-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>



https://news.detik.com/kolom/d-5141373/ancaman-resesi-dan-empati-birokrasi?tag_from=wp_cb_kolom_list


Kolom

Ancaman Resesi dan Empati Birokrasi

Bonataon M.T. Vincent Simandjorang - detikNews

Jumat, 21 Agu 2020 14:11 WIB
0 komentar
SHARE URL telah disalin
Indonesia Belum Resesi
Jakarta -

Dalam ibadah yang dilaksanakan virtual, saya menyaksikan seorang pendeta yang 
tua renta dengan kerelaan hati memotong gajinya, mengingat banyak jemaat yang 
turut susah ekonominya akibat pandemi Covid-19. Pada 18 Juni 2020, pemerintah 
Singapura turut menyatakan bahwa tidak ada bonus pertengahan tahun dan 
pemotongan satu bulan gaji bagi para aparatur sipil negara (ASN). Mereka juga 
telah melakukannya pada 2009 sebagai konsekuensi krisis ekonomi.

Covid-19: The Great Reset, buku yang dirilis pada Juli oleh Ketua Eksekutif 
World Economic Forum Klaus Schwab menyebutkan bahwa disrupsi bukan lagi oleh 
revolusi industri keempat. Covid-19 yang tak kasat mata telah menjadi disruptor 
besar dalam kehidupan, yang mendorong kita untuk melakukan penyetingan ulang 
(reset). Salah satunya pengelolaan keuangan negara.

Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah ketahanan fiskal menghadapi krisis 
ketidakpastian yang dihadapi seluruh negara. Pemberian THR dan Gaji ke-13 tahun 
ini tidak mengikutsertakan para pejabat negara dan pejabat pimpinan tinggi di 
pemerintahan. Kekhawatiran pemerintah begitu kronis dengan potensi rendahnya 
pertumbuhan ekonomi hingga menuju angka minus ke jurang resesi, dan kesehatan 
fiskal hingga defisit APBN direvisi menjadi 6,34%.

Apakah sesungguhnya Indonesia sudah kehabisan dana hingga muncul usulan untuk 
mencetak uang (helicopter money) dan gencarnya menerbitkan obligasi? Tentunya 
tidak semudah itu dan perlu kehati-hatian. Prinsip utama yang harus dipegang 
dalam pengelolaan keuangan hanya ada tiga, yakni tidak lebih besar pasak 
daripada tiang, menjalankan kecukupan, dan jujur.

Efektivitas Biaya Birokrasi

Pada 14 November 2019, Menteri Keuangan Sri Mulyani menemukan bahwa ada 
pemerintah daerah yang hampir 70% APBD-nya dihabiskan hanya untuk urusan 
pegawai dan pejabat. Sekitar 13,4% digunakan untuk perjalanan dinas dan 17,5% 
untuk jasa kantor. Belanja pegawai untuk gaji dan tunjangan berkisar 36%. 
Ironis, karena rakyat nyatanya hanya menikmati sekitar 30% saja yang disebabkan 
parasit yang menumpang hidup dalam birokrasi.

Belanja pegawai bahkan melebihi besaran alokasi wajib untuk pembangunan sektor 
pendidikan dan kesehatan. Ribuan triliun rupiah sudah dihabiskan untuk 
menunjang jalannya birokrasi, namun signifikansi dan efektivitas biaya terhadap 
beberapa indikator kemajuan birokrasi masih jauh tertinggal. Indeks efektivitas 
pemerintah pada 2018 masih di angka 59,13. Peringkat kemudahan berusaha turun 
menjadi ke-73, demikian dengan peringkat daya saing turut turun menjadi ke-50.

Kegagalan pemerintah juga terjadi pada beberapa target kuncinya dalam rencana 
pembangunan jangka menengah nasional 2015-2019, seperti tidak tercapainya 
pertumbuhan ekonomi 8%, dan rasio penerimaan pajak sebesar 16% dari produk 
domestik bruto.

Katastropik terbesar dalam penyelenggaraan negara dimulai dari krisis empati 
birokrasi terhadap rakyatnya. Dengan kemampuan anggaran yang terbatas, 
sejatinya pemerintah masih mampu mengalokasikan banyak dana untuk pemulihan 
ekonomi nasional dengan disiplin.

