Mengingatkan kekejaman rezim Suharto yang oleh kaum remo Soviet ditoleransi, 
dan kemudian setelah kaum revisionis Cina berkuasa, tangan-tangan merekapun 
turut berlumuran darah ....


[SAGA] Pengakuan Anggota Cakrabirawa: Kalau Minta Ampun ke Soeharto, Lebih Baik 
Saya Mati
“Kalau suruh minta ampun kepada Pak Soeharto, ya maaf lebih baik saya ditembak 
mati saja. Bagi saya haram. Saya sudah sakit sekali."

SAGA
Jumat, 20 Okt 2017 16:40 WIB

Author
Muhamad Ridlo Susanto

Sulemi, bekas anggota pasukan Cakrabirawa. Foto: Muhammad Ridlo/KBR.
KBR, Purbalingga - Lelaki di hadapan saya ini berperawakan tinggi-kurus. Dan 
meski usianya sudah menginjak 77 tahun, dia, masih tampak trengginas.. 
Ingatannya pun masih kuat.
Sore itu, sebungkus kretek dan segelas kopi, menemani obrolan kami. Dia adalah 
Sulemi, bekas prajurit Cakrabirawa –sebuah pasukan elit pengawal Presiden 
Sukarno.
Kepada saya, pria kelahiran 1940 ini, berkali bersumpah bakal berkata jujur 
tentang peristiwa 1 Oktober 1965. Sebab baginya, kejadian berdarah tersebut 
telah menjungkirbalikkan hidupnya dari semula prajurit terhormat menjadi 
pesakitan. Dimana ia dituduh terlibat PKI dan membuatnya mengeram di bui seumur 
hidup.
Sulemi, memulai ceritanya pada 29 September 1965. Kala itu, ia dikumpulkan 
komandan kompi Letnan Satu Dul Arif. Di situ, Arif menyebut Presiden Sukarno 
terancam oleh kelompok Dewan Jenderal –yang siap menggulingkan Sukarno pada 5 
Oktober 1965.
Dasar itulah yang kemudian membuat Komandan Batalyon Cakrabirawa, Letnan 
Kolonel Untung, memutuskan menggagalkan rencana itu dan menyeret para Dewan 
Jenderal ke hadapan Presiden Sukarno. Kata Sulemi, jauh sebelumnya, yaitu 10 
September 1965, Arif pernah menyatakan hal serupa; Pemimpin Besar Revolusi 
berada dalam bahaya besar.
“Ada instruksi Komandan Batalyon, Letkol Untung yang mengatakan tanggal itu 
juga, situasi konsinyir berat. Pada 5 Oktober akan terjadi kudeta dari 
perwira-perwira Angkatan Darat. Ini instruksi dari komandan lho ya,” kenang 
Sulemi.
Sebagai prajurit, Sulemi, memercayai kabar itu. Esoknya, 30 September 1965, Dul 
Arif dan Untung bersama Kolonel Latief, mengajaknya menemui Panglima Kostrad, 
Soeharto di RS Gatot Subroto.
Sulemi ingat, usai bertemu Soeharto, wajah Untung dan Dul Arif berseri. Di 
situlah, ia tahu Soeharto merestui aksi Untung.
“Setelah beliau kembali ke kendaraaan, bercerita bahwa Pak Soeharto 
menyanggupi. Edan kan? Itu, faktanya begitu,” sambung Sulemi.
Dini hari, 1 Oktober 1965. Sulemi tergabung dalam pasukan yang bertugas 
menjemput para Dewan Jenderal. Mereka diperintahkan menjemput dalam keadaan 
hidup atau mati. Dia bersama 35 prajurit Cakrabirawa lantas menuju rumah 
Jenderal A.H. Nasution. Tapi, karena kekeliruan informasi, mereka malah masuk 
ke kediaman Menteri JE. Leimana –yang bertetanggaan dengan Nasution.
Kondisi kala itu, begitu tegang. Tiba di gerbang rumah Nasution, pasukan Sulemi 
masuk. Di pintu utama, rupanya tak terkunci. Tapi mereka tak menemukan yang 
dicari, lalu menggeledah beberapa kamar. Hingga di salah satu kamar, Nasution 
membuka pintu namun buru-buru dikunci melihat banyaknya pasukan.
Sulemi minta agar pintu dibuka. Tak ada jawaban dari dalam. Sontak Kopral 
Sumarjo dan Hargiono, membuka paksa dengan rentetan tembakan dari senapan 
serbu. Pintu terbuka, hanya saja Nasution lenyap.
“Kemudian kami bertiga masuk ke rumahnya. Pintu pertamanya enggak 
dikunci.Kemudian sampai ke pintu kedua, diketok. Pak Nasution ada. Tapi 
kemudian ditutup."
Sementara di luar rumah, terdengar kembali rentetan tembakan. Belakangan 
diketahui, Nasution kabur dengan melompat pagar. Pasukan Sulemi, sengaja tak 
mengejarnya. Sesuai perintah, aksi mereka tanpa mengganggu sekitar.
Akan tetapi di dalam rumah Nasution, kondisi kian genting. Di kamar, Sulemi 
melihat istri Nasution berjalan bolak-balik. Gelisah. Tak lama, ia dan dua 
orang lain, keluar rumah. Baru beberapa langkah, ia mendengar seorang bocah 
menangis.
Saat itu, Sulemi tak tahu jika anak itu Ade Irma Nasution.
“Ada yang mengatakan Ade Irma itu ditembak. Edan apa? Buat apa? Anak tidak ada 
sangkut pautnya. Itu fitnah yang sangat luar biasa."
