-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>


https://news.detik.com/kolom/d-5112530/benih-oligarki-dalam-pengelolaan-sumber-daya-kelautan?tag_from=wp_cb_kolom_list





Kolom

Benih Oligarki dalam Pengelolaan Sumber Daya Kelautan

Anta Nasution - detikNews

Rabu, 29 Jul 2020 15:04 WIB
1 komentar
SHARE URL telah disalin
Kapal ikan eks asing "korban" moratorium
Jakarta -
Kata oligarki saat ini kian santer terdengar dalam khazanah perpolitikan 
Indonesia. Belakangan, kata oligarki menjalar di publik tidak hanya 
disangkutpautkan dengan fenomena politik seperti pemilu, namun menjalar ke 
pengelolaan sumber daya alam. Seperti Revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara 
(RUU Minerba) yang belum lama ini disahkan oleh DPR, yang mana banyak disebut 
oleh para aktivis dan pengamat bahwa pengesahan Revisi UU Minerba hanya untuk 
kepentingan oligarki tambang.

Konsep oligarki erat hubungannya dengan studi-studi politik dan demokrasi. 
Seorang profesor politik asal Amerika, Jeffrey Winters dalam bukunya berjudul 
Oligarchy (2011) menjelaskan bahwa oligarki adalah politik mempertahankan 
kekayaan yang dijalankan oleh kalangan yang memiliki kekayaan material. Secara 
umum oligarki juga sering diartikan sebagai kekuasaan di tangan segelintir 
elite, namun dapat menguasai sumber daya yang sangat besar baik itu sumber daya 
material maupun politik.

Tulisan ini tidak akan membahas oligarki secara konsep dan teori studi ilmu 
politik, tetapi akan mengelaborasi konsep oligarki ke dalam pengelolaan sumber 
daya kelautan. Secara sederhana oligarki dalam pengelolaan sumber daya kelautan 
dapat dimaknai sebagai penguasaan segelintir elite dalam mempertahankan 
kekayaan dengan memanfaatkan sumberdaya laut. Adanya oligarki tersebut akan 
menciptakan gap sosial yang besar dan menghambat pertumbuhan kesejahteraan 
masyarakat yang menggantungkan hidup dengan sumber daya laut.

Mengalir ke Segelintir Orang

Selama ini pembahasan oligarki pada sumber daya alam selalu berkutat pada 
penguasaan tambang atau kelapa sawit. Padahal dari sektor sumber daya kelautan, 
khususnya perikanan juga ada, hanya saja mungkin belum banyak yang meneliti. 
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti dalam beberapa 
kesempatan selalu menegaskan bahwa kekayaan di laut hanya mengalir ke 
segelintir orang saja. Menurut Susi, dari sekitar 4000-5000 kapal penangkapan 
ikan berbobot besar, kepemilikannya didominasi oleh 8-20 perusahaan saja. Lebih 
parahnya lagi, para pemilik kapal-kapal penangkap ikan tersebut sering kali 
tidak bayar pajak.

Pendapat Susi tersebut diamini oleh Dirjen Perikanan Tangkap KKP Zulficar 
Mochtar dalam webinar berjudul Dampak RUU Omnibus Law Cipta Kerja Terhadap 
Penegakan Hukum di Bidang Kelautan dan Perikanan yang diselenggarakan tiga 
bulan silam. Menurutnya, tata kelola perikanan tangkap di Indonesia menghadapi 
tantangan besar, yaitu terjadinya oligarki. Di mana perusahaan perikanan 
tangkap hanya dimiliki oleh segelintir orang, mereka menguasai dominasi 
kapal-kapal penangkap ikan berbobot besar berukuran 100 sampai 200 Gross 
Tonnage (GT).

Saat ini, di bawah kuasa Menteri Edhy Prabowo, KKP resmi memperbolehkan ekspor 
benih lobster yang diatur dalam Permen KP No 12 tahun 2020. Sebelumnya, selama 
kurang lebih empat tahun ekspor benih lobster dilarang melalui Permen KP No 56 
Tahun 2016 yang dikeluarkan oleh Susi Pudjiastuti. Saya tidak akan membahas 
pro-kontra terkait dikeluarkannya permen yang memperbolehkan ekspor benih 
lobster tersebut, tetapi lebih ke pemberian izin terhadap perusahaan 
eksportirnya.

Ada fakta menarik terhadap perusahaan yang mendapatkan izin sebagai calon 
eksportir benih lobster. Beberapa politikus dari partai Menteri Edhy berasal 
terafiliasi sebagai pemegang saham dan pengelola perusahaan tersebut. Terkait 
hal itu, Menteri Edhy menyatakan bahwa semua proses pemberian izin ekspor benih 
lobster kepada perusahaan sudah melalui seleksi resmi yang diadakan oleh tim 
dari KKP.

