-- j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>
https://mediaindonesia.com/read/detail/307777-70-tahun-hubungan-indonesia-tiongkok Minggu 26 April 2020, 22:30 WIB 70 Tahun Hubungan Indonesia-Tiongkok Irwan Firdaus, Alumni Jurusan Sejarah UI, Pemerhati Hubungan Indonesia-Tiongkok dan Tionghoa Indonesia | Opini 70 Tahun Hubungan Indonesia-Tiongkok Dok.pribadi Irwan Firdaus DI saat hiruk pikuk dunia berperang menghadapi pandemi covid-19, April ini diperingati 70 tahun hubungan diplomatik Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok. Tepatnya 13 April 1950, Indonesia yang hampir lima tahun merdeka memulai hubungan diplomatik resmi dengan Republik Rakyat Tiongkok. Saat itu, Tiongkok baru saja merdeka beberapa bulan. Pada 1 Oktober 1949, kekuatan komunis Tiongkok di bawah Mao Zedong menyingkirkan kekuatan kaum nasionalis ke Pulau Formosa yang menjadi Taiwan. 70 tahun hubungan Indonesia dan Tiongkok (13 April 1950-2020) berlangsung bagai gelombang pasang. Naik dan surut seiring perubahan rezim kekuasaan di Indonesia. Di Tiongkok, rezim tak berubah sejak 1949 hingga kini. Saat ini Partai Komunis Tiongkok memimpin Tiongkok daratan. Gelombang pasang naik dan turun hubungan Indonesia dan Tiongkok digambarkan oleh sinolog Universitas Indonesia Prof Dr Abdullah Dahana bagai pendulum yang bergerak baik ke buruk ke super buruk dan baik kembali. Dalam kurun waktu sejarah 70 tahun hubungan Indonesia dan Tiongkok: berlangsung hubungan yang hangat; disusul krisis pembekuan hubungan diplomatik. Prof Dahana menggambarkan kondisi super buruk terjadi pada 1967-1989. Ketika Presiden kedua RI Soeharto membekukan hubungan diplomatik dengan Tiongkok menyusul Gerakan 30 September 1965. 22 tahun kemudian, pada 1989 Soeharto kembali membuka hubungan diplomatik Jakarta dengan Beijing. Dan kini, di bawah Presiden Joko Widodo hubungan Indonesia dan Tiongkok kembali ke dalam suatu masa yang mesra dan hangat. Kedekatan Presiden Joko Widodo dengan Presiden Xi Jinping mengingatkan kembali kehangatan hubungan Sukarno dan Paman Mao di era 1960an. Hubungan diplomatik Tiongkok dengan Indonesia dimulai di bawah Pendiri Bangsa Indonesia Presiden Sukarno. Saat itu 1950, sejak resmi berlangsung hubungan diplomatik yang hangat di antara kedua pemimpin: Sukarno dan Pemimpin RRT Mao Zedong. Keakraban serta hubungan antar rakyat kedua negara terjalin terutama dalam bidang pendidikan. Saat itu, perhatian banyak diberikan dalam hubungan kebudayaan dan pendidikan. Banyak pemuda dan pemudi Indonesia diberi beasiswa dan diterima bersekolah di daratan Tiongkok. Ada beberapa yang hingga kini menjadi guru besar di lembaga pendidikan tinggi di ibukota negara Beijing. Walau saat itu terjadi krisis, namun itu menjadi perpecahan hubungan kedua negara. Masalahnya adalah dwi kewarganegaraan orang Tionghoa Indonesia karena perbedaan azas pengakuan kewarganegaraan di Indonesia yang berbeda dengan Tiongkok. Negeri Tiongkok daratan sejak zaman kekuasaan dinasti mengakui kebijakan ius sanguinis (lahir di negeri seberang atau negara lain tetap diakui sebagai warganegara). Akhirnya, asas ius soli yang dianut Indonesia menyelesaikan masalah dwi kewarganegaraan. Walau, di dalam negeri, persoalan ini menjadi kesulitan tersendiri bagi etnik Tionghoa Indonesia. Utamanya saat Orde Baru berkuasa 1967-1998, hingga Soeharto jatuh dari tampuk kekuasaan. Di sini harus dibedakan antara Tiongkok dan orang Tionghoa; keduanya adalah entitas yang berbeda. Tiongkok adalah sebuah negara asing, negeri atau kini negara daratan Tiongkok dengan ibukota Beijing. Sedangkan, orang Tionghoa adalah salah satu etnik di antara banyak etnik di Indonesia yang memiliki leluhur berasal dari Tiongkok (Johanes Herlijanto dalam buku Dr Taomo Zhou Revolusi, Diplomasi, Diaspora: Indonesia, Tiongkok dan Etnik Tionghoa, 1945-1967, hal. xxvii). Dan, seperti etnik Indonesia lainnya; orang Tionghoa adalah bagian bangsa Indonesia karena sama seperti etnik lain yang lahir, besar dan meninggal di