Dia meyakini Ade Irma tak sengaja terkena peluru kala Sumarjo dan Hargiono 
membuka paksa kunci dengan tembakan. Tapi kabar yang tersiar, pasukan 
Cakrabirawa telah mencelakai bocah berusia lima tahun itu. Potret kejam pun 
melekat pada Sulemi dan kawan-kawannya.
Pasca aksi 1 Oktober 1965, Sulemi dan semua pasukan Cakrabirawa ditangkap dan 
dijebloskan ke penjara karena dituduh pendukung PKI. Belakangan pada 28 Maret 
1966, pasukan elit ini dibubarkan.
Selama di bui di Salemba, Sulemi disiksa –dipaksa mengaku sebagai anggota PKI. 
Tapi ia, keras membantah meski mengakui terlibat penculikan Nasution. Itu pun 
atas perintah Letkol Untung dan Letnan Dul Arif. Sedang intrik politik di balik 
peristiwa itu, ia sama sekali tak tahu.
“Suatu saat, saya dipaksa akan dibaptis sebagai seorang komunis. Mana mungkin 
saya mengaku. Saya dalam umur seorang militer, tidak ada partai-partaian. 
Enggak tahu kalau perwira setingkat Mayor mungkin bisa berpolitik..”
Tentara yang menginterogasi Sulemi berupaya meruntuhkan pertahanannya. Ia 
berkali dipukul dengan kursi kayu, jempolnya diganjal kursi, disetrum, kukunya 
dicabuti. Maka tiap selesai diperiksa, harus dibantu tandu ke selnya.
“Kalau saya harus dihukum mati, itu risiko. Tapi kalau saya mati dalam keadaan 
penasaran (mengaku PKI) lebih baik saya mati. Mati dalam penyiksaan daripada 
harus mengaku."
"Ini (kuku) ditaruh di bawah kursi. Kemudian diduduki, diinjak, 
digenjot-genjot. Kemudian kuku dicabut mentah-mentah dengan tang. Itu yang 
paling terberat. Sakitnya luar biasa. Seperti halilintar. Mata sampai mau 
loncat.”
Ia bercerita, dua kali seminggu, sudah pasti diinterogasi. Atau kalau tubuhnya 
mulai pulih, kembali disika. Sedangkan makanan yang diberikan nasi berkutu dan 
sepotong ikan asin. Minumnya diambil dari selokan di penjara. Disedot dengan 
selang batang daun pepaya.
Selang dua tahun, Sulemi menghadap Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub). 
Vonis mati diputuskan. Sementara dua temannya; Hargiono dihukum mati dan 
Sumarjo dihukum seumur hidup.
Sulemi pun ingat betul, hakim yang menjatuhkan hukuman mati itu menangis kala 
membacakan putusannya. “Prosesnya hanya sebentar, seminggu. Tetapi tiap hari. 
Yang saya heran, seorang hakim memutus sampai menangis.”
Dijatuhi hukuman mati, Sulemi, tak berniat banding ke Pengadilan Tinggi 
Militer. Baginya mati lebih baik daripada terus menerus disiksa. Namun 
penasihat hukum militernya berpendapat lain. Hingga akhirnya, dia diganjar 
penjara seumur hidup.
“Kalau suruh minta ampun kepada Pak Soeharto, ya maaf lebih baik saya ditembak 
mati saja. Bagi saya haram. Saya sudah sakit sekali."
Dari Salemba, Sulemi dipindah ke penjara Pamekasan, Jawa Timur, bersama 32 
tahanan politik lainnya. Di tempat itu, Sulemi meninggalkan seorang istri dan 
anak. Melihat kondisinya yang tak berdaya, dia mempersilakan istrinya menggugat 
cerai. Sejak itu, Sulemi, jadi orang yang terbuang.
Pada Oktober 1980, Sulemi bebas setelah mendapat grasi dari Presiden Soeharto. 
Kuat diduga, pengampunan itu akibat tekanan Lembaga HAM PBB.
Lima belas tahun dipenjara, penderitaan Sulemi tak selesai begitu saja. Saat 
kembali ke tanah kelahirannya Purbalingga, tak ada satupun tetangga yang 
menyapa. Mencari pekerjaan juga sulit. Sulemi kemudian membuat patung dari 
batu, kayu, atau pasir. Keahlian baru itu ia dapatkan dari seniman Lekra –saat 
dipenjara.
Di usia sepuh, Sulemi kawin untuk kali kedua dengan Sri Murni. Bersama sang 
istri, ia berjualan daging di pasar Purbalingga.
Sri Murni mengatakan, suaminya kerap mengigau. Berteriak-teriak dalam tidur.. 
Ia menduga, sang suami trauma akibat penyiksaan di penjara.
“Kalau tidur itu teriak-teriak. Kalau istilahnya direp-repi. Sampai sekarang, 
saya jadi heran. Itu ya seminggu dua kali mimpi teriak-teriak,” ujar Sri Murni.
Sulemi mengaku, ia bermimpi dijemput petugas penjara militer. Tiap dijemput, 
berakhir dengan penyiksaan. Di mimpi itu, tulang belikat, kaki, dan pinggangnya 
patah. Lalu tubuhnya penuh luka bekas sundutan rokok dan kukunya habis dicopot 
dengan tang.
Editor: Quinawaty


Sent from Mail for Windows 10

Kirim email ke