KONSEP IBNU SINA DALAM MENGHADAPI PANDEMI

       Baru-baru ini viral di medsos film berbahasa Rusia berdurasi 4
menit, menceritakan metode Ibnu Sina dalam menghadapi pandemi.

    Film Avicenna (Ibnu Sina) yang diproduksi oleh Rusia di masa Uni Soviet
pada tahun 1956, disutradarai Gregory Cooperschmitt, telah menghebokan
Facebook dan WhatsApp, bukan saja di Indonesia, tetapi juga di berbagai
negara, terutama di Timur Tengah, sebagaimana dilansir dalam berbagai surat
kabar on line antara lain  el-Syuruuq, el-Syarq, el-Quds el-Araby,
el-Bilad, dan el Qabas.

        Dalam film itu dijelaskan tentang kejeniusan Ibnu Sina, dan
pengetahuannya tentang seluk beluk dunia medis, terutama karena informasi
dan diagnosisnya yang sangat akurat tentang Wabah Hitam (Black Death)  yang
waktu itu menewaskan jutaan orang.

        Apa yang disampaikan lbnu Sina sangat mirip dengan gejala penularan
corona serta metode untuk mengatasinya.

       Abu ʿAli al-Ḥusayn ibn ʿAbdillah ibn Sina  dikenal dengan Ibnu Sina
(980-1037) dikenal juga sebagai  Avicenna  di dunia Barat adalah seorang
filsuf, ilmuwan, dan dokter kelahiran Persia (sekarang Iran).

      Karyanya yang sangat monumental adalah Al-Syifa (Penyembuhan, terdiri
dari 18 jilid berisi tentang berbagai macam ilmu pengetahuan) dan  Al-Qānūn
fī al-Ṭibb (Canon of Medicine, Aturan Pengobatan)  yang merupakan rujukan
di bidang kedokteran selama berabad-abad.

   Orang Barat menyebut Ibnu Sina  dengan panggilan  the Prince of Doctors
(Pangeran para dokter)  dan  the Father of Modern Medicine in the Middle
Ages (Bapak Kedokteran Moderen di Abad Pertengahan).

       Dalam salah satu adegan film itu, Ibnu Sina dan murid-muridnya pergi
menemui seorang ulama, Abu al-Rayhan al-Bīrūni.
       Ini adalah pertemuan kali yang pertama di antara mereka.

     Al-Bīrūni menyambut  Ibnu Sina dengan dua tangan terbuka untuk
memeluknya, tetapi Ibnu Sina  mundur dan menolak menyentuhnya, ia minta
disediakan pakaian baru untuknya dan orang-orang yang menyertainya, serta
minta mangkuk dengan larutan cuka untuk mencuci tangan dan wajah mereka.

      Apa yang disampaikan Ibnu Sina ini merupakan protokol kesehatan yang
tidak jauh berbeda dengan tata-cara mencegah infeksi virus Corona pada masa
sekarang ini, di samping penggunaan sabun atau etil alkohol (alkohol murni)
untuk membunuh virus.

      Al-Bīrūni terkejut dengan permintaan Ibnu Sina tersebut seraya
bertanya kepadanya: “Ini tradisi bangsa mana ?

    Ibn Sina menjawab:  “Tradisi ini harus berlaku di negara-negara tempat
“Wabah Hitam” (Black Death ) bersembunyi.”

     Ibnu Sina menyadari bahwa sulit bagi publik untuk berurusan dengan
virus yang tidak mereka lihat.

    Ia berbicara hal tersebut ketika mikroskop dan cara melihat virus tidak
dikenal seperti sekarang ini.

     Namun demikian, Ibnu Sina telah mengidentifikasi virus ke
murid-muridnya dengan sangat tepat, seolah-olah ia memiliki laboratorium
ilmiah modern.
Ia mengetahui bahwa semua penyakit menular disebabkan oleh kāināt daqīqah
(mikroorganisme) yang tidak dapat dilihat, dan bisa menempel pada apa saja
seperti pakaian, wajah, tangan, dan rambut.

