BELAJAR DULU BACA AL-QUR'AN DENGAN BENAR KEPADA PARA AHLINYA SEBELUM MENJADI 
USTADZ 
(Sebuah Catatan Untuk Felix Siauw)
Oleh: Ahmad Ishomuddin
Baru-baru ini saya membuka Facebook, tidak sengaja menemukan sebuah video 
singkat Felix Siauw. Saya sengaja menontonnya karena merasa penasaran. Terlihat 
jelas konteksnya, Felix sedang bermaksud menafsirkan kata "hikmat" pada sila 
keempat Pancasila dengan mengutip Qs. al-Jumu'ah ayat 1 di hadapan beberapa 
orang berseragam putih-putih, sepertinya seragam "pasukan" FPI. Mungkin saja 
motivnya agar ia sebagai tokoh ex-HTI tidak lagi dituduh sebagai orang yang 
anti Pancasila. 
Awalnya Felix bertanya,  "Oke coba lihat! Arti kata "hikmat". Ada yang hapal  
surat al-Jumu'ah ayat pertama?" Sebelum ada yang menjawab pertanyaannya, Felix 
dengan tergesa-gesa menjawab sendiri pertanyaannya itu dengan membaca potongan 
ayat itu, "Sabbaha lillahi ma fissamawati wal-ardl? سبح لله ما في السموات)( 
والأرض "  Lalu, seseorang bermaksud menyempurnakan potongan ayat itu, "wa in 
tubdu ma..." Tetapi karena keliru, atau karena tidak hapal, Felix pun segera 
menyela, "Bukan! (yakni bukan itu bunyi selanjutnya, tetapi) al-malikulquddus 
'azizul-hakim. Ada kata-kata "hakim". Hakim artinya adalah orang yang memiliki 
hikmah".
Seperti sudah saya duga, Felix nyata-nyata melakukan amat banyak kekeliruan 
meski hanya membaca satu ayat al-Qur'an, yaitu Qs. al-Jumu'ah ayat 1 itu. 
Kesalahan itu menurut ilmu tajwid bukan terkategori sebagai kesalahan yang 
ringan (al-khatha' al-khafiy), melainkan kesalahan yang fatal (al-khatha' 
al-jaliy). Saya tidak terkejut melihat Felix keliru fatal membaca ayat, apalagi 
bila ia nekad menafsirkannya, jelas berdasarkan hawa nafsu, bukan dilandasi 
ilmu. Kekeliruannya itu wajar karena bekal ilmu agamanya yang amat terbatas dan 
belum memadai. 
Saya tidak tahu sanad (mata rantai) keilmuan Felix, kepada siapa belajar ilmu 
agama, dan sudah berapa lama ia secara khusus membersamai para ulama, seperti 
para santri NU di pondok pesantren, untuk memperdalam pemahaman agamanya dan 
meneladani perilaku mereka dalam kehidupan beragama. Saya menduga kuat, semoga 
dugaan saya tepat, bahwa Felix belajar agama secara otodidak, membaca buku-buku 
terjemahan, termasuk al-Qur'an dan Terjemahnya, dan tidak dengan baik menguasai 
seperangkat ilmu untuk memahami agama dari sumber-sumber aslinya, seperti 
Qawa'id al-lughah al-'Arabiyyah, Ilmu Ushul al-Fiqh, Ilmu Fiqh lintas madzhab, 
Ilmu Tafsir, 'Ulum al-Qur'an, Musthalah al-Hadits, dan sebagainya. Itulah 
sebabnya, dalam membaca satu ayat yang amat pendek saja, Felix berkali-kali 
terbukti melakukan kesalahan fatal yang merusak makna ayat tersebut.
Dari sisi adab, misalnya, dalam membaca al-Qur'an tampaknya Felix tidak (lupa?) 
membaca ta'awwudz sebelum membaca meski satu ayat al-Qur'an. Membaca meski 
sepenggal ayat al-Qur'an yang jelas merupakan perbuatan baik itu amat 
memerlukan perlindungan dari Allah dari gangguan syetan yang terkutuk. 
Dari sisi ilmu al-Tajwid jelas juga bahwa Felix melakukan kesalahan fatal 
(al-khatha' al-jaliy) yang secara mutlak hukumnya haram,  pelakunya berdosa, 
dan membatalkan shalatnya (saat dibaca dalam shalat) bila merubah maknanya, 
seperti saat Felix mengganti kata awal surat al-Jumu'ah, yakni kata "yusabbihu 
( يسبح )" yang berbentuk fi'il al-mudlari' (bentuk kata kerja yang menunjukkan 
makna sekarang dan yang akan datang) dengan kata "sabbaha (سبح)" yang berbentuk 
fi'il al-madliy (kata kerja lampau).
Kesalahan fatal lainnya, Felix telah mengurangi dua kata dalam satu redaksi 
ayat di atas, yaitu satu kata benda "ma (ما)" dan satu huruf jarr/ preposition 
(في)" dalam kalimat yang lengkapnya adalah "wa ma fil-ardli (وما في الأرض), 
sehingga menjadi "wal-ardli (والأرض)". 
Padahal,  membaca al-Qur'an dengan benar itu wajib, sehingga bacaan yang 
sebaliknya seperti mengurangi satu huruf saja (nuqshan al-harfi) dari ayat 
al-Qur'an atau menambahinya satu huruf (ziyadat al-harfi), menukar satu huruf 
