-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>

https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1888-agama-penyihir-agama-lokal-agama-impor




Rabu 22 Juli 2020, 05:00 WIB 

Agama Penyihir, Agama Lokal, Agama Impor

Usman Kansong Dewan Redaksi Media Group | Editorial 

  Agama Penyihir, Agama Lokal, Agama Impor MI/Ebet Usman Kansong Dewan 
Redaksi Media Group. SERIBUAN orang berkumpul di Washington Hebrew 
Congregation, sinagoge dan pusat agama Yahudi, di Washington DC, Amerika 
Serikat, Minggu, 10 September 2017. Mereka datang dari berbagai latar belakang 
agama yang akan mengikuti unity walk. Unity walk jalan bersama di antara para 
penganut berbagai agama untuk memperingati serangan teroris 11 September 2001 
terhadap Gedung World Trade Center dan Pentagon. Unity walk merupakan simbol 
penolakan agama-agama terhadap terorisme. Berawal dari sinagoge tersebut, para 
peserta melewati dan menyambangi rumahrumah ibadah berbagai agama, lalu 
berakhir di Islamic Center Washington. Saya yang sedang mengikuti 2017 Senior 
Journalist Seminar yang diorganisasi East-West Center, Honolulu, Amerika 
Serikat, termasuk satu di antara para peserta unity walk. Di Washington Hebrew 
Congregation, agama-agama membuka semacam konter. Yang menarik perhatian saya 
konter agama Wicca. Wicca bisa dikatakan agama penyihir yang menganggap Tuhan 
itu ajaib. Keberadaan konter agama Wicca mengonfi rmasi apa yang saya baca di 
buku The Geography of Faith karangan Eric Weiner. Eric Weiner yang juga 
wartawan ini melaporkan keberadaan Wicca dalam bukunya. Selain Wicca, Eric juga 
melaporkan keberadaan agama Raelisme dan Syamanisme dalam bukunya. Raelisme 
agama yang ‘menuhankan’ unidentifi ed fl ying object (UFO). Penganut Raelisme 
percaya Tuhan itu nun jauh di sana. Syamanisme memetaforakan Tuhan serupa 
hewan. Amerika yang menjunjung kebebasan beragama ‘mengakui’ agama-agama yang 
aneh bagi kita itu. Saya tidak sanggup membayangkan bila Wicca, Raelisme, atau 
Syamanisme ada di Indonesia yang katanya menganut kebebasan beragama juga. 
Tidak sanggup membayangkan karena agama-agama itu pasti menjadi sasaran unjuk 
rasa, diskriminasi, dan penolakan bertubitubi, baik dari kelompok tertentu 
dalam agama mayoritas maupun negara. Jangankan agama-agama ‘ajaib’ itu, agama 
minoritas atau kelompok minoritas dalam agama mayoritas, seperti Ahmadiyah dan 
Syiah pun kerap mendapat diskriminasi dan tekanan. Agama-agama tradisional 
serupa nasibnya dengan agama-agama minoritas lain. Paling mutakhir agama 
tradisional yang mendapat diskriminasi ialah penganut Sunda Wiwitan. Pemerintah 
Kabupaten Kuningan menghentikan pembangunan kuburan leluhur Masyarakat Adat 
Karuhun Urang Sunda Wiwitan di Curug Goong, Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa 
Barat. Massa dari kelompok agama mayoritas datang ke lokasi mendukung 
penghentian pembangunan kuburan itu. Alasan penghentian pembangunannya klise, 
yakni tidak ada izin mendirikan bangunan. Ini serupa alasan penolakan 
pembangunan sejumlah gereja. Padahal, masyarakat adat sudah mengupayakan 
pembangunan kuburan itu sejak 2014. Mereka juga sudah mengurus IMB. Satu per 
satu aset masyarakat adat juga dipereteli, mulai Leuweung Leutik, Tanah Mayasi, 
Paseban, hingga Curug Goong. Leuweung Leutik tanah adat yang berfungsi sebagai 
daerah resapan air. Pemkab Kuningan menerbitkan sertifi kat hak milik pribadi 
atas tanah tersebut. Masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda Wiwitan menggugat ke 
pengadilan supaya penerbitan sertifi kat itu dibatalkan. Agama-agama 
tradisional itu sesungguhnya agama-agama asli orang Indonesia. Enam agama yang 
diakui negara, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, kiranya 
agama-agama impor. Celakanya, agama-agama impor ini ‘mengalahkan’ agamaagama 
lokal. Agama impor seolah menjadi tuan rumah di negeri ini. Ini serupa barang 
impor yang mendominasi barang lokal dalam dunia ekonomi. Negara menyebut 
agama-agama impor itu sebagai agama resmi. Bila ada agama resmi, berarti ada 
agama tak resmi, dan agama-agama tak resmi itu terutama agama-agama lokal. 
Negara mendiskriminasi agama lokal itu dengan secara tidak langsung 
menabalkannya sebagai agama tak resmi. Ini pada gilirannya mendorong kelompok 
tertentu dalam masyarakat mendiskriminasi agama-agama lokal tersebut. 
Diskriminasi ialah kekerasan. Inilah yang oleh fi lsuf Hannah Arendt disebut 
kekerasan negara menular ke masyarakat. Konstitusi mewajibkan negara menjamin 
kebebasan orang memeluk agama dan mengekspresikannya dalam kehidupan 
seharihari. Negara melanggar konstitusi bila abai melindungi kebebasan 
beragama. Pembangunan kuburan leluhur Masyarakat Adat Karuhun merupakan 
ekspresi keberagamaan penganut Sunda Wiwitan. Penghentian pembangunannya ialah 
bentuk pengabaian negara melindungi kebebasan beragama, dan itu merupakan 
pelanggaran konstitusi. Pemerintah pusat mesti turun tangan.

Sumber: 
https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1888-agama-penyihir-agama-lokal-agama-impor






Kirim email ke