      Dalam adegan lainnya, Ibn Sina menjelaskan kepada sahabatnya bahwa
tidak usah takut menghadapi wabah ini, tetapi hadapilah dengan suka cita
dan kegembiraan, karena wabah itu tidak takut kepada pengecut dan penakut.

    Berbagai inovasinya, sebetulnya, selaras dengan ilmu pengetahuan
modern, antara lain, bahwa pasien dalam kondisi sikap mental yang optimis,
lebih cepat merespon pengobatan dari pada pasien yang takut karena panik.

      Rasa takut, secara signifikan dapat melemahkan imunitas atau
kekebalan tubuh.

    Dia menjelaskan pula, bahwa wabah itu disebabkan oleh partikel yang
tidak terlihat oleh mata telanjang, menembus udara, rambut, pakaian, dan
sentuhan, serta ditularkan melalui gesekan antar manusia.

    Sehubungan dengan hal di atas, Ibnu Sina menyampaikan kata mutiaranya:

   اَلوَهْمُ نِصْفُ الدَاءِ، وَالإطْمِئْنَانُ نِصْفُ الدَوَاءِ، وَالصَبْرُ
بِدَايَةُ الشِفَاءِ

   al-wahm nişfud-dā-i, wal-ițmi’nān nişfud-dawā-i, wal-şabr bidāyah
al-syifā

       Delusi (serba khawatir) adalah separuh penyakit, ketenangan adalah
separuh pengobatan, dan kesabaran adalah awal dari kesembuhan.

       Di samping tidak boleh takut kepada penyakit, dalam film itu Ibnu
Sina juga menerangkan cara pencegahan wabah lainnya, yaitu yang
bersangkutan harus menjauhi kerumunan manusia, uang harus disterilkan
dengan air cuka, masjid dan pasar harus ditutup sementara, sehingga setiap
orang shalat di rumahnya masing-masing, agar rantai penyebaran infeksi
tidak berlanjut.

       Di samping itu, dokter dan paramedis yang merawat pasien, agar
mensterilkan hidungnya dengan kapas yang direndam dalam cuka dan mengunyah
 auraq al-syaikh (semacam daun-daunan),  yang semuanya ini baru dikenali
oleh orang-orang setelah wabah pandemi Corona menyebar ke berbagai negeri.

    Pada masa Corona sekarang ini, yakni hampir seribu tahun setelah  Ibnu
Sina wafat, kita baru menyadari bahwa kosep dan inovasi Ibnu Sina sudah
digunakan dalam pengendalian penyebaran Corona di berbagai negara di dunia.

   Dahulu, Ibn Sina pernah curiga ada beberapa penyakit ditularkan oleh
mikroba, maka untuk mencegah infeksinya di antara sesama manusia, ia
menemukan metode dengan mengisolasi yang bersangkutan selama 40 hari.

      Metode ini dia sebut  al-arba’iniyyat* (40 harian) lalu dikenal dalam
bahasa Itali dengan quarantine lalu diserap dalam bahasa Indonesia menjadi
karantina.

      Karena kemajuan ilmu kedokteran, untuk masa sekarang ini karantina
lazimnya dilakukan selama 14 hari.

     Dari film yang berdurasi relatif pendek itu, kita mendapat informasi
yang sangat berharga.

        Bahwa ilmu kedokteran yang dikembangkan ahli medis muslim di abad
pertengahan pernah mempengaruhi dunia kedokteran terutama di daratan Eropa.

    Inovasi-inovasi Ibnu Sina dalam bidang medis terutama dalam usahanya
membatasi penyebaran wabah, sangat relevan untuk digunakan pada upaya
pembatasan penyebaran Corona masa sekarang ini.

    Apa yang diinisiasi oleh Pemerintah dan WHO tentang physical/social
distancing, menggunakan masker, menghindari kerumunan orang, cuci tangan,
dan karantina mandiri tidak usah diperdebatkan, tetapi untuk segera
dilaksanakan, sehingga bangsa Indonesia ini bisa segera mengendalikan
korban yang berjatuhan, dan dapat mengakhiri covid-19 dengan sesegera
mungkin. Amin.
____
Prof. Dr. Syihabuddin Qalyubi, Lc., M.Ag, Guru Besar Fakultas Adab dan Ilmu
Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Kirim email ke