Saya melihat permasalahannya bukan pada perusahaan orang partai yang diberikan 
ijzn ekspor benih lobster; itu tidak masalah selagi perolehan izinnya didapat 
dengan seleksi yang benar tanpa campur tangan Menteri Edhy. Tetapi yang menjadi 
permasalahan, jika nantinya bisnis ekspor benih lobster ini hanya dikuasai 
segelintir elite yang jika ditelusuri ternyata perusahaan-perusahaan ini 
semuanya terkoneksi hanya dimiliki oleh beberapa orang, menjadikan benih 
oligarki tumbuh subur.

Kemudian adanya wacana untuk melegalkan izin alat tangkap cantrang yang 
sebelumnya dilarang penggunaannya berdasarkan Permen KP No 71 tahun 2016. 
Wacana pelegalan izin cantrang ini ditentang oleh beberapa organisasi nelayan 
karena dianggap tidak ramah lingkungan dan dapat merugikan nelayan-nelayan 
tradisional. Saya menduga jika nantinya izin cantrang benar-benar dilegalkan 
tanpa aturan dan pembatasan yang ketat, para "kartel" pemilik kapal-kapal 
cantrang akan bangkit kembali mendominasi penangkapan ikan dan berujung pada 
minimnya pendapatan nelayan tradisional.

Data dari KKP pada awal 2017 menunjukan, terdapat sekitar 14.367 unit alat 
tangkap cantrang di Indonesia. Bisa jadi setelah izin cantrang dilegalkan 
kapal-kapal cantrang berbobot besar yang sebelumnya pergi dari Indonesia karena 
adanya moratorium pada tahun 2014 datang kembali dengan dalih investasi.

Memutus Mata Rantai

Perlu digarisbawahi bahwa benih oligarki dalam pengelolaan sumber daya alam 
selalu dimulai dengan pemberian izin. Kemudian akan mengakar menjadi penguasaan 
yang didominasi oleh segelintir orang dan berakhir pada terbentuknya kartel 
yang memonopoli harga. Ujungnya sudah ketebak bahwa yang miskin akan semakin 
miskin dan yang kaya akan semakin kaya.

Pada awal kepemimpinannya di KKP, Menteri Susi mengeluarkan Permen KP No 56 
tahun 2014 tentang moratorium perizinan usaha perikanan tangkap. Imbas dari 
permen tersebut, kapal-kapal berbobot di atas 30 GT yang rata-rata pembuatannya 
dilakukan di luar negeri tidak bisa beroperasi. Kebijakan ini selain dinilai 
sebagai deklarasi perang terhadap Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing 
(IUU) Fishing juga dinilai untuk merapikan izin-izin kapal penangkapan ikan 
yang bermasalah. Selama ini banyak dari kapal-kapal ikan tersebut dikuasai oleh 
segelintir perusahaan yang mendominasi hasil tangkapan ikan.

Moratorium izin pada zaman Menteri Susi bisa dijadikan salah satu contoh 
kebijakan untuk memutus mata rantai oligarki dalam pengelolaan sumber daya 
kelautan. Karena kebijakan tersebut langsung "menghabisi" urusan perizinan yang 
menjadi pintu masuk oligarki. Walaupun harus diakui bahwa kebijakan moratorium 
pada zaman Menteri Susi belum menyelesaikan masalah oligarki seutuhnya, karena 
butuh waktu yang lebih dan kebijakan yang konsisten.

Sementara itu, untuk menghentikan benih oligarki tumbuh subur adalah dengan 
melakukan transparansi pada proses-proses perizinan yang berkaitan dengan 
pemanfaatan sumber daya kelautan. Proses transparansi tersebut dapat dilakukan 
dengan mengadakan uji publik yang melibatkan akademisi, organisasi profesi, dan 
praktisi.

Memperketat seleksi dalam pemberian izin-izin pemanfaatan sumber daya kelautan 
bukan berarti memperlambat birokrasi, tetapi mencegah kerugian negara yang 
timbul di kemudian hari. Pemerintah jangan silau dengan perusahaan bermodal 
besar; jangan tiba-tiba diberi izin karena dalih investasi. Investasi tapi jika 
berujung pada penguasaan sumber daya kelautan dan hanya dinikmati oleh 
segelintir elite, untuk apa? Hanya akan menambah penderitaan nelayan kecil.

Anta Nasution peneliti kemaritiman pada Pusat Penelitian Politik LIPI

(mmu/mmu)
oligarki
kelautan dan perikanan








  • [GELORA45] Benih Oligarki da... 'j.gedearka' j.gedea...@upcmail.nl [GELORA45]

Kirim email ke