"Djiwa Manis Indoeng Disajang", Dua Negara Berebut Lagu

Reza Gunadha

Selasa, 05 Desember 2017 | 09:34 WIB

https://www.suara.com/entertainment/2017/12/05/093440/djiwa-manis-indoeng-disajang-dua-negara-berebut-lagu

 Mengapa lagu keroncong "Terang Boelan"
 memiliki melodi yang sama dengan lagu kebangsaan Malaysia yang
 berjudul "Negaraku"?

Suara.com - Mengapa lagu keroncong "Terang Boelan" memiliki melodi yang
sama dengan lagu kebangsaan Malaysia yang berjudul "Negaraku"? Demikian
antara lain pertanyaan yang mengawali beberapa tayangan yang terdapat
dalam laman berbagi video YouTube.

Ada pula yang menyandingkan dua lagu berbeda itu dalam satu layar
dengan judul "Terang Bulan vs Negaraku".

Itu tidak lain merupakan hasil "rebutan" pengakuan karya seni budaya,
yang bukan satu-satunya terjadi antara Indonesia dan Malaysia hingga
era kontemporer. Boleh jadi, rebutan lagu itu menjadi kasus pertama
yang tercatat.

Rebutan lagu itu terjadi bahkan ketika dua negara tersebut belum
terbentuk, seperti yang diuraikan buku berjudul "Djiwa Manis Indoeng
Disajang" terbitan Kiblat dan Pustaka Jaya, November 2017.

Pada 1937, jurnalis dan pembuat film Indo-Belanda Albert Baling membuat
film berjudul "Terang Boelan" yang memanfaatkan ketenaran lagu
keroncong tersebut. Benar saja, film itu sangat digemari.

Rupanya orang-orang Malaya gusar terhadap hal itu. Tiga tahun kemudian,
muncullah film berbahasa Melayu berjudul "Terang Boelan" di Negeri
Jiran itu.

Kemudian, pada masa Indonesia telah sah berdiri, terjadi kasus yang
mirip.

Pada 1950, perusahaan film Tan & Wong Bross membuat kembali film
berlatar lagu "Terang Boelan" dengan peran utama Raden Mochtar, yang
juga menjadi pemeran utama pada film berjudul yang sama terbitan 1937.

Tidak mau kalah, perusahaan "Kris Film" dari Singapura yang ketika itu
masih berstatus satu bangsa dengan Malaya, membuat film berjudul
"Terang Boelan di Malaya" dengan peran utama yang sama, Raden Mochtar.

Puncaknya rebutan itu terjadi pada 1957, ketika "Terang Boelan"
dilarang dinyanyikan karena telah menjadi lagu kebangsaan Persekutuan
Tanah Melayu. Lagu yang terus dipakai sebagai lagu kebangsaan Malaysia
merdeka pada 1963 itu mendapat modifikasi pada lirik.

Cerita sengketa lagu tersebut merupakan bagian kecil dari buku "Djiwa
Manis Indoeng Disajang" setebal 381 halaman dalam format buku diktat,
karya pensiunan dosen ITB Haryadi Suadi, yang wafat dua tahun sebelum
bukunya diterbitkan.

Buku itu bercerita sejarah musik keroncong, genre yang pernah menjadi
musik nasional Indonesia. Tergambar rinci asal mula musik keroncong
pada masa Portugis hingga masa awal berdirinya Republik Indonesia.

Banyak nama penyanyi keroncong tempo dulu diulas, termasuk Kusbini,
Ismail marzuki, dan Gesang. Tiga nama itu disebut dengan spekulasi,
bahwa boleh jadi merekalah yang masih bisa dikenali oleh generasi
milenial.

Sebagian besar nama yang diceritakan bahkan dipastikan asing bagi
penyuka musik era 1980-an yang tidak serius dengan musik keroncong.

Buku yang dikerjakan bertahun-tahun itu dengan teliti menyebut rinci
sumbernya.

Dalam pengantar bertahun 2015, sang penulis menyebut bahwa hasil
risetnya itu akan menjadi buku tiga jilid. Jilid I tentang musik
keroncong, Jilid II tentang membahas jenis-jenis lagu lain, mulai jaz
hingga irama hawaii, Jilid III tentang dunia musik ketika Indonesia di
bawah kekuasaan Jepang.

Melihat kekayaan yang ada dalam buku jilid I, yang berisi perkembangan
musik di Indonesia mulai 1920-an hingga pendudukan Jepang, tentu saja
tidak berlebihan kalau buku tersebut disebut sebagai babon buku sejarah
musik Indonesia.

Perlu dicermati juga adalah pemilihan awal pembahasan yang dimulai pada
1920, yang menurut penulisnya itulah masa ketika kedudukan musik pop di
Indonesia; keroncong, gambus, melayu, dan stambul, sudah menjadi
hiburan bagi masyarakat.

Kontroversi

Buku sejarah musik itu juga bercerita tentang kontroversi di seputar
perkembangan awal berkembangnya musik keroncong. Cerita itu
memperlihatkan bahwa pro dan kontra terhadap hal baru serta
cerita-cerita buruk dan berbagai kekhawatiran terhadap hal baru memang
selalu terjadi.

Musik keroncong pernah menjadi musiknya orang jalanan. Musik yang oleh
orang-orang berada sangat tidak diharapkan kemunculannya. Soalnya,
ketika para musikus keroncong itu beraksi, maka akan ada noni belanda
yang rela jatuh kepelukan orang pribumi atau pun anak-anak keroncong
indo-belanda, yang tentu saja berbeda kelas.

Kontroversi sebagai musik jalanan yang mengganggu ketenangan itu mirip
dengan maraknya "breakdance" pada 1980-an. Ketika itu, anak-anak muda
berkelompok-kelompok berpetualang dari wilayah satu ke wilayah lain
sekadar memamerkan dan mengadu kemampuan menari dengan jago-jago
"breakdance" di wilayah yang didatangi.

Kelakuan anak-anak muda yang berpakaian khas "breakdance", longgar dan
kedodoran, serta suara musik ingar-bingar dari "radiotape" besar yang
dipanggul ke mana-mana itu sempat membuat heboh orang tua, bahkan
sejumlah agamawan.

Soal lirik musik keroncong yang "norak" alias "lebay" juga menjadi
perbincangan hangat di media kala itu. Lirik yang dianggap "lebay" itu,
misalnya "Djiwa Manis Indoeng Disajang", yang dijadikan judul buku
sejarah musik ini.

Kritik kepada lirik lagu keroncong yang marak pada 1920-an itu bolehlah
dianggap sebagai suatu kewajaran, sebagai jalan dari membaiknya
perkembangan sebuah genre musik.

Hal yang wajar, karena kritik pada lagu-lagu pop juga terjadi pada
1980-an akhir. Ketika itu muncul istilah lagu-lagung cengeng, yang
sempat dihambat kemunculannya di televisi.

Buku ini juga memperlihatkan, justru berbagai kritik dan perdebatanlah
yang membuat sesuatu menjadi makin baik, termasuk membaiknya
lirik-lirik lagu keroncong.

Kirim email ke