Resonansi Solidaritas

Pandemi Covid-19 adalah momentum tepat dalam melakukan transformasi birokrasi. 
Beberapa kontribusi alternatif cepat (quick wins) dapat dilakukan pemerintah 
pada sisa lima bulan berjalan tahun 2020 ini untuk berpartisipasi meringankan 
beban rakyat, bagaikan oase di tengah gurun.

Pertama, moratorium rekrutmen calon ASN dari jalur reguler dan sekolah 
kedinasan. Presiden perlu membatalkan rekrutmen ±150 ribu calon pegawai negeri 
sipil tahun anggaran 2019 yang akan dilanjutkan pada September ini. Hingga 
detik ini belum ada suatu kajian berapa jumlah ASN yang riil dibutuhkan sebagai 
akuntabilitas kepada publik. Perekrutan calon ASN perlu dilakukan dengan 
berbasis pada jabatan fungsional mitigasi dan adaptasi pandemi covid-19, 
seperti dokter, perawat, peneliti dan perekayasa medis, epidemiolog, serta 
ilmuwan data (data scientist).

Kedua, hentikan perjalanan dinas. Produktivitas di tengah pandemi tidak menurun 
meskipun aktivitas digantikan dengan rapat dan perjalanan dinas virtual melalui 
ragam aplikasi konferensi video daring seperti Zoom dan Google Meet. Perjalanan 
dinas di tengah pandemi yang belum usai akan turut memberikan resiko tinggi, 
tidak hanya kepada birokrat yang menjalankan, namun berpotensi membahayakan 
daerah kedatangan dan daerah asal. Belum ada urgensitas yang tinggi dalam 
melaksanakan perjalanan dinas di tengah bahaya Covid-19.

Ketiga, pemangkasan tunjangan kinerja. Hal ini perlu dilakukan mengingat 
kondisi negara yang sedang sulit secara pertumbuhan ekonomi dan kemampuan 
fiskal. Beberapa pemerintah daerah telah menjalankannya. Indonesia sudah 
sepatutnya mulai melakukan pemangkasan tunjangan kinerja yang disesuaikan 
dengan kondisi perekonomian.

Khusus bagi ASN yang terlibat langsung dalam penanganan Covid-19 seperti bidang 
medis dan farmasi menjadi pengecualian. Pemangkasan tunjangan kinerja menjadi 
cara baru mengedukasi publik bahwa ASN bukan profesi untuk kenyamanan hidup. 
Menjadi abdi negara tidak hanya dituntut untuk tahu kesulitan rakyat, namun 
mampu meresonansikan solidaritas dalam aksi nyata.

Ratusan triliun rupiah akan dapat dihemat dan dialihkan untuk memberikan 
tambahan dukungan melalui stimulus fiskal dari negara kepada rakyatnya, baik 
kepada individu, keluarga, atau badan usaha. Kemampuan keuangan dan daya beli 
masyarakat akan terjaga dengan mengalihkan belanja aparatur tersebut dalam 
bentuk konkret seperti subsidi iuran BPJS kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, 
kebutuhan pokok, pulsa internet, atau bantuan langsung tunai.

Kalimat 'bisa tapi sulit' atau 'sulit tapi bisa' ditentukan oleh pola pikir 
(mindset) pemerintah dalam menjalankan empati birokrasi. Filsuf ternama Thomas 
Jefferson (1774) menyebutkan bahwa keseluruhan seni dalam penyelenggaraan 
pemerintahan adalah menjadi satu, yakni seni untuk jujur. Pandemi Covid-19 
menjadikan pemerintah untuk berlaku jujur dan rasional dalam mengelola 
kemampuan kas anggarannya yang dititipkan oleh rakyat. Perekonomian dan 
kesehatan dapat simultan diselamatkan, citra birokrasi di mata rakyatnya pun 
penuh keanggunan.

Bonataon M.T. Vincent Simandjorang pengelola penelitian di Lembaga Administrasi 
Negara, Jakarta

(mmu/mmu)







Kirim email ke