-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>



https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1929-pilkada-pesta-duit




Senin 07 September 2020, 05:00 WIB 

Pilkada Pesta Duit 

Gaudensius Suhardi Dewan Redaksi Media Group | Editorial

  Pilkada Pesta Duit MI/Ebet Gaudensius Suhardi Dewan Redaksi Media Group. 
PILKADA 2020 menjadi ajang pesta. Bukan cuma pesta demokrasi untuk merayakan 
kedaulatan rakyat, melainkan juga menjadi pesta duit yang mengalir sampai jauh. 
Sumber duit ada yang resmi, tentu ada juga yang tidak resmi. Dana resmi sebesar 
Rp20 triliun. Rinciannya, duit APBD 270 daerah yang menggelar pilkada sekitar 
Rp15 triliun. Ada juga dana tambahan yang berasal dari APBN sebesar Rp5 
triliun. Dana tambahan tersebut digunakan untuk membelanjakan perlengkapan 
protokol kesehatan selama Pilkada 2020 berlangsung. Dana resmi itu sesungguhnya 
berasal dari hasil peras keringat rakyat yang membayar pajak. Tidaklah 
berlebihan bila rakyat berharap agar penggunaan dana itu tepat sasaran. 
Sementara itu, biaya tidak resmi ialah duit yang dikeluarkan pasangan calon 
untuk membiayai proses pencalonan. Biaya dikeluarkan mulai pencalonan di 
tingkat partai untuk membayar mahar sampai uang untuk membiayai sosialisasi. 
Pada saat pilkada digelar, pasangan calon juga mengeluarkan duit untuk 
membiayai saksi. Hampir tidak ada calon yang mengeluarkan duit dari kantong 
sendiri semata. Ia juga mengandalkan sumbangan pengusaha. Lazimnya, pengusaha 
di daerah menyumbang semua calon meski besarannya berbeda-beda sesuai tingkat 
keterpilihan. Seorang calon petahana menceritakan bahwa pengusaha tahu diri. 
Tanpa diminta, pengusaha tahu cara membalas budi setelah mengerjakan 
proyek-proyek milik pemerintah. Cerita seorang kontraktor di daerah Kalimantan 
membenarkan hal itu. Ia mengatakan dirinya menyumbang semua calon meski untuk 
petahana nominalnya lebih besar. “Saya sudah mendapatkan jaminan untuk tetap 
menjadi proyek pemerintah asalkan menyumbang petahana,” kata kontraktor itu. 
Penuturan petahana dan kontraktor itu terkonfi rmasi dalam hasil studi Komisi 
Pemberantasan Korupsi (2015). Empat harapan utama donatur saat menyumbang yang 
dipahami para calon ialah kemudahan perizinan dalam bisnis (65,7%), kemudahan 
terlibat dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah (64,7%), keamanan dalam 
menjalankan bisnis (61,5%), dan kemudahan akses untuk menjabat di pemerintah 
daerah/BUMD (60,1%). Pilkada sebagai pesta rakyat memang mahal, bahkan sangat 
mahal dari sisi ekonomi. Namun, inilah ongkos yang berapa pun mahalnya harus 
dibayar bangsa ini demi tercapainya dan terpeliharanya demokrasi lokal. Robert 
A Dahl mengatakan, demokratisasi di tingkat nasional hanya terbangun jika 
demokrasi berlangsung pada tingkat lokal. Inti pilkada ialah kedaulatan di 
tangan rakyat. Melalui pilkada itulah, berbagai pilihan, baik ide maupun orang, 
ditampilkan dan dipertandingkan di hadapan rakyat. Lalu, rakyat dengan bebas 
mengambil keputusan yang menentukan bagi hidupnya sebagai warga daerah maupun 
jalannya pemerintahan untuk lima tahun ke depan. Sudah sepatutnya para calon 
menghormati kedaulatan rakyat dengan mematuhi semua peraturan, termasuk 
protokol kesehatan. Sangat disayangkan, pendaftaran pasangan calon pada 4-6 
September justru sarat pelanggaran. Meski dilarang, arak-arakan dan kerumunan 
massa masif terjadi. Teori dramaturgi Erving Goffman membantu memahami penyebab 
terjadinya pelanggaran. Pendaftaran itu sebagai panggung depan untuk 
memanipulasi kekaguman publik. Arak-arakan dan kerumunan massa itu untuk 
menciptakan kesan bahwa pasangan yang mendaftar itu didukung mayoritas rakyat 
padahal di panggung belakang, bisa jadi, pasangan itu tidak didukung rakyat. 
Benarlah kata Ernst Cassirer bahwa manusia itu makhluk pengguna simbol, bukan 
semata rasional. Bila pasangan calon yang mendaftar itu rasional, mestinya 
kegiatan arakarakan dan kerumunan massa itu dihindari karena berpotensi menjadi 
klaster baru penyebaran covid-19. Sanksi atas pelanggaran pun mestinya tidak 
perlu menggunakan ancaman hukuman pidana. Paling efektif ialah sanksi sosial 
sesuai Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2020. Bila perlu diumumkan secara 
terbuka di media massa pasangan mana saja yang telah melanggar protokol 
kesehatan. Penyelenggara pilkada sudah waktunya mengantisipasi pelanggaran yang 
lebih masif lagi pada saat kampanye. Jika tidak mampu mencegah pilkada sebagai 
klaster baru penyebaran covid-19, percuma saja negara mengucurkan dana tambahan 
Rp5 triliun. Paling penting lagi ialah pemilih perlu memberi sanksi kepada 
pasangan calon yang mengabaikan dengan kesadaran penuh protokol kesehatan. 
Pasangan seperti itu jangan dipilih karena tidak pantas untuk memimpin daerah. 
 

Sumber: 
https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1929-pilkada-pesta-duit








Kirim email ke