersediaan alat 
pelindung diri (APD) bagi para tenaga medis yang bertugas menangani pasien 
terkait COVID-19 karena tidak ingin ada lagi dokter yang wafat karena 
perlindungan belum maksimal.

Kepala Negara juga menginginkan seluruh tenaga kesehatan mendapat APD terbaik 
dan sesuai standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Guna memperkuat harapan Presiden itu, Menteri BUMN Erick Tohir menyatakan 
pihaknya terus berupaya melakukan banyak gagasan dalam rangka penanggulangan 
penyebaran COVID-19.

Baca juga: Presiden: Kabar gembira, virus Corona cepat mati pada suhu panas

Salah satu upaya itu, Bank Mandiri sebagai salah satu BUMN terbesar menyiapkan 
perlindungan asuransi dengan total uang pertanggungan hingga Rp1 triliun bagi 
tenaga kesehatan. Asuransi ini diberikan melalui anak perusahaan, AXA Mandiri 
Financial Services.

Proses pemberian polis akan dilakukan tim Bank Mandiri di masing masing 
wilayah, di mana rumah sakit berada dan implementasinya akan disesuaikan dengan 
jumlah tenaga kesehatan yang datanya akan diverifikasi bersama antara rumah 
sakit dan tim Bank Mandiri.

                                                         Mengimbangi
Ahli penyakit saraf Indonesia dr Andreas Harry, SpS (K) yang ikut menggalang 
bantuan untuk kebutuhan logistik dan asupan nutrisi tenaga kesehatan menyebut 
bahwa jika pemerintah dan semua unsur anak bangsa berkomitmen mengatasi pandemi 
COVID-19 saat ini, maka saat bersamaan dibutuhkan dukungan untuk mengimbanginya.

Wujudnya, semua elemen masyarakat mutlak harus patuh pada protokol kesehatan 
yang dikeluarkan pemerintah dan semuanya sudah sangat jelas, seperti melakukan 
"physical distancing" (jaga jarak), tetap berada di rumah bila tidak 
berkeperluan yang benar-benar sangat mendesak, dan lainnya yang terkait.

"Ini masalah kesehatan yang sangat serius! Jangan celakakan diri sendiri, 
keluarga dan orang lain," kata neurolog anggota "International Advance 
Research" Asosiasi Alzheimer Internasional (AAICAD) lulusan Fakultas Kedokteran 
Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu.

Karena itu, harus diputuskan rantai penularannya dengan semua kebijakan dan 
protokol kesehatan yang sudah disampaikan pemerintah dan otoritas terkait.

Ia mengulang adagium yang sudah dikenal masyarakat bahwa "mencegah jauh lebih 
baik ketimbang mengobati pasien" dan dalam kasus COVID-19 ini, hal itu menjadi 
suatu keniscayaan yang harus benar-benar diseriusi dan tidak dipandang enteng.

Dalam suatu pernyatannya, Prof Zhong Nan Shan, dokter di Wuhan yang menjadi 
Kepala Tim Dokter COVID-19 di China --yang menanggulangi wabah SARS 2003-- juga 
mengingatkan publik untuk tidak menganggap enteng COVID-19.

Saran yang disampaikannya adalah "Jika ingin bepergian, berpikirlah secara 
jernih dan sayangi keluargamu. Jangan punya rasa percaya diri berlebihan atau 
hendak beradu nasib mujur. Tak seorang pun bisa luput dari serangan COVID-19. 
Jangan coba-coba menantang COVID-19 karena anda akan menyesal seumur hidup".

Zhong Nan Shan menambahkan, "Meskipun kelak telah ditemukan obat khusus 
COVId-19, itu hanyalah obat penyambung sisa nyawa anda. Sekalipun anda berhasil 
sembuh, nyawa anda tinggal separuh, paru-paru anda tetap sudah rusak. 
Hilangkanlah rasa congkak pada diri anda dalam perang melawan epidemi ini".

Pesan tersebut tampaknya mendapat penguatan dari setidaknya terpaparnya tenaga 
kesehatan di sejumlah rumah sakit (RS) di Indonesia.

Dua contoh yang bisa dirujuk adalah pertama, kasus 46 tenaga kesehatan di RSUP 
dr Kariadi Kota Semarang, Jawa Tengah, yang positif terinfeksi COVID-19, yang 
diduga terpapar akibat ada pasien tidak jujur atas kondisi kesehatannya.

Kemudian, kedua kondisi yang sama yang menimpa 51 tenaga kesehatan dan tenaga 
penunjang di RSUD Kota Bogor, Jabar, yang statusnya reaktif dan belum tentu 
positif COVID-19, meski akhirnya dinyatakan negatif setelah dilakukan dilakukan 
tes swab.

Baca juga: Ahli sarankan kombinasi tes cegah penyebaran COVID-19

WHO menyatakan hingga kini belum ada bukti seseorang bisa kebal atau imun 
terhadap virus COVID-19 walaupun orang yang pernah terinfeksi telah dinyatakan 
sembuh.

