NASIONAL
Ke Mana Jokowi Akan Membawa Kita?
Oleh : indonews - Sabtu, 11/07/2020 17:27 WIB
https://indonews.id/artikel/30993/Ke-Mana-Jokowi-Akan-Membawa-Kita/
Abdillah Toha. (Foto: Ist)
*Abdillah Toha*)*
*INDONEWS.ID*-- Saya adalah seorang pendukung Jokowi yang oleh sebagian
orang dikatakan fanatik. Mungkin tidak terlalu salah. Sejak pilpres
pertama, saya telah mendukung beliau. Sayalah yang membuat tulisan “10
alasan kenapa saya memilih Jokowi” yang kemudian jadi viral. Juga
tulisan “10 alasan mengapa saya tidak akan memilih Prabowo” pada pilpres
berikutnya.
Baca juga :Kerja Sama dengan KLHK, Ansy Lema Bantu 9 kelompok Tani Hutan
di NTT
<https://indonews.id/artikel/311677/Kerja-Sama-dengan-KLHK-Ansy-Lema-Bantu-9-kelompok-Tani-Hutan-di-NTT/>
Saya yakin benar saat itu bahwa memilih Jokowi adalah sebuah keputusan
yang tepat. Baru pertama kali dalam perpolitikan Indonesia ada seorang
calon Presiden yang benar-benar merakyat, jujur, berasal dari rakyat,
bukan dari elite politik maupun kelompok kekuatan besar lain. Ternyata
itu saja tidak cukup untuk menjadikan seorang pemimpin yang efektif.
Menyimak berbagai peristiwa yang terjadi berulang pada periode 2
pemerintahan Jokowi yang belum setahun ini, membuat saya menjadi makin
sulit untuk membela Jokowi dan mengatakan bahwa Jokowi memang merupakan
pilihan tepat sebagai Presiden RI. Tidak berarti bahwa bila waktu
diputar kembali ke belakang, saya akan memilih Prabowo.
Baca juga :Dorong UMKM Go Digital, Pelatihan Online PNM Dihadiri Ribuan
Nasabah dari Seluruh Indonesia
<https://indonews.id/artikel/311668/Dorong-UMKM-Go-Digital-Pelatihan-Online-PNM-Dihadiri-Ribuan-Nasabah-dari-Seluruh-Indonesia/>
Kerja dan diamnya Jokowi pada periode kedua ini memunculkan berbagai
pertanyaan yang tak terjawab. Mulai dari pemilihan para pembantunya yang
tidak tepat dan berkualitas rendah.
Awal kekecewaan saya adalah ketika pada detik-detik terakhir beliau
membatalkan Mahfud MD sebagai calon wakil presiden yang akan
mendampinginya. Kabinet sekarang adalah kabinet yang tidak sesuai dengan
janjinya yang katanya akan lebih banyak menempatkan menteri-menteri
profesional pada bidangnya.
Baca juga :Polri Ungkap Motif Keluarnya Surat Jalan Djoko Tjandra
<https://indonews.id/artikel/311673/Polri-Ungkap-Motif-Keluarnya-Surat-Jalan-Djoko-Tjandra/>
Posisi kabinet dihadiahkan lebih banyak kepada berbagai kekuatan partai
politik pendukungnya serta mereka yang memiliki senjata. Kementerian
kesehatan, umpamanya, dipimpin oleh seorang dokter tentara yang oleh IDI
sendiri sempat dipertanyakan keprofesionalannya. Beliaulah antara lain
yang menjadi penyebab utama terlambat dan berlarutnya penanganan kasus
Pandemi Covid-19 di negeri ini, ketika negara-negara tetangga kita telah
menunjukkan keberhasilannya.
Saat berbagai negeri sedang sibuk meneliti dan berupaya mengembangkan
vaksin corona, beberapa lembaga dan bahkan sebuah kementerian memberi
kejutan dengan mengumumkan keberhasilan memproduksi obat, bahkan kalung
mujarab untuk penyembuh virus corona. Semua itu diumumkan secara terbuka
bahkan langsung diproduksi dengan kemasan yang menarik, dan presiden
kita diam, seakan merestui hasil hebat “penemuan” itu.
