-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>


https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1833-bupati-tambang-masalah



Kamis 21 Mei 2020, 05:25 WIB

Bupati Tambang Masalah

Gaudensius Suhardi, Dewan Redaksi Media Group | Editorial
 
Bupati Tambang Masalah

MI/Ebet
Gaudensius Suhardi, Dewan Redaksi Media Group.

JIKA lautan penuh ombak ganas mampu melahirkan pelaut tangguh, mengapa selama 
pandemi virus korona atau covid-19 tak kunjung muncul bupati yang tangguh?

Virus korona jenis baru itu sangatlah buas, malah lebih ganas daripada ombak. 
Buas karena tak kasatmata, tapi mencabut banyak nyawa rakyat. Pada titik itulah 
muncul kerinduan akan kehadiran bupati yang tangguh berperang melawan korona.

Mengapa merindukan bupati? Jawabannya sederhana. Jumlah bupati jauh lebih 
banyak daripada wali kota. Di negeri ini terdapat 416 bupati dan 98 wali kota. 
Selama masa pandemi, bupati menjadi tenar karena ada di antara mereka adu mulut 
sehingga viral di media sosial. Bukan viral karena tikam kepala bela rakyat.

Pada level provinsi, penanganan pandemi covid-19 bisa dijadikan tolok ukur 
untuk menilai gubernur yang bisa diproyeksikan menjadi calon presiden pada 2024.

Sejauh yang terekam dalam pemberitaan media massa, pandemi covid-19 menjadi 
panggung pengabdian empat gubernur. Mereka ialah Gubernur DKI Jakarta Anies 
Baswedan, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Tengah Ganjar 
Pranowo, dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.

Hanta Yuda AR, pendiri dan Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia, dalam 
tulisannya di Kolom Pakar

harian ini menyebut periode masa darurat penanganan pandemi covid-19 memang 
menjadi panggung politik paling strategis bagi empat gubernur itu.

Akan tetapi, menurut Hanta Yuda, dinamika politik hari ini boleh jadi hanya 
semacam 'akademi capres pandemi', yaitu baru tahap awal atau bahkan belum masuk 
sama sekali fase kompetisi politik yang sesungguhnya.

Panggung pandemi ini hanya efektif dimanfaatkan para petahana untuk kontestasi 
pilkada di 270 daerah. Mereka, pada umumnya bupati, memanfaatkan pandemi 
covid-19 sebagai panggung kampanye gratis untuk mendapatkan keuntungan 
elektoral.

Sejauh ini, berdasarkan data dugaan pelanggaran pilkada, Bawaslu RI mencatat 
ada 157 pelanggaran administrasi, 2 pelanggaran pidana, 26 pelanggaran kode 
etik, dan 351 pelanggaran hukum lainnya. Sementara itu, pelanggaran netralitas 
aparatur sipil negara sebanyak 326 kasus.

Ironisnya, ini yang membuat kita mengurut dada, bantuan sosial untuk 
orang-orang miskin juga dipolitisasi. Bansos yang dibiayai APBN dan APBD itu 
seolah-olah dibiayai uang dari saku petahana.

Bawaslu RI mencatat ada 23 kabupaten/kota yang tersebar di 11 provinsi yang 
diduga melakukan politisasi dengan cara menempelkan gambar calon petahana dalam 
bansos. Seorang bupati petahana di Jawa Tengah menempelkan foto dirinya pada 
bansos yang disalurkan Kementerian Sosial.

Harus tegas dikatakan bahwa kampanye terselubung di tengah pandemi covid-19 
tidak etis dan merefleksikan kualitas kepala daerah yang juga tidak layak 
dipilih masyarakat.

Andai pandemi covid-19 sebagai ujian, 55,6% kepala daerah tidak lulus tes 
kemampuan manajemen dan kualitas kepemimpinan. Kemampuan mereka melakukan 
verfikasi dan validasi data rakyat miskin di daerah yang dipimpin sangatlah 
lemah. Sebanyak 286 dari 514 kabupaten/kota, dalam lima tahun terakhir ini, 
belum pernah memperbarui data penduduk miskin yang menjadi kewajiban mereka.

Kualitas manajemen dan kualitas kepemimpinan kepala daerah malah tergerus oleh 
perilaku bupati yang mencari sensasi di media sosial. Mereka meributkan bansos, 
yang muncul malah buih-buih, bukan solusi atas kekisruhan penyaluran bantuan.

Pada mulanya viral video seorang bupati menyebut menteri bodoh. Video itu 
dikomentari bupati lainnya. Komentar bupati itu, “Kalau ada bupati menyatakan 
menteri bodoh, jangan-jangan dia enggak bisa mengurus daerahnya. Jangan-jangan 
enggak bisa mengurus wilayahnya.”


Kemudian terjadi perang mulut di antara dua bupati itu yang videonya kembali 
menjadi viral. Mereka saling merendahkan. Memang, kedua bupati itu tidak 
bertarung dalam Pilkada 2020, tapi anak salah satu bupati digadang-gadang 
menjadi penerusnya.

Pandemi covid-19 juga melahirkan bupati yang kelewat kreatif. Meski daerahnya 
tidak menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), bupati suka-suka 
menutup seluruh akses. Bahkan, seluruh rumah sakit di daerahnya dilarang 
dijadikan rujukan untuk kabupaten tetangga.

Daerah mestinya minta izin kepada Menteri Kesehatan jika menerapkan PSBB. Tidak 
bisa atas nama diskresi, bupati mengambil kebijakan malah melampaui PSBB, mirip 
lockdown.

Kreativitas yang melampaui batas itu akibat ada udang di balik batu. Sang 
bupati mengambil kebijakan populis diduga demi keuntungan elektoral karena ia 
mau maju dalam pilkada.

Sejauh yang bisa direkam dari pemberitaan media massa, ternyata tidak semua 
bupati sibuk mengatasi pandemi covid-19. Ada daerah yang terpapar oleh korona 
tapi pemberitaan pandeminya justru ditenggelamkan isu tambang dan rencana 
pembangunan pabrik semen. Isu pandemi covid-19 tenggelam karena derasnya 
penolakan elemen masyarakat atas tambang dan pabrik semen, sementara bupati 
membentang karpet merah untuk investor yang berpotensi merusak lingkungan.

Sang bupati lupa atau pura-pura lupa bahwa ada kaitan antara virus korona dan 
kerusakan alam. Paus Fransiskus saat merayakan Hari Bumi mengingatkan perilaku 
manusia terhadap alam dan virus korona sebagai dampaknya.

"Saya mengapresiasi langkah-langkah aktivis lingkungan hidup. Penting bagi 
mereka yang muda untuk turun ke jalan dan mengajari kita semua bahwa tidak akan 
ada masa depan apabila kita tidak memperlakukan alam dengan baik," kata Paus 
pada 22 April.

Ternyata banyak bupati yang tidak menjadikan pandemi covid-19 sebagai panggung 
pengabdian. Adanya syarat mampu jasmani dan rohani untuk calon kepala daerah 
tidak tampak saat pandemi. Lafal sumpah berbakti kepada masyarakat hanya 
pemanis bibir. Pandemi covid-19 malah dijadikan panggung politik, bupati hanya 
menambang masalah.
 







Kirim email ke