-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>



https://news.detik.com/kolom/d-5152405/akhir-tragis-industri-pesawat-terbang-kita?tag_from=wp_cb_kolom_list





Kolom

Akhir Tragis Industri Pesawat Terbang Kita

Ricky Rachmadi - detikNews

Minggu, 30 Agu 2020 11:11 WIB
10 komentar
SHARE URL telah disalin
Pesawat N250 Gatotkaca karya Habibie tiba di Museum Dirgantara TNI AU Yogyakarta
Pesawat N-250 Gatotkaca tiba di Museum Dirgantara TNI AU Yogyakarta (Foto: Jauh 
Hari)
Jakarta -

Dengan kepandaian khasnya dalam berbicara di depan publik, di depan saudagar 
dan tokoh masyarakat Aceh, Presiden Soekarno mengatakan, "Saya tidak makan 
malam saat ini, kalau dana untuk itu tidak terkumpul".

Usai Presiden Soekarno berbicara, seorang pria muda berumur sekitar 30 tahun, M 
Djoened Joesof, berdiri dan berkata, "Saya bersedia!"

Langkah Djoened Joesof, Ketua Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (Gasida) 
itu pun diikuti peserta jamuan makam malam yang lain. Presiden Soekarno tentu 
saja tersenyum puas. Ia lalu mengajak hadirin beranjak ke meja makan guna 
santap malam.

Adegan di atas adalah bagian di antara cuplikan peristiwa yang terjadi di Hotel 
Atjeh, Banda Aceh pada 16 Juni 1948. Pada waktu itu Gasida mengadakan jamuan 
makan malam yang dihadiri banyak saudagar dan tokoh masyarakat Aceh, 
sebagaimana ditulis dalam buku Aceh Daerah Modal yang diterbitkan Yayasan 
Seulawah RI-001 tahun 1992. Kehadiran Soekarno sendiri pada waktu itu adalah 
bagian perjalanan sebagai upaya mengumpulkan dana perjuangan untuk pembelian 
pesawat terbang.

Kunjungan Presiden Soekarno di atas lantas berakhir dengan terkumpulnya uang 
sebesar 120.000 dolar Singapura dan 20 kilogram emas. Pengumpulan dana yang 
dimobilisasi Panitia Dana Dakota pimpinan Djoened Joesoef akhirnya bisa untuk 
membeli dua pesawat jenis Dakota milik seorang penerbang Amerika Mr JH Maupin 
di Hong Kong dengan kode pesawat VR-HEC. Pesawat ini mendarat di Maguwo, 
Yogyakarta dan diregistrasi dengan nama RI-001.

Dua pesawat itulah yang menjadi pesawat angkut pertama Indonesia dan cikal 
bakal lahirnya Garuda Indonesia.

Orang mungkin bisa memperpanjang sejarah dunia dirgantara kita jauh ke belakang 
sebelum masa kemerdekaan. Namun bagaimana pun peristiwa di Hotel Atjeh itu 
adalah tonggak penting dunia kedirgantaraan kita. Sebuah peristiwa ketika 
masyarakat dan pemerintah bahu-membahu membeli pesawat untuk kepentingan negara 
yang baru saja merdeka. Bukan hanya rakyat Aceh yang bangga dengan peristiwa 
tersebut, pemerintah Indonesia pun tidak lupa mengapresiasinya.

Bila Presiden Soekarno memberi nama RI-001 dengan nama "Seulawah", maka 
pelanjutnya Presiden Soeharto membuat monumen pesawat Seulawah untuk mengenang 
peristiwa ini di Lapangan Blang Padang, Banda Aceh. Lalu pesawat asli 
"Seulawah" disimpan di Taman Mini Indonesia Indah.

Namun perjalanan dunia Dirgantara Indonesia tidak berhenti sampai di peristiwa 
Hotel Atjeh. Presiden Soekarno yang dikenal mempunyai visi panjang dalam 
membangun Indonesia yang baru merdeka mengirim Nurtanio berserta ketiga 
rekannya ke Manili, Filipina untuk mengikuti studi kedirgantaraan di FEATI (Far 
Eastern Air Transport Incorporated).

Lalu pada 16 Desember 1961 mendirikan Lembaga Persiapan Industri Penerbangan 
(LAPIP), sebuah badan yang berada di bawah KASAU yang bertugas mempersiapkan 
industri Penerbangan nasional Indonesia. Bersama dengan CEKOP (Industri pesawat 
terbang Polandia) keduanya bekerja sama untuk membangun gedung untuk fasilitas 
manufaktur pesawat terbang, pelatihan SDM, dan memproduksi PZL-104 Wilge di 
bawah lisensi Gelatik.