Perencanaan program kartu Pra Kerja yang kurang cermat berujung pada
dugaan pemahalan harga yang nyaris dinikmati oleh perusahaan milik
anak-anak muda yang keburu diangkat sebagai staf pembantu presiden, bila
masyarakat tidak sigap dan segera berteriak.
Begitu cepat setelah Jokowi dilantik, muncul berbagai Undang-Undang dan
Rancangan Undang-Undang baru yang bikin banyak pihak tersentak. Yang
utama adalah UU No. 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas UU KPK.
Meski telah terjadi berbagai protes dan keberatan atas UU tersebut,
Presiden tidak menggubrisnya. Inilah warisan (Legacy) utama yang akan
ditinggalkan Jokowi dalam pelemahan upaya pemberantasan korupsi, bila
Mahkamah Konstitusi nantinya menolak mengabulkan gugatan yang sedang
dalam proses.
Ada kesan konspirasi antara pemerintah dan DPR untuk menghasilkan
berbagai undang-undang secara kilat tanpa memperhatikan aspirasi dan
masukan dari publik. Ada RUU Omibus yang sedang dalam proses yang sangat
berpihak kepada investor dan nyaris tidak mencerminkan kepentingan
rakyat kecil. Juga banyak UU lain yang lolos yang menguntungkan hanya
sponsornya, seperti UU Minerba yang bahkan telah menimbulkan korban jiwa
dari anak mahasiswa yang demo protes.
Kasus penyiraman air keras kepada seorang penyidik KPK yang sudah
berlarut dibiarkan sejak periode 1, berakhir dengan berita sangat
mengejutkan. Peranan kejaksaan agung yang merupakan bawahan presiden,
tidak mencerminkan tugas sebenarnya sebagai penuntut umum yang mewakili
aspirasi rakyat tetapi lebih mengesankan sebagai pembela “terdakwa”.
Ujungnya, pada kasus besar yang mempunyai implikasi luas terhadap upaya
pemberantasan korupsi ini, terdakwa dihukum sangat ringan. Ada kesan
kuat para pengatur di belakang tindak kriminal ini telah dilindungi
identitasnya.
Belakangan masih ada lagi kasus-kasus yang mengesankan pembiaran oleh
pimpinan tertinggi negeri ini. Kasus menghilangnya Harun Masiku,
fungsionaris PDIP dalam dugaan permainan penggantian antar waktu (PAW)
anggota DPR. Kasus koruptor buron Djoko Tjandra yang dibiarkan
melenggang dengan bebas di ibu kota dan sampai saat tulisan ini
diterbitkan belum tertangkap.
Kasus lain yang baru terungkap antara lain adalah bagi-bagi jatah ekspor
benur Lobster oleh menteri kelautan baru yang mengantikan Susi
Pudjiastuti kepada konco-konconya. Inilah menteri baru yang membatalkan
beberapa kebijakan Susi, termasuk penenggelaman kapal kapal asing yang
mencuri ikan di laut kita.
Masih segar dalam ingatan kita ketika presiden pada pelantikan menjelang
jabatan periode keduanya antara lain mengatakan di hadapan sidang MPR,
20 Oktober 2019: “Saya juga minta kepada para menteri, para pejabat dan
birokrat, agar serius menjamin tercapainya tujuan program pembangunan.
Bagi yang tidak serius, saya tidak akan memberi ampun. Saya pastikan,
pasti saya copot.”
Belum berselang lama tersebar rekaman pidato presiden pada sidang
kabinet tertutup yang menunjukkan kemarahan beliau terhadap kinerja
menteri-menterinya dan lagi berjanji akan tidak ragu bertindak. Ketika
tindakan presiden dinanti-nanti, Menteri Sekretaris Negara justru
membantah dan menyampaikan tidak ada relevansi antara kegusaran presiden
dan rencana kocok ulang kabinet.
Kejutan terbaru pada saat saya menulis kolom ini adalah keputusan
presiden untuk menugasi Menteri Pertahanan, bukan Menteri Pertanian,
menggarap lumbung pangan. Alasannya, ketahanan pangan adalah bagian dari
ketahanan nasional.
