75 Tahun Merdeka, Indonesia Semakin Terjajah Utang
Kamis 20 Agu 2020, Pukul 02:43 WIB
LAPORAN : RMOL NETWORK -

PADA pidato Nota Keuangan, kebiasaan kenegaraan menjelang Hari
Kemerdekaan 17 Agustus, disampaikan bahwa pemerintah mengganggarkan Rp
373,3 triliun untuk pembayaran bunga utang di tahun 2021. Anggaran
untuk pembayaran bunga utang tahun depan tersebut meningkat 10,2% dari
anggaran tahun 2020 yang sebesar Rp 338,8 triliun.

Sementara, besar utang jatuh tempo tahun 2020 adalah Rp 433,4 triliun.
Utang jatuh tempo adalah pokok dari utang, yang harus dibayar selain
bunga utang. Nilai utang jatuh tempo ini memang seolah “disembunyikan”
dari anggaran, tidak pernah disampaikan secara jelas dan tegas
-termasuk dalam pidato Nota Keuangan.

Utang jatuh tempo ini “disembunyikan” di dalam komponen pembiayaan
utang, bersama sub-komponen pembiayaan defisit dan pembiayaan
investasi. Artinya, untuk melunasi utang jatuh tempo, pemerintah
mengalokasikannya dari penerbitan surat utang baru, bukan dari pos
anggaran. Apakah ini benar? Faktanya tidak demikian.

Hakikatnya sama saja, baik bunga utang maupun utang jatuh tempo
sama-sama menjadi kewajiban pemerintah yang harus dibayar dengan pajak
rakyat.

Pemisahan komponen bunga utang, yang terlihat jelas di anggaran dan
dipidatokan, dan komponen utang jatuh tempo yang “tersembunyi” dan
tidak pernah dipidatokan, adalah trik dari pemerintah untuk memberi
kesan seolah kewajiban utang kita tidak sebesar itu.

Karena bila besaran bunga utang dan utang jatuh tempo tahun 2020
dijumlahkan, maka kewajiban pembayaran utang (debt service) tahun 2020
adalah sebesar Rp 772,2 triliun.

Bisa dipastikan kewajiban pembayaran utang merupakan pos terbesar di
anggaran, bila tidak dipisahkan oleh pemerintah.

Sekarang kita masuk kepada kemampuan membayar utang. BKF Kementerian
Keuangan memproyeksikan pendapatan pajak tahun 2020 adalah sebesar Rp
1.404 triliun (turun dari proyeksi sebelumnya sebesar Rp 1.462
triliun). Maka, untuk melunasi kewajiban pembayaran utang tahun 2020
yang sebesar Rp 772,2 triliun, dikuraslah 55% pendapatan pajak.

Sungguh memprihatinkan, lebih dari separuh (55%) pendapatan pajak habis
untuk kewajiban pembayaran utang. Sisa pendapatan pajak (45%) dan
pendapatan lainnya (nonpajak) itulah yang kemudian akan digunakan untuk
membiayai anggaran rutin dan pembangunan. Dan bila ternyata masih
kurang juga, pemerintah harus menerbitkan utang untuk membiayai
kekurangannya.

Seiring tren peningkatan pembayaran bunga utang (dari tahun 2020 ke
tahun 2021 meningkat 10,2%) akibat tingginya imbal hasil (yield) surat
utang pemerintah Indonesia, pendapatan pajak akan semakin terkuras ke
depannya.

Bila tidak ada kebijakan yang drastis dan cepat, bukan tidak mungkin
beberapa tahun lagi kewajiban pembayaran utang dapat menguras 3/4
pendapatan pajak kita. Dan akhirnya pada suatu masa nanti, seluruh
pendapatan pajak akan habis untuk membayar kewajiban utang.

Bila itu yang terjadi, Indonesia sudah benar-benar 100% terjajah utang.
Dalam kondisi yang genting seperti ini, kebijakan drastis apa yang
harus dilakukan? Tentu yang utama adalah renegosiasi utang.

Renegosiasi utang dapat dilakukan dengan debt to nature swapt dan debt
switching. Debt to nature swapt adalah menukar kewajiban utang
(pinjaman) ke negara-negara Barat dengan kewajiban pelestarian hutan.
Jadi pinjaman Indonesia akan diringankan atau dihapuskan oleh Negara
Barat bila Indonesia melestarikan hutannya.

Sementara debt switching adalah menukar surat utang bunga tinggi dengan
surat utang berbunga lebih rendah. Kebijakan ini sangat memungkinkan,
karena tren suku bunga di negara maju, negaranya para pemain pasar uang
terbesar, saat ini sedang mendekati nol dan bahkan negatif.

Kedua kebijakan tersebut sudah pernah dilakukan di masa lalu, dan
berhasil. Meskipun memang saat ini untuk melakukan kebijakan-kebijakan
drastis di atas, diperlukan pejabat yang berani dan memiliki kemampuan
bernegosiasi dengan siapapun, termasuk dengan Negara Maju dan para
pemain pasar keuangan global.

Bila pejabat keuangan, tim ekonomi pemerintah, masih seperti yang saat
ini, jangan coba-coba berharap banyak!

Gede Sandra
Penulis adalah analis ekonomi dan politik Pergerakan Kedaulatan Rakyat
(PKR)

Kirim email ke