Tidak cukup sampai di sini. Empat tahun kemudian, pada 1965, Presiden 
mengeluarkan dekrit pendirian KOPERLAPIP (Komando Pelaksana Industri Pesawat 
Terbang) dan PN Industri Pesawat Terbang Berdikari. Setahun kemudian, kedua 
lembaga ini digabung menjadi LIPNUR atau Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio.

Setelah masa kepemimpinan Presiden Soekarno berakhir dan dilanjutkan oleh 
kepemimpinan Presiden Soeharto, perhatian pemerintah Indonesia terhadap 
Industri Dirgantara nasional tidaklah kendur. Meski kedua pemimpin/agenda 
pemerintahan itu dikenal bertolak belakang dan tokoh-tokohnya terlibat banyak 
perseteruan politik.

Bila Presiden Soekarno mengirim Nurtanio dan teman-temannya ke Manila untuk 
mempelajari industri dirgantara, maka Presiden Soeharto memanggil pulang BJ 
Habibie ke Indonesia untuk membangun industri dirgantara nasional. Habibie 
waktu itu dikenal sebagai pakar pesawat cemerlang yang sangat disegani di 
Jerman. Namun karena panggilan untuk mengabdi di negeri sendiri, ia melepaskan 
segala privilese yang dia dapatkan di Jerman.

Atas dukungan penuh Presiden Soeharto, Habibie merombak LIPNUR menjadi IPTN, 
Industri Pesawat Terbang Nusantara. Inilah yang kemudian dikenal sebagai 
industri pesawat terbang termaju di negara berkembang.

Menyadari bahwa membangun industri pesawat terbang Nusantara itu membutuhkan 
proses panjang dan transfer teknologi dari negara-negara maju, maka pada 
awal-awal pengembangan IPTN, Habibie menggandeng kerja sama dengan CASA, sebuah 
industri pesawat terbang dari Spanyol yakni Construcciones Aeronáuticas SA. 
Dari kerja sama inilah lahir pesawat CN-235. Sebuah pesawat penumpang sipil 
(airliner) kelas menengah bermesin dua.

Pesawat bernama sandi Tetuka itui telah menjadi pesawat paling laku di 
kelasnya. Karena pesawat itu merupakan proyek kerja sama antara CASA dan 
Nurtanio, maka kode pesawatnya pun disebut "CN".

Berikutnya, IPTN tidak lagi menyandarkan kerja sama dengan negara maju dalam 
membuat pesawat terbang. IPTN mencoba berdiri sendiri untuk membuat pesawat 
terbang. Maka lahirlah pesawat N-250.

Berbeda dengan sebelumnya yang mempunyai kode CN, kode pesawat ini "N" saja 
yang berarti Nusantara atau Nurtanio. N-250 sendiri adalah pesawat penumpang 
sipil yang menjadi primadona IPTN untuk merebut pasar di kelas 50-70 penumpang 
yang diluncurkan pada Indonesia Air Show 1996 di Cengkareng.

Sebagaimana diketahui, setahun setelah peluncuran pesawat itu, Indonesia 
dilanda krisis moneter yang berimbas pada krisis politik sehingga Presiden 
Soeharto pada akhirnya jatuh. Bagi industri pesawat terbang, krisis ini tidak 
hanya berimplikasi secara ekonomi, tapi juga politik.

Secara ekonomi, industri pesawat terbang tidak lagi mendapat dukungan keuangan 
negara. Sehingga IPTN terpaksa harus merumahkan sekitar 4.000 karyawannya. 
Sementara secara politik, IPTN tidak lagi mendapat sokongan pemerintah.

Mematuhi MoU dengan IMF, pemberi pinjaman untuk mengeluarkan Indonesia dari 
krisis, pemerintah Indonesia terpaksa mengeluarkan proyek industri pesawat 
terbang nasional sebagai bagian dari penyelamatan ekonomi.

Namun sebagaimana Orde Lama yang tidak menjadikan situasi sulit dalam 
mempertahankan kemerdekaan sebagai alasan untuk tidak mengembangkan industri 
pesawat terbang, begitu juga dengan pasca pemerintah setelah Orde Baru. Meski 
masih dalam masa recovery, setahap demi setahap industri pesawat terbang 
Nusantara dicoba dipulihkan. Seperti dengan mengubah nama PT IPTN menjadi PT DI 
(Dirgantara Indonesia).