Indonesia. Pada pertengahan 1950 hingga 1965 Sukarno melihat Tiongkok sebagai mercusuar. Tiongkok adalah pusat modernisme di luar blok barat Amerika dan di luar blok Timur pimpinan Moskow. Ini sejalan dengan gagasan Sukarno New Emerging Forces (NEFO). Indonesia dan Tiongkok bersama sejumlah negara peserta Konferensi Asia Afrika yang digagas Sukarno berupaya menebalkan kekuatan bersama di luar pengaruh Washington dan Moskow. Sukarno menggalang kekuatan negara-negara Asia dan Afrika sebagai kekuatan baru. Upayanya, bangsa yang baru bebas dari kolonialisme harus meneguhkan kekuatan yang bebas dari pengaruh dan kuasa Amerika dan Soviet. NEFO tak terlibat dan tak mendukung salah satu kubu perang dingin saat itu. Sukarno dan Mao tak hendak berada di antara blok barat Amerika dan blok Timur Uni Soviet, sebagian Rusia saat ini. Pernah di tengah hangatnya hubungan Indonesia-Tiongkok saat itu, Sukarno ditawari teknologi nuklir oleh Paman Mao. Saat Soeharto perlahan naik menuju kekuasaan pada 1966-1967 menandai surutnya hubungan Indonesia dengan Tiongkok. Pada 1967, Soeharto makin jelas berkuasa sebagai Presiden Indonesia. Saat yang sama ia meredam dan perlahan mengambil alih kekuasaan Presiden Sukarno pasca gagalnya Gerakan 30 September 1965. Hubungan dengan negeri Tiongkok memburuk. Akhirnya, Presiden Soeharto memutuskan hubungan diplomatik dengan Tiongkok pada Minggu 1 Oktober 1967, saat RRT berulang tahun kemerdekaan. Hampir selama masa kekuasaan Orde Baru, Soeharto membekukan hubungan RI dengan Tiongkok. Hingga akhirnya pembekuan hubungan dicairkan oleh Soeharto sendiri pada 1989. Hubungan Indonesia dan Tiongkok di bawah Soeharto pada 1990an mulai mencair. Kantor diplomatik kedua kedutaan besar kembali dibuka. Perlahan hubungan perdagangan pun mencair. Hingga terus berlanjut di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014). Kini, pendulum hubungan Indonesia-Tiongkok kembali mesra dan hangat di bawah Presiden Joko Widodo. Tepat pada 13 April 2020, dirayakan Perayaan 70 tahun hubungan diplomatik Indonesia dan Tiongkok. Perayaan ini ditandai pertukaran surat di antara kedua kepala negara. Ditandai dengan peluncuran perangko dan amplop khusus perayaan hubungan diplomatik Indonesia-Tiongkok. Kehangatan hubungan Indonesia-Tiongkok ini dibuktikan dengan dua kali kunjungan Presiden Xi Jinping ke Indonesia. Presiden Jokowi malah telah lima kali berkunjung ke Tiongkok, menurut catatan Duta Besar RRT untuk Indonesia Xiao Qian. Qian juga mencatat kedua pemimpin telah mengadakan delapan pertemuan bilateral. Presiden Jokowi dan Presiden Jinping telah berkontak empat kali hubungan telepon (Xiao Qian - The Jakarta Post 14/4). Hasilnya tercapai konsensus penting dalam masa hubungan masa depan dua kekuatan besar ekonomi Asia ini. Jinping melihat Indonesia sebagai kekuatan ekonomi yang harus dirangkul. Begitu pula Jokowi melihat Tiongkok dengan sangat hormat sebagai bangsa yang setara untuk menuju kemajuan hubungan kedua negara, serta dapat mendorong kesejahteraan Indonesia bersama Tiongkok. Pentingnya Indonesia bagi Tiongkok adalah inisiatif Jalur Sutera Maritim yang sedang dikembangkan Tiongkok diumumkan pertama kali di Indonesia pada 2018. Hasilnya, kereta cepat pertama di Asia Tenggara mulai dibangun di Pulau Jawa dengan pembangunan jalur kereta cepat Jakarta-Bandung. Kini, Tiongkok menjadi mitra perdagangan terbesar bagi Indonesia selama sembilan tahun terakhir. Total nilai perdagangan kedua negara mencapai US$79,4 miliar pada 2019, yang berarti naik 10 kali lipat sejak 2000. Dalam kurun lima tahun ranking investasi Tiongkok naik ke posisi terbesar kedua dari ranking sembilan. Hasilnya termasuk pembangunan jembatan laut terpanjang Surabaya-Madura, pembangunan waduk kedua terbesar Jati Gede serta berdirinya Pusat Industri Morowali yang menjadikan Indonesia sebagai eksportir baja terbesar kedua dalam kurun lima tahun. Di dunia pariwisata, lebih dari dua juta turis Tiongkok berkunjung ke Indonesia setiap tahun (Xiao Qian). Investasi besar asal Tiongkok di Indonesia dalam bidang otomotif juga telah berproduksi dari dua pabrik berbeda di Tangerang dan Bekasi. Kedua perusahaan otomotif berkontribusi pada terserapnya tenaga kerja Indonesia serta berhasil menurunkan harga pasaran mobil di Indonesia dalam persaingan dengan produsen mobil negara Asia lainnya di Indonesia. Kini produsen mobil di Indonesia yang berasal dari Tiongkok, Jepang dan Korea sedang menciptakan mobil masa depan yang ramah lingkungan dengan tenaga listrik. 