Kaum remo sangat alergi dengan tulisan seperti ini. 
Lenin Bersama Kita (Bagian 2)
Hanya partai pelopor yang dapat mengelaborasi strategi dan taktik perjuangan 
yang mutlak diperlukan supaya gerakan rakyat terus tumbuh dan berkembang, 
mengatasi kesulitan dan kegagalan yang dihadapi, mencapai kemenangan-kemenangan 
kecil dalam perjalanan panjangnya menuju pembebasan rakyat
13 Mei 2020


Vladimir Ilyich Lenin/Radio Free Europe
Koran Sulindo – Negara adalah alat kekerasan di tangan kelas yang berdominasi 
dalam masyarakat. Meski terdapat lembaga seperti parlemen yang salah satu 
tugasnya menjamin berjalannya demokrasi, namun mesin negara tidak akan 
menoleransi tindakan dari kelas yang bertentangan kepentingannya dan dianggap 
membahayakan eksistensinya. Artinya negara berwatak kelas.
Propaganda kaum revisionis modern tentang adanya kediktaturan rakyat, bahkan 
kediktaturan proletariat di Tiongkok sekarang, hanyalah penipuan di tengah hari 
bolong. Tak mungkin dua kelas yang bertentangan kepentingan ekonominya, yaitu 
kelas buruh dan kelas kapitalis monopoli, berbagi kekuasaan. Kalau betul-betul 
kelas buruh turut berkuasa, tak akan diizinkan dan dimungkinkan penghisapan 
brutal terhadap kaum buruh migran dan pembungkaman suara rakyat pekerja.
Lenin mengingatkan kita kepada pelajaran pokok yang ditarik Marx dan Engels 
dari “Komune Paris”, yaitu kelas buruh tidak bisa mengambil dan menguasai 
begitu saja mesin negara borjuis dan menggunakannya untuk tujuannya. Dengan 
kata lain, sebuah revolusi rakyat harus menghancurkan mesin negara kelas 
borjuasi dan membangun mesin negara baru yang akan digunakan untuk menindas 
perlawanan musuh-musuh revolusi dan membela kepentingan kelas buruh, kaum tani 
dan rakyat pekerja. Tidak mungkin menggunakan mesin negara borjuasi untuk 
membela kepentingan rakyat.
Negara yang diciptakan kaum buruh pada hakikatnya tidak sama dengan negara 
borjuis yang ditumbangkan, karena ia adalah alat di tangan mayoritas atau 99 
persen rakyat. Sedangkan negara borjuis adalah mesin penindasan di tangan kaum 
penghisap yang merupakan kurang dari 1 persen penduduk.
Orang, bahkan di kalangan intelektual, sering menamakan sistem ekonomi, politik 
dan sosial di Uni Soviet dan Eropa timur “komunisme”. Baru-baru ini, Peter 
Lavelle, pembawa acara “Cross Talk” di televisi Rusia, berkata dia pernah hidup 
dalam komunisme, yang dibuktikan sudah gagal. Ini contoh lagi bagaimana orang 
menunjukkan kebodohannya dan memvulgarkan arti serta pengertian atas masyarakat 
komunis atau komunisme.
Kembali kepada pengertian negara yang keberadaannya disebabkan karena adanya 
kelas yang kepentingan ekonominya bertolak belakang, maka kalau masyarakat 
sudah mencapai satu tahap di mana perlawanan kelas penghisap telah sepenuhnya 
dipatahkan, berangsur-angsur kelas-kelas akan lenyap, dan dengan sendirinya 
negara tidak lagi diperlukan. Itulah sebabnya Marx, Engels dan Lenin bicara 
tentang proses di mana negara akan melemah, kehilangan fungsinya dan akhirnya 
lenyap.
Engels bicara tentang generasi baru yang tumbuh dalam kondisi sosial baru dan 
bebas serta mampu mencampakkan seluruh rongsokan negara. Mao (Zedong) bicara 
tentang mengubah pandangan dunia borjuis menjadi pandangan dunia proletar agar 
sesuai dengan hubungan produksi sosialis. Che Guevara bicara tentang manusia 
baru (hombre nuevo). Hakikatnya sama, yaitu pembangunan sosialisme tidak saja 
berarti perkembangan ekonomi guna meningkatkan kesejahteraan rakyat tapi juga 
mendidik rakyat menjadi manusia baru berideologi sosialis-komunis. 