Laporan kantor berita transnasional yang dilansir, Sabtu (25/4), menyebutkan 
pernyataan, "Saat ini belum ada bukti bahwa orang yang telah sembuh dari 
COVID-19 dan memiliki antibodi (dalam tubuh) terlindungi dari infeksi 
selanjutnya".

Sedangkan CNN pada Jumat (17/4) melaporkan angka kematian pasien COVID-19 di 
Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China melonjak drastis di mana lonjakan itu terjadi 
setelah Pemerintah Kota Wuhan melaporkan angka kematian baru 1.290 pasien.

Jumlah kematian di kota itu naik hingga 50 persen secara tiba-tiba, tidak lama 
setelah kebijakan "lockdown" dicabut pada 8 April lalu.

Disebutkan bahwa Pusat Pengendalian dan Pencegahan Epidemi Wuhan beralasan 
kasus-kasus yang terlewatkan itu karena staf medis di kota tersebut kewalahan 
pada awal penyebaran corona sehingga memicu "keterlambatan pelaporan".

                                                                      Laporan 
ilmiah
Menurut dr Andreas Harry, ia baru saja mendapat laporan ilmiah dari tim dokter 
National Taiwan University Hospital(NTUH), Taiwan.

Laporan itu menyebutkan bahwa paling sedikit satu tahun ke depan tidak 
dianjurkan ada kegiatan berkumpul seperti ada reuni dan semacamnya yang 
melibatkan berkumpulnya orang, kecuali berani terpapar COVID-19.

Dalam setahun ini, masyarakat tetap harus menjaga jarak, tidak bertemu atau 
makan bersama dengan orang yang pernah terjangkit COVID-19 sehingga harus 
mempunyai pemahaman proteksi diri, jangan sampai lengah.

Tim dokter di NTUH Taiwan melalui bedah jenazah menunjukkan bahwa pertama, 
COVID-19 seperti gabungan dari SARS+AIDS. Banyak dokter beranggapan pasien yang 
sudah keluar RS, pengujian asam nukleatnya kembali positif, dan itu bukan 
kambuh, melainkan belum sembuh total. Ini ada hubungannya dengan karakteristik 
COVID-19.

Baca juga: Ahli Epidemiologi: Isolasi diri upaya memutus mata rantai COVID-19

Kedua, sistem kekebalan tubuh hampir seluruhnya rusak. SARS hanya menyerang 
paru-paru, namun tidak menyerang kekebalan tubuh. AIDS menyerang kekebalan 
tubuh, sedangkan kerusakan organ tubuh pasien COVID-19 seperti SARS+AIDS.

Ketiga, kerusakan akut organ paru-paru penyebab utama kematian penderita SARS, 
sedangkan kematian karena COVID-19 diakibatkan "kegagalan banyak organ"..

Ketua Jurusan Penyakit Berat Zhong Nan Hospital Universitas Wuhan Prof Peng Zhi 
Yong, setelah melakukan bedah jenazah, memimpin tim untuk pembahasan beberapa 
hal, yakni, (1) pasien yang telah keluar dari RS, hasil tes darahnya 
menunjukkan bahwa indeks limfosit tidak kembali ke tingkat normal, sistem 
kekebalan tubuh pasien tidak pulih seutuhnya.

Kemudian, (2) dari pasien yang baru-baru ini keluar dari RS, pemeriksaan asam 
nukleatnya negatif, namun sistem kekebalan tubuhnya sangat buruk, tidak kembali 
utuh. Setelah keluar dari RS akan mudah kembali ke positif.

Lalu, (3) kondisi tersebut mirip dengan pasien hepatitis B, yang dalam jangka 
panjang akan menyimpan virus di dalam tubuhnya, dan (4) sekarang yang perlu 
diteliti adalah tubuh pasien yang menyimpan virus COVID-19 itu apakah dapat 
menularkan ke orang lain.

Para dokter yang berada di garda depan penyembuhan COVID-19 itu, menyatakan 
sebelumnya konsentrasi ada pada pertolongan pertama kepada pasien COVID-19.. 
Setelah semakin banyak pasien yang "sembuh" dan keluar dari RS, perlu 
mengalihkan fokus pada masalah pengaturan pasien yang keluar dari RS.

Prof Peng Zhi Yong mengatakan pihaknya akan menelusuri setahun ke depan, 
perubahan yang terjadi pada pasien yang sudah keluar dari RS, virus yang masih 
tersimpan dalam tubuhnya apakah bisa menular, apakah berdampak pada orang di 
sekelilingnya.

Karena itu, dalam hal peperangan melawan COVID-19, ia menyebut "masih jauh dari 
kata akhir".

Untuk itulah disarankan paling sedikit setahun ke depan ini, keluar rumah harus 
memakai masker, usahakan untuk menghindari dari perkumpulan atau berdiam di 
tempat umum.

Baca juga: Pasien sembuh COVID-19 jadi 1.107 orang dari 8.882 kasus positif
Baca juga: Indonesia segera miliki PCR test kit COVID-19 berbasis transmisi 
lokal

Oleh Andi Jauhary
COPYRIGHT © ANTARA 2020





Kirim email ke