-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>



https://news.detik.com/kolom/d-5112336/calon-tunggal-pilkada-dan-kekuatan-oligarki?tag_from=wp_cb_kolom_list



Kolom

Calon Tunggal Pilkada dan Kekuatan Oligarki

Ernest Teredi - detikNews

Rabu, 29 Jul 2020 13:10 WIB
2 komentar
SHARE URL telah disalin
Kotak Suara Kosong.
Foto: Rifkianto Nugroho
Jakarta -
Percakapan politik kita hari-hari ini diramaikan dengan munculnya pasangan 
calon (paslon) tunggal dalam perhelatan pemilihan kepala daerah (pilkada) di 
beberapa Wilayah yang akan dilaksanakan Desember mendatang. Dan yang paling 
menarik perhatian publik adalah munculnya Gibran Rakabuming Raka, putra 
Persiden Joko Widodo yang sudah hampir pasti menjadi calon tunggal dalam 
Pemilihan Wali Kota di Solo.

Calon tunggal berarti melawan kotak kosong. Kita tahu, melawan kotak kosong 
berarti tidak melawan siapa-siapa. Tidak ada pesaing untuk mencapai kursi 
kekuasaan. Memang manuver Gibran kali ini sebagai sinyal penting, bagaimana 
partai politik (parpol) bisa dikondisikan sedemikian rupa untuk menihilkan 
alternatif dalam demokrasi.

Pada titik ini, masyarakat tak diberi alternatif oleh negara melalui institusi 
yang bernama kepartaian. Justru kepartaian menampakkan wajah otoritarianisme 
lunak untuk menawarkan sesuatu tanpa alternatif sekalipun --dengan 
memperkuatkan paslon tunggal untuk berkontestasi dalam pemilihan.

Memang fenomena paslon tunggal selama ini juga sering terjadi. Berdasarkan data 
Komisi Pemilihan Umum (KPU), pada Pilkada 2015 terdapat tiga paslon tunggal. 
Sementara di Pilkada 2017 jumlah paslon tunggal naik menjadi sembilan. Dan pada 
Pilkada 2018, Paslon tunggal naik lagi menjadi dua belas. Setiap pilkada kita 
disuguhi peningkatan data soal paslon tunggal tersebut.

Dalam moment ini, setidaknya kita melayangkan beberapa pertanyaan yang penting. 
Apakah demokrasi tanpa alternatif dalam konteks pemilihan di tingkat lokal 
melalui hadirnya paslon tunggal bisa disebut demokratis? Benarkah ketika calon 
tunggal tersebut menduduki kekuasaan bisa menjamin kebaikan bersama bagi 
masyarakat? Lalu apa yang harus dilakukan oleh masyarakat di tengah kondisi 
politik yang memang diprakondisikan kedaruratannya?

Krisis Demokrasi

Argumentasi dasar demokrasi adalah adanya kemungkinan dalam ketidakmungkinan. 
Artinya demokrasi secara inheren menghadirkan kemungkinan itu. Sehingga etik 
dari demokrasi adalah tidak adanya pengabaian terhadap apapun dan siapapun. 
Semuanya harus terakomodasi untuk dibicarakan dan dipraktikan lalu dirumuskan 
untuk mencapai kepentingan bersama.

Jika prasyarat demokrasi bahwa adanya alternatif, maka calon tunggal tentu 
merupakan krisis demokrasi, sebab tidak menawarkan alternatif bagi publik. 
Krisis demokrasi sebenarnya menjawab bagaimana kekuatan oligarki dalam 
mengkonsolidasikan setiap kekuatannya. Oligarkilah yang memiliki kekuasaan 
beserta kekayaan materiil dan tidak bisa diseimbangkan kendati posisinya 
sedikit, namun mereka memiliki kekuasaan yang luas. (Winters, 2011).

Manifestasi konkret dari oligarki adalah mengontrol sampai pada tingkat wilayah 
terkecil demi memuluskan agenda-agenda pribadinya. Demokrasi dalam mata 
oligarki bisa dilumat habisan-habisan dengan memuluskan agendanya melalui 
institusi kepartaian. Contoh sederhananya saja bahwa untuk menentukan parpol 
yang mengusung dalam mendukung sebuah calon di tingkat provinsi, kota, 
kabupaten harus diputuskan di tingkat pusat.

Hal ini sebenarnya bahwa politik kita dalam prosedural diatur dan dikontrol 
sedemikian rupa dari atas. Alat legitimasinya banyak, aturan, dan lain-lain. 
Jika diperiksa lebih dalam itu merupakan cara oligarki dalam menjalankan 
fantasi kepolitikannya.