Manusia-manusia baru itulah yang akan mencampakkan rongsokan negara. Dengan 
demikian barulah tercipta masyarakat tak berkelas. Itulah yang dinamakan 
komunisme.
Di manakah di dunia ini bisa ditemukan negeri dengan masyarakat yang sudah 
memenuhi syarat-syarat komunisme sesuai dengan ajaran para penciptanya? [baca 
juga: Lenin Bersama Kita (Bagian 1)]
Jadi, kalau mau bicara tentang hal-hal yang berhubungan dengan Marxisme dan 
Leninisme, sebaiknya membaca langsung karya-karyanya dan mencoba mengerti 
dengan benar ajarannya. Jangan merevisi, mengebiri, menghilangkan esensi 
revolusionernya atau menginterpretasinya dengan menggunakan kacamata kelas 
penghisap dan penindas. Karena Marxisme-Leninisme merupakan senjata di tangan 
kaum yang terhina dan tertindas untuk membebaskan dirinya dari penghisapan kaum 
tuan tanah dan kapitalis monopoli besar.
Kesadaran Sosialis atau Spontanitas?
Dalam Apa Yang Harus Dikerjakan, Lenin mengkritik keras “ekonomisme”, yang juga 
dinamakan trade-unionism dan pemujaan kepada spontanitas dalam gerakan buruh, 
yang dianut kaum ekonomis dan dipropagandakan melalui organnya “Rabocheye 
Dyelo” (The workers’ Cause) , yang terbit di Jenewa dari April 1899 sampai 
Februari 1902.
Ekonomisme/trade-unionism adalah perjuangan ekonomi praktis atau perlawanan 
buruh kepada kaum kapitalis untuk mendapatkan syarat-syarat lebih baik dalam 
penjualan tenaga kerjanya dan memperoleh reform di bidang legislatif dan 
administratif guna meringankan kondisi hidup dan kerjanya di bawah penghisapan 
modal. Bentuk perlawanan yang paling umum dilakukan adalah pemogokan. Selama 
penghisapan modal terhadap tenaga kerja buruh masih berlangsung, maka 
perjuangan serikat buruh ini masih harus terus dilakukan. Namun ia tidak akan 
mencabut akar penghisapan dan membebaskan kaum buruh.
Dalam berbagai pemogokan buruh yang terjadi pada 1890-an di Rusia, Lenin 
melihat elemen spontanitas yang ada dalam pemogokan tersebut sebagai embrio 
dari kesadaran buruh. Hal ini tercermin dalam kemampuan kaum buruh mengajukan 
tuntutan-tuntutannya dan perencanaan waktu pemogokan serta pendiskusian 
kasus-kasus pemogokan di tempat lain. Kaum buruh belum dan tidak dimungkinkan 
sadar akan sifat antagonis dari kontradiksi antara kepentingan kelasnya dengan 
sistem ekonomi, politik dan sosial di mana mereka hidup dan bekerja. Artinya 
mereka belum mencapai kesadaran sosialis.
Di Tiongkok kapitalis sekarang, aksi protes dan pemogokan buruh migran timbul 
pertama-tama karena keputusasaan dalam menghadapi ketidakadilan dan 
kesewenang-wenangan pihak kapitalis dan penguasa. Begitu juga di Indonesia, 
banyak aksi protes kaum tani disebabkan karena kehabisan akal dan hilang 
kepercayaan kepada berbagai lembaga hukum yang telah terbukti selalu berpihak 
kepada tuan tanah dan pengusaha besar.
