Wah Maaf. Kiriman terpaksa saya ulang karena sebagian ulasan penting dari Faisal Basri pada kiriman yang lalu tertinggal. Salam.-
1.: HILLIRISASI NIKEL, FAISAL BASRI: INDONESIA CUMA DAPAT 5%, YANG 95% LARI KE CHINA https://news.demokrasi.co.id/hilirisasi-nikel-faisal-basri-indonesia-cuma-dapat-5-yang-95-lari-ke-china/ DEMOKRASI.CO.ID, JAKARTA – Ekonom senior Faisal Basri mengkritik kebijakan peningkatan nilai tambah pertambangan di Indonesia. Menurutnya, kebijakan ini masih dilakukan setengah hati. Dia menyoroti konsep hilirisasi pertambangan yang belum terintegrasi dengan pengembangan industri di dalam negeri. Jika memakai strategi industrialisasi, kata Faisal Basri, barang tambang yang diolah akan digunakan untuk pengembangan industri di Indonesia. Namun dengan konsep seperti sekarang, barang tambang yang belum diolah menjadi produk jadi pun sudah terhitung sebagai hilirisasi. Akibatnya, dia menyebut bahwa hilirisasi tambang di Indonesia malah menopang industri di negara lain. “Jadi hilirisasi itu untuk menopang industrialisasi di China. Sadar, nggak, sih, kita?” kata Faisal Basri dalam webinar yang digelar oleh Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Rabu (29/7/2020). Baca : Soal 500 TKA China Kembali Kerja di Sultra, Luhut: Tenaga Lokal Mana Cukup Faisal Basri memberikan gambaran tentang maraknya minat perusahaan China untuk mendirikan smelter di Indonesia, khususnya smelter nikel. Menurutnya, kebijakan hilirisasi saat ini lebih dominan menguntungkan para pengusaha smelter tersebut. Dia mencontohkan, perusahaan tambang lokal harus membayar bea ekspor dan juga royalti, tapi smelter tidak dikenakan. Perusahaan smelter pun bisa semakin banyak menumpuk laba karena tidak terbebani oleh pajak badan karena mendapatkan tax holiday. Terlebih, smelter pun bisa mendapatkan bahan baku berupa bijih atau ore nikel dengan harga yang sangat murah. Dengan berbagai fasilitas tersebut, perusahaan asal China lebih banyak mengantongi keuntungan jika membangun smelter di Indonesia ketimbang di negaranya. “Kalau mereka bangun smelter di China, mereka beli nikel ore dengan harga jauh lebih mahal. Kalau Indonesia harganya murah sekali. Labanya jauh lebih besar memindahkan smelter ke Indonesia. Kalau di negeri asalnya dia bayar PPN, macam-macam, di sini nggak,” terang Faisal Basri. (mulai bg yg ketinggalan): Lebih lanjut, Faisal Basri pun menyindir perlakuan terhadap pengusaha smelter, yang bahkan tetap bisa melenggang, membawa pekerja asing masuk ke Indonesia walaupun di tengah kondisi pandemi covid-19. “Katanya alih teknologi, traininglah,” ujarnya. Faisal Basri juga menilai, pelarangan ekspor bukan lah cara yang paling baik dalam kebijakan hilirisasi. Baginya, lebih baik ada perhitungan yang lebih jelas dan komprehensif tentang tarif ekspor yang optimal, untuk bisa mendistribusikan keuntungan bagi negara dan nilai tambah yang bisa dirasakan masyarakat. “Dalam konsep ekonomi, berapa sih nilai tambah yang diterima oleh warga Indonesia? Baik pekerja, penambang maupun pemerintah? 5%, 95% lari ke China,” lanjut Faisal Basri. Dia pun lantas mengkritisi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang dinilainya memiliki porsi besar dalam menentukan kebijakan hilirisasi pertambangan di Indonesia, seolah melebihi Menteri ESDM Arifin Tasrif. “Pak Luhut ngomongnya hilirisasi, hilirisasi. Wajib, wajib, wajib. Nanti yang untung siapa? Indonesia nggak dapat apa-apa. Saya enggak tahu sekarang menteri pertambangannya (ESDM) Pak Luhut atau Pak Tasrif. Karena yang lebih sering saya dengar adalah Pak Luhut,” kata Faisal.. Terkait dengan industrialisasi, dia pun berpandangan kebijakan hilirisasi tambang malah bertolak belakang dengan kondisi industri manufaktur di Indonesia yang terus terperosok. Menurutnya, Indonesia pun tidak menjadi bagian dari rantai supply global yang berbasis peningkatan nilai tambah. Faisal Basri pun menyoroti kepercayaan diri Luhut Binsar yang sangat yakin Indonesia bisa menjadi pabrik baterai terbesar di dunia, khususnya dalam industri mobil listrik. Pasalnya, industri baterai akan tumbuh di tempat yang sudah banyak menggunakan baterai atau mobil listrik. Faisal Basri tak yakin Indonesia benar-benar akan menjadi produsen baterai terbesar di Indonesia. “Mau bikin industri baterai terbesar di dunia, ya, hampir mustahil,” pungkas Faisal. [kontan] 2.: Soal 500 TKA China Kembali Kerja di Sultra, Luhut: Tenaga Lokal Mana Cukup DEMOKRASI.CO.ID, JAKARTA – Menteri Koordinasi Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan buka suara terkait dengan kehadiran tenaga kerja asing (TKA) China ke Indonesia tepatnya di di Konawe, Sultra. Ia menegaskan bahwa impor tenaga kerja asing dilakukan karena