Bagaimana dengan ketahanan keuangan, telekomunikasi, pendidikan, dan
lain sebagainya? Apakah ini juga bagian dari ketahanan nasional dan
perlu juga ditugaskan ke Menteri Pertahanan?
Semua itu ditambah lagi dengan sikap presiden sebagai seorang ayah yang
menduduki kekuasaan tertinggi di negeri ini, membiarkan putranya yang
masih hijau dan tidak berpengalaman, maju sebagai Calon Walikota Solo.
Presiden tidak berdaya membujuk putranya untuk sabar menanti lima tahun
lagi setelah selesai masa baktinya sehingga tidak ada spekulasi
macam-macam keterlibatan kekuasaan tertinggi negara dalam proses
pemilihannya.
Sesungguhnya banyak dari kami yang bertanya-tanya, apa sebenarnya yang
sedang terjadi pada seorang Jokowi yang pada periode pertama
menghasilkan prestasi yang cukup mengesankan? Bisa saja kita mengatakan
bahwa Jokowi yang bukan petinggi partai apa pun memerlukan segala macam
pembiaran itu. Karena bila tidak, maka rezimnya akan mengalami berbagai
kesulitan melaksanakan berbagai tugas tanpa dukungan kekuatan politik
yang nyata.
Tidak sadarkah beliau bahwa masa bulan madu dengan politisi pendukungnya
itu akan berumur tidak lebih lama dari dua tahun dari sekarang ketika
mereka akan ramai-ramai meninggalkan misi presiden dan berkonsentrasi
pada perebutan kekuasaan pada pemilu 2024?
Tidak lama setelah pelantikannya, Presiden Jokowi pernah mengungkapkan
bahwa beliau tidak punya beban lagi. Kami menafsirkannya karena setelah
2 periode beliau tidak akan maju lagi sebagai presiden.
Pada mulanya orang bernapas lega karena tidak berbeban itu ditafsirkan
sebagai tidak akan dapat disandera oleh kekuatan politik yang
mengusungnya. Kenyataannya, dari berbagai peristiwa yang disebut di
atas, “tidak berbeban” itu tampaknya bukan demikian maknanya, tetapi
lebih sebagai tidak peduli dan bebas dari beban gangguan aspirasi,
keberatan, serta protes dari rakyat pemilihnya.
Sebagai pendukung Jokowi, setelah memperhatikan begitu banyak kondisi
suram yang lepas kendali atau terkesan dibiarkan dalam waktu yang sangat
singkat, bahkan tidak sampai setahun dalam pemerintahan Jokowi periode
dua ini, khususnya kondisi penegakan hukum yang makin memprihatinkan,
sulit bagi saya untuk mengatakan bahwa dukungan saya kepada Presiden
Jokowi masih dapat dipertanggungjawabkan.
Sikap ini, saya rasakan, juga disuarakan oleh banyak pendukung lain yang
kecewa pada kinerja tahun pertama periode dua Jokowi yang mencuatkan
berbagai kejutan yang menimbulkan kerisauan.
Bila dalam waktu dekat tidak muncul tanda-tanda yang mengindikasikan
langkah-langkah nyata dalam rangka mengoreksi semua itu, maka akan
sangat sulit bagi orang seperti saya dan banyak pendukung lain untuk
bertahan sebagai barisan “pembela” Jokowi.
Tentu saja saya sama sekali tidak bermaksud mengatakan bahwa dukungan
atau penolakan saya dan kawan-kawan punya bobot politik dan pengaruh
terhadap nasib politik Jokowi ke depan. Tanpa kami pun Pak Jokowi bisa
jadi akan sukses besar karena pandangan kami ternyata keliru oleh sebab
ketidakmampuan kami menangkap apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Bila demikian, anggap saja tulisan pendek ini sebagai upaya meringankan
beban moral yang saya pikul dan sekaligus sebagai penyalur unek-unek.
Siapa tahu ada gunanya.
Semoga Tuhan memberi petunjuk kepada kita semua.
**) Penulis adala pengamat politik, Peminat dan pemerhati sosial,
politik, ekonomi, keagamaan. Believe in God, freedom, peace, and human
responsibility.*