Kesadaran sosialis hanya bisa tumbuh dari pengetahuan ilmiah yang dalam. Karena 
teori tentang sosialisme tumbuh dari filsafat, sejarah dan ilmu ekonomi yang 
dielaborasi oleh kaum intelektual. Pendiri sosialisme ilmu, Marx dan Engels, 
berasal dari intelektual borjuis. Merekalah yang menyampaikannya kepada kaum 
buruh yang perkembangan intelektualnya lebih tinggi. Selanjutnya, buruh-buruh 
itu membawa teori sosialisme ke dalam perjuangan kelas kaum proletar di mana 
keadaan memungkinkannya. Oleh karena itulah Lenin berkata bahwa kesadaran 
sosialis tidak bisa tumbuh dengan sendirinya di kalangan kaum buruh. Mereka 
hanya mampu mengembangkan kesadaran ekonomisme atau trade-unionism.
Ketidakmampuan kaum buruh mengembangkan kesadaran sosialisnya dapat diatasi 
kalau bacaan yang disajikan kepada mereka tidak terbatas pada masalah pabrik 
dan kondisi kerjanya saja, melainkan juga literatur yang ditujukan kepada kaum 
intelektual. Dengan begitu, buruh dapat mengembangkan kapasitas intelektualnya, 
dan bekerja tidak saja sebagai buruh tapi juga sebagai pemikir sosialis dan 
turut serta dalam membentuk ideologi proletar.
Kenyataan di abad 21 pun menunjukkan bagaimana para pemimpin serikat buruh 
reformis dan juga penguasa negara kapitalis seperti Tiongkok, ingin mencegah 
kaum buruh mencapai kesadaran sosialis. Pada 2018, penguasa otoriter 
membubarkan dan menangkapi anggota grup-grup studi di berbagai universitas 
besar di Tiongkok, setelah mereka menyatakan solidaritas dan dukungan kepada 
buruh pabrik teknologi JASIC di Shenzhen yang ditangkap, dianiaya dan dipecat 
karena menuntut hak mendirikan organisasi buruh independen.
Shen Mengyu, seorang lulusan Universitas Sun Yat Sen, berasal dari keluarga 
kaya, disadarkan oleh penderitaan buruh migran, akhirnya mengambil keputusan 
untuk bekerja di pabrik suku cadang, Guangzhou Rihong. Dia sudah mendapat 
peringatan keras, intimidasi, fitnah dari pimpinan pabrik, ketika dipilih oleh 
para buruh untuk mewakilinya dalam menuntut penerapan peraturan dan ketentuan 
hukum yang ada, secara benar. Mengyu tidak mundur. Namun akhirnya dia dipecat. 
Kemudian, keterlibatannya dalam mendukung buruh YASIC telah membuat aparat 
kepolisian memasukkannya dalam grup yang ditangkap. Dibebaskan sebentar tapi 
kemudian diculik. Sampai sekarang tak ada beritanya. Jelas terlihat betapa 
takutnya para penguasa kapitalis Tiongkok kepada perspektif intelektual 
revolusioner bergabung dengan buruh, bukan?
Lenin mengingatkan, ketika gerakan sosialis masih kecil, semakin besar dan kuat 
harus ia berjuang melawan segala usaha untuk menanamkan ideologi non-sosialis. 
Ideologi borjuis jauh lebih tua dan lebih berkembang dari pada ideologi 
sosialis, dan media penyebarannya berdominasi dalam masyarakat.
Lenin juga mengingatkan pentingnya mengatasi turunnya perhatian terhadap teori. 
Banyak orang ikut gerakan karena arti praktis dan kesuksesannya, tapi mereka 
kurang pendidikan teorinya. Tanpa teori, sosialisme ilmu tidak akan merasuk ke 
dalam darah daging buruh. Oleh karena itu, tanpa teori revolusioner tidak akan 
ada gerakan revolusioner.
Partai Pelopor
Poin penting lain yang dikemukakan Lenin adalah perlunya membangun sebuah 
organisasi revolusioner yang mampu menyatukan semua kekuatan dan memimpin 
gerakan dalam praktik nyata, bukan hanya di atas kertas saja. Sebuah organisasi 
di mana tergabung kaum revolusioner profesional, berdisplin tinggi, bersifat 
pelopor dan siap, kapan saja, untuk mendukung setiap protes dan manifestasi dan 
menggunakannya untuk membangun dan mengkonsolidasi kekuatan tempur guna 
menyongsong perjuangan yang menentukan.