dengan huruf lainnya (tabdil al-harfi bil-harfi), atau merubah beberapa harakat 
dan sukun (taghyir al-harakat wa al-sakanat) itu terkategori sebagai kesalahan 
fatal atau al-khatha' al-jaliy, yang jelas hukumnya haram.
Kekeliruan Felix yang lainnya terkait bacaannya atas Qs. al-Jumu'ah ayat 1 
sepertinya karena ia  sama sekali tidak memahami tata Bahasa Arab, terutama 
ilmu dasar yaitu Ilmu Nahwu/sintaksis dan Ilmu Sharf/morfologi.  
Felix agaknya tidak paham Ilmu al-Sharf, sehingga ia tidak mampu membedakan 
mana ayat al-Qur'an yang diawali dengan kata kerja bentuk lampau (fi'il 
al-madli) "sabbaha (سبح)" dan mana ayat yang diawali dengan kata kerja bentuk 
sekarang atau yang akan datang (fi'il al-mudlari') "yusabbihu (يسبح)". 
Bagi siapa saja yang tidak benar-benar kuat hapalan bacaan al-Qur'annya, kedua 
kata kerja berbeda bentuk di atas berpotensi diletakkan bukan pada redaksi ayat 
yang tepat. Padahal kata "tasbih" di dalam al-Qur'an kadangkala ditulis atau 
dibaca dalam salah satu dari empat bentuk, yaitu al-mashdar seperti firman 
Allah " سبحا طويلا ",  al-madli seperti " سبح لله ",   al-mudhari' seperti 
firman Allah " يسبح لله ," atau al-amr seperti firman Allah ta'ala  " وسبحوه 
بكرة وأصيلا ."
Penyebab kekeliruan fatal dari Felix Siauw dalam membaca Qs. al-Jumu'ah ayat 1 
adalah bahwa ia tidak mampu meng-i'rab, yakni tidak mampu menganalisis posisi 
suatu kata dalam rangkaian kalimat dengan tinjauan aneka ilmu kebahasaan demi 
memperjelas maknanya. Perubahan akhir sebuah kata dalam satu rangkaian kalimat 
sempurna itu disebabkan adanya perbedaan faktor yang menyertainya.
Dalam video itu, Felix dengan sangat jelas keliru membaca kata " 'azizul-hakim 
( عزيز الحكيم )" yang ia membaca 'azizu ( عزيز ) tanpa "al ( ال )" dengan 
bacaan i'rab rafa' bertandakan dhammah (u) pada huruf akhirnya, padahal yang 
benar seharusnya dibaca " al-'azizi " karena posisi kata ini adalah sebagai 
kata sifat  atau sebagai badal dari kalimat lillahi  (لله) yang terdiri dari 
huruf jarr (ل) dan lafdz al-jalalah ( الله )  yang dibaca majrur dengan tanda 
kasrah pada huruf akhirnya. Keduanya berkaitan erat dengan kata kerja yang 
disebut sebelumnya, huruf jar dan isim majrur ini dalam mahal nashab sebagai 
maf'ulun bihi. Secara lafal lafdz al-jalalah (الله) berposisi majrur, sedangkan 
mahal-nya adalah nashab. Adapun kalimat "al-malikil-quddusil-'azizil-hakimi ( 
الملك القدوس العزيز الحكيم )"  adalah nama-nama  yang keseluruhannya adalah 
badal dari lafdz al-jalalah atau nu'utun lahu (sifat-sifat bagi-Nya). 
Pada selain ayat al-Qur'an, yakni dalam Bahasa Arab, Felix Siauw atau lainnya 
boleh dengan bebas membaca dengan i'rab selainnya, asalkan memahami alasannya 
dan mampu menampilkan argumentasinya. Ibnu Malik dalam Alfiyah-nya membuat 
kaidah sebagai berikut,
واقطع أو اتبع إن يكن معينا    #  بدونها أو بعضها اقطع معلنا
وارفع أو انصب إن قطعت مضمرا #  مبتدأ أو ناصبا لن يظهرا  
Tulisan ini saya maksudkan sebagai pengingat bagi kita semua, terutama bagi 
Felix Siauw, agar ia berkenan merenungkan kembali dan mau menyadari 
kekeliruannya, agar kembali ke jalan yang benar dengan cara lebih banyak lagi 
belajar ilmu-ilmu agama kepada para ahlinya sebelum mengajarkannya kepada umat 
Islam. Berhentilah berkhayal menghabiskan usia yang amat singkat untuk 
mengganti sistem pemerintahan yang telah amat mapan di dunia ini dengan 
khilafah. Itulah kekhilafan yang selama ini Felix Siauw meyakininya sebagai 
sebuah kebenaran mutlak. Padahal, membaca satu ayat saja ternyata masih banyak 
kesalahan, apalagi menafsirkannya, atau apalagi menerapkannya. Jangan pernah 
tanpa sadar menjadi orang yang sesat dan menyesatkan.
BELAJARLAH DULU BACA AL-QUR'AN DENGAN BENAR KEPADA PARA AHLINYA SEBELUM MENJADI 
USTADZ
  
|  
|   
|   
|   |    |

   |

  |
|  
|    |  
BELAJARLAH DULU BACA AL-QUR'AN DENGAN BENAR KEPADA PARA AHLINYA SEBELUM MENJADI 
USTADZ
 
Oleh Santri Rembang Tube
 

  |   |

  |

  |

  


Dikirim dari Yahoo Mail untuk iPhone

Kirim email ke