Saya perhatikan 3-4 puluhan tahun terakhir di Indonesia khususnya, terjadi kecenderungan mengangkat/mengutamakan Agama Islam secara berlebih! Bahkan kebablasan mengangkat "BUDAYA" Arab itulah Islam, tidak berhasil menerima Agama Islam tidak mesti melepaskan BUDAYA Indonesia sendiri! Menjadi Islam tidak harus menjadi Arab, kata Gus Dur! Sebenarnya arus dan kecenderungan pemikiran SALAH demikian yang harus dilawan, pemikiran ekstrim, radikal yang merusak persatuan bangsa, ...

Sudah BETUL Kemendikbud menetapkan disekolah negeri/swasta sebaiknya menetik-beratkan pada "MORAL-ETIKA" yang universal diajarkan pada anak-anak sekolah, bagaimana menjadi seorang manusia, seorang warga yang baik-baik saja! Sedang pelajaran Agama diserahkan pada Agama masing-masing saja, ... bagaimana mereka melakukan syariah-ibadah dan akidah sesuai ajaran Islam yang harus dijalanani, bagitu saja dengan ajaran Agama lain.

Sedang kisah-kisah klasik yang sejak dahulu diajarkan dari taman kanak-kanan, tentu HARUS diteliti kembali sesuai perkembangan jaman! Kalau saja kisah "Pelanduk cerdik" masih juga diajarkan sejak kanak-kanak, yaaa jadilah seorang "CERDIK" untuk mencuri, ... berkorupsi ria! Kalau tidak jadilah pelanduk BODOH!

Tapi, la;ai contoh seorang mengambil buah yang hanyut di sungai, lalu mengaku mencuri, ... kayaknya juga berlebih! Tidak perlu begitu! Yang lebih tepat, dia menysuri hulu sungai menemukan pemilik kebun buah, tanyakan saja masih membutuhkan buah itu tidak??? Sama halnya dengan menemukan dompet orang dijalan yang jatuh, tidak diambil menjadi miliknya, tapi HARUS berusaha menemukan dan mengembalikan pada pemiliknya saja!


Salam,

ChanCT


kh djie dji...@gmail.com [GELORA45] 於 2020/6/21 上午 12:29 寫道:
Yang diajarkan cerita pelanduk cerdik mencuri timun..........
Jadi kalau bisa mencuri dan tidak tertangkap basah, itu baru cerdik.......
Kalau dari kecil diajari begitu, setelah dewasa jadi...........

Op za 20 jun. 2020 om 18:22 schreef 'j.gedearka' j.gedea...@upcmail.nl <mailto:j.gedea...@upcmail.nl> [GELORA45] <GELORA45@yahoogroups.com <mailto:GELORA45@yahoogroups.com>>:



-- j.gedearka <j..gedea...@upcmail.nl <mailto:j.gedea...@upcmail.nl>>

    
https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1861-jambu-hanyut-sang-guru-agama