Pejuang revolusioner profesional hanya dapat lahir melalui bimbingan teori 
marxis dan latihan yang diberikan melalui penerbitan sebuah surat kabar politik 
untuk seluruh Rusia. Lenin melihat peran surat kabar sebagai propagandis, 
agitator dan organizer kolektif.
Gelombang aksi massa berbagai sektor penduduk seperti tani, mahasiswa, 
intelektual, pemuda, yang dengan spontan meluas dengan cepat di Rusia ketika 
itu, menunjukkan kaum sosial demokrat tidak siap menghadapi tugas besar, yaitu 
memimpin gerakan. Kaum revolusioner ketinggalan di belakang, baik dari segi 
teori maupun dari segi aktivitas. Mereka gagal membangun pengorganisasian 
secara konstan dan sistematis yang mampu memimpin seluruh gerakan.
Dari situ Lenin menyimpulkan, semakin besar dan luas aksi spontan massa, 
semakin tinggi pula tuntutan akan kesadaran dalam pekerjaan teori, politik dan 
pengorganisasian yang harus dilakukan kaum sosial demokrat. Tugas para kader 
pimpinan khususnya adalah meluaskan wawasan dalam semua soal teori, melepaskan 
dirinya dari pengaruh pandangan dunia lama dan selalu ingat bahwa sosialisme, 
karena ia sendiri merupakan ilmu, maka harus dipelajari sebagai ilmu juga.
Partai pelopor Bolshevik yang dipimpin Lenin telah menunjukkan kebenaran akan 
tesisnya itu dengan keberhasilannya mengatasi kesulitan dan kekurangan serta 
memenangkan Revolusi Oktober dan membangun negara sosialis pertama di dunia.
Arti penting dan perlunya sebuah partai pelopor yang dipersenjatai dengan teori 
revolusioner, yang diajukan Lenin, dibuktikan dalam praktik gerakan rakyat di 
abad 21 ini.
Krisis ekonomi dan finansial 2008 telah melipatgandakan penderitaan rakyat 
terutama di negeri-negeri Dunia Ketiga. Kemiskinan, kelaparan, pengangguran, 
upah rendah, kekerasan dan kesewenang-wenangan negara serta segala aparatnya, 
pemasungan hak-hak demokratis rakyat, korupsi, jurang yang semakin menganga 
antara kaya dan miskin, semua ini telah menyulut api kemarahan dan mendorong 
jutaan rakyat turun ke jalan menuntut keadilan. Contohnya, apa yang dinamakan 
Arab Spring yang melanda Tunisia, kemudian Mesir pada 2011. Demonstrasi jutaan 
rakyat selama 28 hari di Tunisia, dan 18 hari di Mesir, berhasil menumbangkan 
pemerintahan Ben Ali dan Hosni Mubarak setelah 30 tahun berkuasa. Namun, 
gerakan massa spontan tanpa pimpinan itu akhirnya tak menghasilkan perubahan 
yang berarti bagi rakyat jelata.
Demikian juga dengan Occupy Movement di AS dan kota-kota besar Eropa, antara 
lain Madrid, Barcelona, Berlin, Frankfurt, London dan Roma. Ribuan demonstran 
menduduki pusat-pusat finansial dan bank. Gerakan akhirnya lenyap.
Hanya partai pelopor yang dapat mengelaborasi strategi dan taktik perjuangan 
yang mutlak diperlukan supaya gerakan rakyat terus tumbuh dan berkembang, 
mengatasi kesulitan dan kegagalan yang dihadapi, mencapai kemenangan-kemenangan 
kecil dalam perjalanan panjangnya menuju pembebasan kaum buruh, kaum tani dan 
kelas pekerja lainnya dari penghisapan dan penindasan tuan tanah, kaum 
kapitalis birokrat dan komprador besar, imperialisme dan neo-kolonialisme. 
[Tatiana Lukman]
 Pembaca : 327


Sent from Mail for Windows 10

Kirim email ke