Dan, empat tahun setelah krisis, PT DI mulai dipercayai negara-negara seperti 
Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam, Korea Selatan, serta Filipina untuk 
melaksanakan beberapa proyek kedirgantaraan mereka.

Meski efek krisis ekonomi 1998 telah membuat PT DI diputus pailit oleh 
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tapi upaya Hukum yang serius dari PT DI telah 
membuat keputusan pailit tersebut dibatalkan. Puncak kebangkitan adalah ketika 
PT DI sendiri adalah ketika pada 2012 bisa mengirimkan 4 pesawat CN-235 pesanan 
Korea Selatan dan menyelesaikan 3 pesawat CN-235 pesanan TNI AL dan 24 Heli 
Super Puma dari EUROCOPTER.

Kebangkitan PT DI pada saat itu tidak bisa dilepaskan dari kebijakan 
pemerintah. Selain memberikan dukungan dana, pemerintah juga menggunakan 
kebijakan afirmasi berupa pemesanan pesawat militer ke PT DI.

Setelah berjibaku melepaskan diri dari krisis sekaligus ingin membangun kembali 
industri pesawat terbang nasional, PT DI kemudian bisa me-launching produk baru 
mereka yaitu N-219. Sebuah pesawat penumpang serbaguna untuk 19 penumpang yang 
bisa mendarat di landasan pendek. Sehingga sangat cocok untuk Indonesia yang 
memiliki daerah-daerah terpencil.

Beriringan dengan geliat PT DI untuk membangkitkan kembali industri dirgantara 
nasional, pihak swasta melalui PT Regio Aviasi Industri yang didirikan Habibie 
memperkenalkan pesawat untuk jenis baru R-80. Pesawat komersil jarak pendek 
berkapasitas 80-92 penumpang, irit bahan bakar, dan kelasnya belum ada di 
pasaran.

Meski belum dibuat, R-80 sudah dipesan 155 unit oleh Nam Air, Kalstar, Trigana 
Air, dan Aviastar. Karenanya tidak aneh bila R-80 menjadi bagian dari proyek 
strategis nasional.

Bila kita melihat kembali bagaimana cara Indonesia mulai membangun industri 
dirgantara nasional serta sikapnya menghadapi kejatuhan ketika industri 
dirgantara terimbas krisis moneter, maka kita tetap sangat percaya diri akan 
kemajuan industri dirgantara. Pasalnya, Indonesia yakin bahwa kelak negeri ini 
akan mempunyai industri pesawat terbang setara Boeing atau Air Bus.

Dari peristiwa di tanah Aceh, kita melihat dan telah berjuang untuk upaya 
memulai industri pesawat terbang. Pascakrisis moneter yang membuat IPTN ambruk, 
kita berhasil memulihkan keadaan yang mendera.

Namun akhir-akhir ini, kepercayaan diri kita akan masa depan industri pesawat 
terbang Nusantara seperti hilang harapan. Mulanya adalah wabah Covid-19 yang 
menjadi alasan dikeluarkannya R-80 sebagai bagian dari proyek strategis 
nasional. Langkah ini diambil ketika pemerintah lebih memberikan perhatian 
terhadap recovery ekonomi karena pandemi Covid19, tapi bukan mengatasi 
pandeminya itu sendiri.

Terakhir adalah ketika N-250 yang menjadi karya anak bangsa, setelah berjibaku 
sedemikian rupa untuk bisa menciptakan pesawat sendiri, hanya berujung di 
museum. Bukan diperbaiki, dimodernisasi, apalagi diproduksi secara massal 
termasuk dipromosikan secara besar-besaran dan dibuat lebih beragam untuk 
kebangkitan ekonomi dan kepercayaan diri bangsa ini.

Ironisnya, alih-alih dikembangkan dan bahkan produktivitas karya-karyanya 
dipertaruhkan sebagai karya genuine anak bangsa, warisan Habibie itu malah kini 
masuk ke keranjang museum. Menyedihkan!

Ricky Rachmadi, SH, MH mantan Pemimpin Redaksi HU Suara Karya, kini Ketua 
Lembaga Informasi dan Komunikasi DPP Partai Golkar

(mmu/mmu)









Kirim email ke