70 tahun hubungan Indonesia-Tiongkok ini juga dengan Tiongkok menjadi tuan rumah bagi lebih dari 10.000 siswa Indonesia yang belajar di negeri Paman Mao. Kerja sama kebudayaan dan pendidikan ini mengulang kemesraan 1950-1960an saat ribuan pemuda pemudi Indonesia belajar di Tiongkok. Kedua negara juga sesama anggota kekuatan ekonomi G20. Kedua kekuatan ekonomi ini mendorong kerja sama Tiongkok-ASEAN; serta mengupayakan perdamaian dan stabilitas di kawasan Laut Cina Selatan. Indonesia bersama Tiongkok juga mendukung kemerdekaan bangsa Palestina. Kini, ketika dunia dilanda serangan pandemi korona, Indonesia dan Tiongkok menjalin hubungan erat dengan bertukar informasi serta saling berbagi sumbangan dan bantuan. Beberapa kali Jokowi dan Jinping saling menelpon perihal penanganan wabah covid-19. Bantuan pun mengalir, baik berasal dari pemerintah maupun rakyat kedua negara. Hubungan Indonesia-Tiongkok di bawah Jokowi kini makin meriah melalui online business. Produk dua negara saling membanjiri market. Melalui online trading dan online business terjalin perdagangan yang lancar. Tak terbendung dan bergerak dalam irama yang super cepat antara Tiongkok dan Indonesia. Hal yang tak pernah dibayangkan bakal terjadi saat Orde Baru. Volume penjualan online meningkat pesat. Jokowi pun mengangkat Jack Ma- pendiri Alibaba, perusahaan online terbesar di Tiongkok- sebagai penasehat dalam steering committee untuk road-map e-commerce di Indonesia. Kini dalam perayaan 70 tahun hubungan Indonesia-Tiongkok, diteguhkan sebagai hubungan setara dan penghormatan agar terjadi kerja sama yang saling menguntungkan bagi Jakarta dan Beijing. Khususnya bagi Indonesia bisa diusulkan kerja sama kedua negara dalam bidang aeronautika. Perlunya Indonesia mengembangkan pesawat dan perlengkapan militer untuk dalam negeri dan ekspor. Kini Tiongkok telah berhasil sukses membangun pesawat tempur super canggih menyaingi produk Amerika atau Rusia dan Eropa lainnya. Kerja sama membangun dan alih teknologi dengan Tiongkok perlu segera digagas saat ini. Ini penting dibahas kedua negara sebagai keperluan pertahanan militer ke depan, sehingga Indonesia tak tergantung pada salah satu atau segelintir produsen perlengkapan militer saja. Selain pesawat, Tiongkok kini telah berhasil memproduksi kapal selam dan kapal induk. Apa yang dibayangkan Sukarno tentang Tiongkok yang maju, kini telah terjadi di abad 21. Dalam hubungan kedua negara juga perlu dilihat kebutuhan akan energi listrik Indonesia yang besar. Utamanya untuk memenuhi kebutuhan listrik rumah tangga dan industri dalam negeri agar tidak bergantung batubara dan solar. Untuk kebutuhan ini perlu dipikirkan lebih lanjut melalui kerja sama yang saling menguntungkan dengan Tiongkok. Sukarno pernah dijanjikan bantuan tenaga nuklir oleh Tiongkok. Untuk tujuan damai dan kesejahteraan Indonesia ke depan, adalah bukan waktu yang tidak tepat untuk kembali memikirkan hal ini ketika tujuh dekade hubungan Indonesia dan Tiongkok sedang dirayakan tahun ini. Semoga semua kerja sama yang telah berlangsung akan berjalan dengan lancar demi kemajuan bagi kedua bangsa besar di Asia ini. Untuk kemajuan kerja sama baru dalam bidang aeronatika, astronomi serta kemungkinan penggunaan energi pengganti minyak bumi dan batubara adalah penting, ketika Presiden Jokowi dan Presiden Xi Jinping berupaya meningkatkan kemajuan peradaban kedua bangsa ke depan. Selamat perayaan 70 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Tiongkok.