    Sabtu 20 Juni 2020, 05:00 WIB

    Jambu Hanyut Sang Guru Agama

    Usman Kansong Dewan Redaksi Media Group | Editorial

      Jambu Hanyut Sang Guru Agama MI/Ebet Usman Kansong Dewan
    Redaksi Media Group. ALKISAH, seorang saleh mendapati jambu hanyut
    di sungai yang disusurinya. Karena lapar, ia mengambil dan
    menyantapnya. Belum tuntas jambu disantap, perutnya sakit. Orang
    saleh itu berpikir ada yang tak beres dengan cara dia memperoleh
    jambu itu. Ia lantas membungkus sisanya dan membawanya menyusuri
    hulu sungai mencari tempat jambu berasal. Ia menemukan pohon jambu
    berbuah banyak di tepi sungai di bagian hulu. Ia berpikir dari
    situlah jambu yang dimakannya berasal. Ia menemui pemilik pohon,
    meminta maaf telah ‘mencuri’ dan memakan jambunya. Si pemilik
    memafkan dan, ajaib, sakit perut orang saleh itu hilang. Kisah itu
    diceritakan guru agama Islam saya di kelas satu sekolah dasar.
    Belasan tahun kemudian, saat saya kuliah, kisah serupa saya baca
    di Slilit Sang Kiai, buku kumpulan tulisan Emha Ainun Najib.
    Dikisahkan seorang kiai kampung pulang kenduri. Ia terganggu
    dengan sisa makanan yang terselip di giginya. Orang Jawa
    menyebutnya slilit. Ia lalu mengambil ujung bambu dari pagar rumah
    yang dilewatinya untuk dijadikan tusuk gigi guna mencongkel slilit
    itu. Di akhirat, tusuk gigi yang diambil sang kiai dari pagar
    bambu tanpa seiizin pemilknya itu menghalanginya masuk surga. Ibu
    guru agama Islam saya hendak mengajarkan moral atau akhlak lewat
    cerita jambu hanyut tadi. Dia memang lebih banyak mengajarkan
    akhlak ketimbang aspek lain dalam beragama di mata pelajaran agama
    Islam. Pun, Emha menekankan aspek akhlak dalam beragama lewat
    kisah Slilit Sang Kiai. Pakar agama membagi agama dalam tiga
    aspek, yakni akhlak, syariah atau ibadah, serta akidah. Banyak
    pakar menyebut akhlak lebih utama daripada dua aspek lainnya.
    Bukankah para nabi diutus ke muka bumi pertama-tama untuk mengubah
    akhlak manusia? “Dan aku tidak diturunkan ke muka bumi kecuali
    untuk memperbaiki akhlak,” kata Muhammad. Itu artinya apa yang
    dilakukan guru agama Islam saya di SD dulu sudah tepat.
    Kemendikbud mewacanakan menggabungkan mata pelajaran agama di
    sekolah dasar ke dalam mata pelajaran pendidikan Pancasila dan
    kewarganegaraan (PPKN). Zaman saya di SD dulu PPKN disebut PMP,
    pendidikan moral Pancasila. Kemendikbud kiranya hendak menekankan
    aspek akhlak dalam pelajaran agama. Pun moral itu universal, tak
    perlu dikotakkan dalam agama-agama. Pada konteks akhlak lebih
    utama dalam beragama, wacana Kemendikbud untuk menekankan moral
    agama lewat peleburan pelajaran agama dengan PPKN sudah tepat.
    Akhlak selayaknya diajarkan sejak dini, sejak SD. Semestinya aspek
    akhlak dalam beragama terus diutamakan di tingkat pendidikan lebih
    tinggi. Anak saya yang kuliah di universitas swasta terkemuka mata
    kuliah agamanya dilebur ke dalam mata kuliah character building.
    Melalui mata kuliah itu, dosen mengajarkan agama, Pancasila, dan
    kewarganegaraan. Namun, anak saya yang kuliah di universitas
    negeri, serupa dengan saya ketika kuliah dulu, masih harus
    mengambil mata kuliah agama Islam. Bilapun ada mata kuliah agama,
    semestinya bukan mata kuliah agama Islam, agama Kristen, dan
    lain-lain, melainkan mata kuliah agama-agama. Lewat mata kuliah
    itu, dosen mengajarkan dan mengajak mahasiswa mengenal dan
    memahami agamaagama, bukan cuma agamanya sendiri. Akhlak
    keberagaman terbentuk melalui mata kuliah agama-agama itu. Meski
    wacana peleburan mata pelajaran agama ke PPKN tepat, banyak yang
    menolaknya. Harap maklum, di negara yang ber- Ketuhanan Yang Maha
    Esa, agama dianggap sangat sakral dan sensitif. Kita biasanya tak
    tahan bila sudah dihadap-hadapkan dengan perkara agama lalu
    mengalah. Bila Kemendikbud memilih mengalah, apa boleh buat, tetap
    adakan mata pelajaran agama. Namun, Kemendikbud harus memastikan
    kontennya lebih menekankan aspek akhlak, serupa yang ditekankan
    guru agama Islam saya di SD dulu lewat kisah jambu hanyut tadi.
    Konten radikalisme seperti yang ada dalam buku anak SD berjudul
    Anak Islam Suka Membaca serupa yang ditemukan beredar di Ponorogo,
    Jawa Timur, pada 2016, jangan terulang. Orangtualah yang
    bertanggung jawab mengajarkan akidah dan ibadah kepada anak-anak.
    Orangtua bisa mendatangkan guru privat agama untuk mengajarkan
    akidah dan ibadah. Orangtua bisa juga mengirim anak-anak ke
    madrasah sore hari atau sekolah Minggu supaya anak mendapat
    pelajaran akidah dan ibadah.  

    Sumber:
    
https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1861-jambu-hanyut-sang-guru-agama


Reply via email to