ketersediaan pekerja terampil yang kurang. “Kalian harus mendidik tenaga kerja lokal karena kita enggak punya cukup. Mana ada yang bisa cukup, di Konawe Utara mana yang cukup. Di Halmahera mana yang cukup? Kalau ada yang bilang cukup, datang ke saya,” ungkap Luhut dalam Webinar Investasi di Tengah Pandemi, Sabtu (25/7). Sebagaimana dikutip dari kumparan (26/07/2020). Sebagaimana diketahui, sebanyak 500 TKA dari China yang kembali bekerja di Konawe, Sultra. Menurut Luhut, seharusnya hal tersebut tidak dipermasalahkan oleh masyarakat. Karena kehadiran TKA itu justru akan membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat Indonesia. Baca : Prabowo Sudah Nyerah, Said Didu Tak Tertarik Bahas Putusan MA Luhut menjelaskan bahwa para TKA tersebut akan mendidik dan mencetak tenaga kerja baru asal Indonesia. Yang dicetak yaitu tenaga ahli, bukan tenaga kasar yang tidak punya skill khusus. “Kemarin ada datang 500 TKA. Anda tahu 500 ini ciptakan lapangan 5.000 ahli bukan lapangan kerja tukang pacul, tidak lapangan kerja operator,” tegas Luhut. 3.: Juli 8, 2020 oleh Uki Defendi LSI Denny JA: Awas Krisis Sosial, Saat Ini Publik seperti Rumput Kering yang Mudah Terbakar DEMOKRASI.CO.ID – Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA mengeluarkan tujuh rekomendasi untuk pemerintahan Presiden Joko Widodo, salah satunya peringatan kemungkinan lahirnya krisis sosial, dan berujung pada krisis politik imbas wabah virus corona yang tak kunjung berakhir. Rekomendasi dikeluarkan berdasarkan hasil survei terbaru yang dirilis kemarin, bahwa persepsi publik terhadap ekonomi telah berada di zona merah. “Hati-hati lahirnya krisis sosial, dan berujung pada krisis politik. Dengan persepsi publik terhadap ekonomi yang berada di zona merah, maka saat ini publik seperti rumput kering yang mudah dibakar. Diawali dengan krisis kesehatan, ditambah krisis ekonomi, maka bisa berubah menjadi krisis sosial dan krisis politik,” demikian rekomendasi pertama LSI Denny JA. Rekomendasi lain adalah menyarankan pemerintah lebih hati-hati dan menahan diri untuk mengeluarkan kebijakan yang tidak populer. Terutama kebijakan yang makin membebani ekonomi rakyat. Selanjutnya, LSI Denny JA merekomendasikan agar para elite yang berhadapan secara politik menunda dulu provokasi yang dapat membelah publik dan membuat mereka makin membara. “Aneka bantuan sosial yang sudah diprogramkan secepatnya disalurkan dan harus tepat sasaran. Karena survei ini menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat membutuhkan bantuan tersebut pada tingkat yang kritis. Terutama pada mereka yang berasal dari kelas ekonomi bawah,” demikian poin rekomendasi lain LSI Denny JA. LSI juga menyarankan pemerintah mengajak influencer di masyarakat bekerja secara massif untuk mencegah penyebaran virus corona. Saat new normal, LSI menyebut risiko penularan corona akan makin besar karena publik lebih aktif di ruang-ruang publik. Dalam kondisi demikian influencer elite harus dilibatkan untuk mengedukasi dan mengontrol protokol kesehatan. “Misalnya para pemuka agama menyerukan dipatuhinya protokol kesehatan pada rumah ibadah masing masing. Rumah ibadah menjadi salah satu tempat penularan virus corona yang tinggi,” ungkap LSI. Rekomendasi itu berdasarkan hasil survei terakhir yang dilakukannya secara tatap muka pada 8-15 Juni 2020 dengan menggunakan 8 ribu responden di 8 Provinsi di Indonesia. Hal ini meresponi juga kekhawatiran publik terhadap kondisi ekonomi di Indonesia selama masa pandemi. Sebelumnya, survei terbaru LSI Denny JA menemukan 74,8 persen responden menyatakan bahwa kondisi ekonomi mereka saat ini terpuruk jauh sebelum masa pandemi. Hanya 22,4 persen yang menyatakan bahwa kondisi perekonomiannya tidak berubah, dan 2,2 persen lainnya menyatakan kondisi ekonomi menjadi lebih baik selama krisis ini. Survei dilakukan secara tatap muka pada 8-15 Juni 2020, menggunakan 8.000 responden di 8 provinsi besar di Indonesia. Kedelepan provinsi tersebut yaitu Provinsi Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, dan Provinsi Bali. Margin of error (Moe) dalam ini adalah dikisaran plus minus 2.05 %. Selain survei, LSI Denny JA juga menggunakan riset kualitatif (analisis media dan indepth interview), untuk memperkuat temuan dan analisa. “Sepanjang LSI Denny JA melakukan survei opini publik sejak 2003, tak pernah ada kecemasan publik setinggi ini,” demikian penutup survei LSI Denny JA. “Pemerintah sebaiknya menghindari untuk membuat kebijakan yang makin memperburuk kondisi ekonomi warga. Kondisi masyarakat saat ini, ibarat rumput kering yang mudah terbakar. Persepsi publik berpotensi mengubah krisis kesehatan menjadi krisis sosial dan politik”. (*)
1.: |