Kondisi ini yang menjadikan tubuh parpol sebagai organisasi yang sangat leader 
centric yang didominasi suatu lingkaran kecil elite politikus. Saat elite 
pragmatis dalam "mendagangkan" partai jelang perhelatan kontestasi elektoral 
seperti pilkada, partai akan mengalami deinstitusionalisasi, (Carothers, 2006, 
et, Heryanto, 2018).

Akhirnya kita diprakondisikan sebelumnya untuk hidup dalam sebuah kedaruratan 
atau apa yang dinamakan oleh (Agamben, 2002) sebagai the state of emegerency, 
yang mana keadaan darurat ini ditempatkan pada batas yang ambigu dan tidak 
pasti antara hukum dan politik. Dan buruknya hal ini akan membentuk "titik 
ketidakseimbangan" antara hukum publik dan fakta politik.

Pendeknya, the state of emergency yang terjadi merupakan suatu kerja sistem 
negara. Kita dipaksakan hidup dalam kondisi kedaruratan, dengan legitimasi 
aturan politik yang mengusung calon tunggal. Sementara fakta politik kehidupan 
masyarakat menginginkan adanya alternatif dalam proses demokrasi melalui 
pemilihan. Dengan demikian kehidupan politik kita sudah disiapkan oleh oligarki 
dalam template ketidakjelasan, dan kita menerima itu sebagai sesuatu yang 
dianggap benar dan sah-sah saja.

Mencekam Ketika Berkuasa

Dengan formasi pencalonan tunggal ini berjalan terus, lalu bagaimana ketika 
calon tunggal tersebut berkuasa selama masa lima tahun?

Tentu, secara cepat kita menduga bahwa lima tahun ke depan hanya memuluskan 
agenda dari oligarki. Mengapa demikian? Pertama, logika politik dari pencalonan 
saja adalah hasil konsolidasi oligarki melalui kekuatan partai politik. 
Sehingga ketika memimpin, hal pertama yang harus dijalankan oleh pemimpin yang 
menang adalah menyelesaikan dulu pekerjaan utamanya, yaitu agenda kekuatan 
elite tersebut.

Kedua, dalam proses demikian, rakyat benar-benar tidak dianggap sebagai penentu 
kemenangan. Karena semua praktik politik itu tanpa konsolidasi gerakan rakyat 
untuk menentukan proses pencalonan tunggal. Melainkan melalui konsolidasi 
tingkat partai dengan memborong untuk menciptakan tubuh politik yang besar. 
Sehingga ketika rakyat diabaikan, otomatis dalam setiap keputusan yang diambil 
juga ke depannya rakyat hanya menjadi subjek yang diintervensi sesuka tubuh 
kekuasaan itu bekerja.

Dengan dua alasan ini, maka dapat kita reframing kembali bahwa munculnya paslon 
tunggal tidak serta merta menjanjikan bagi kehidupan politik ketika berkuasa. 
Kita bisa belajar dari berbagai daerah soal itu.

Memuliakan Kembali Politik

Politik adalah ketegangan, ruang demokrasi menjamin ketegangan itu berlangsung. 
Oleh karena itu, jika politik berlangsung dalam ketegangan, namun yang muncul 
adalah senyap, tanpa ada pilihan alternatif dari masyarakat, maka pada titik 
ini kita harus mengevaluasi cara kita berpolitik.

Evaluasi yang paling penting adalah, pertama jika konsolidasi elite parpol 
dalam mengusung paslon tunggal dalam perhelatan pilkada merupakan bentuk 
pengabaian terhadap masyarakat, maka masyarakat perlu membangun alternatif. 
Apapun alternatif itu adalah kemuliaan dari politik itu sendiri.

Mengutip apa yang disampaikan oleh Supriatma (2020) bahwa jangan menganggap 
remeh rakyat jelata. Bagi saya paslon tunggal memang bentuk anggap remeh. Dan 
keremehan ini mengharuskan masyarakat untuk menentukan posisinya ketika ditawar 
tanpa alternatif untuk memilih. Dan alternatif itu harus dimunculkan oleh 
masyarakat sendiri.

Kedua, dalam situasi kepolitikan kita yang sangat problematik, maka penting 
sekali masyarakat memperkuatkan kembali solidaritas lokal. Solidaritas lokal 
selalu menghadirkan apa yang namanya peristiwa perubahan pada kehidupan politik 
ke depannya.
Ernest L. Teredi peneliti Lembaga Terranusa Indonesia

(mmu/mmu)
pilkada 2020
paslon tunggal
calon tunggal
kotak kosong






Kirim email ke