https://pinterpolitik.com/luhut-dan-mimpi-ala-tiongkok-1
Luhut dan Mimpi ala Tiongkok
A43<https://pinterpolitik.com/author/a43-162>-Tuesday, September 8, 2020
21:30
/Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves)
Luhut Binsar Pandjaitan. (Foto: Antara)/
/8 min read/
*Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko
Marves) Luhut Binsar Pandjaitan sebut bahwa dirinya memiliki
mimpi besar terkait masa depan Indonesia. Bagaimanakah mimpi ini
diterjemahkan dalam arah kebijakan dan politik pemerintahan Joko
Widodo (Jokowi)?*
------------------------------------------------------------------------
*PinterPolitik.com <http://pinterpolitik.com/>*
“Mimpi adalah kunci untuk kita menaklukkan dunia” – Nidji, grup band
asal Indonesia
Siapa yang tidak pernah nonton film/Laskar Pelangi/(2008) yang
disutradarai oleh Riri Riza? Film Indonesia satu ini sampai menjadi
populer di banyak negara. Berbagai festival film juga menayangkan film
tersebut.
<<Laskar Pelangi>> 2008 *https://www.youtube.com/watch?v=1txK-mYB4XA*
Film yang didasarkan pada novel dengan judul yang sama ini mengisahkan
sekelompok anak Belitung yang mengenyam pendidikan di sebuah sekolah
kecil. Bahkan, sebagian dari mereka harus berjuang guna berangkat menuju
sekolah.
Mungkin, bisa dibilang, kehidupan mereka tidak seperti yang diimpikan
oleh banyak orang. Namun, banyak pihak menilai film itu mengajari kita
untuk terus berjuang dan bermimpi akan masa depan yang lebih baik.
Tidak hanya film tersebut, pesan yang senada juga diungkapkan dalam film
lanjutannya yang berjudul/Sang Pemimpi/(2009). Film tersebut mengisahkan
anak-anak yang sama ketika mengenyam pendidikan di tingkat lebih lanjut.
Boleh jadi, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko
Marves) Luhut Binsar Pandjaitan pernah menonton dua film tersebut.
Pasalnya, mantan Kepala Staf Kepresidenan tersebut menyebutkan bahwa
dirinya memiliki mimpi besar terhadap masa depan Indonesia.
Dalam sebuah*wawancara
<https://asiatimes.com/2020/09/man-with-the-plan-for-a-richer-indonesia/>*yang
dilakukan oleh John McBeth dari Asia Times, Luhut menyatakan bahwa
Indonesia suatu hari nanti akan menjadi negara yang kuat dan kaya.
Tulisan tersebut juga menyebutkan sejumlah upaya Menko Marves untuk
menggapai mimpi tersebut.
Beberapa di antaranya adalah dengan mendorong pembangunan/smelter/yang
mengolah bijih nikel. Pemerintah Indonesia memang dinilai tengah
berusaha membatasi ekspor bijih nikel mentah – dengan menerapkan
sejumlah larangan ekspor mineral mentah.
Selain itu, Luhut juga disebut tengah mendorong pembangunan industri
mobil listrik dan pembangkit listrik. Beberapa investasi proyek juga
dikabarkan telah disepakati dengan berbagai perusahaan dari sejumlah
negara, seperti Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Korea Selatan (Korsel).
Meski begitu, bukan tidak mungkin, mimpi yang diungkapkan Luhut untuk
Indonesia ini memiliki pengaruh terhadap arah kebijakan dan politik
pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Lantas, bagaimana mimpi Luhut dapat
berdampak pada Indonesia? Kemudian, bagaimana caranya pemerintah
mewujudkan mimpi tersebut?
*/American Dream/***
Setiap orang pasti memiliki mimpi, entah itu rakyat biasa atau pejabat
pemerintahan. Namun, mimpi juga dapat menjadi komponen penting dalam
kehidupan, termasuk dalam kehidupan politik dalam berbangsa dan bernegara.
Mimpi akan kesuksesan dan kemajuan di masa depan seperti ini bisa kita
amati di Amerika Serikat (AS). Negara adidaya ini kerap dikenal sebagai
tanah kebebasan bagi siapa saja yang memiliki mimpi.
Terdapat sebuah istilah yang kerap digunakan untuk menggambarkan
bagaimana mimpi dijunjung tinggi di AS. Istilah tersebut dikenal sebagai
“/American Dream/”.
Pada umumnya, mimpi ala AS ini menekankan pada pemahaman bahwa negara
Paman Sam merupakan tempat di mana kesempatan yang setara melimpah bagi
siapa saja yang mau meraihnya. Kesuksesan personal disebut dapat digapai
dengan usaha dan kemauan yang keras.
Setidaknya, pemahaman itulah yang diungkapkan oleh Mark Robert Rank,
Thomas A. Hirschl, dan Kirk A. Foster dalam*buku mereka
<https://books.google.co.id/books?id=WszQAgAAQBAJ&source=gbs_navlinks_s>*yang
berjudul/Chasing the American Dream/. Mimpi ala AS ini menekankan pada
konsep petualangan (/journey/) atas suatu negara maupun kehidupan seseorang.
Konsep mimpi ala AS ini juga sebenarnya berakar dari identitas
kebangsaan yang ditanamkan oleh pemikir-pemikir AS di masa lampau. Salah
satunya adalah James Truslow Adams yang menjadi pencetus istilah
tersebut pada tahun 1931.
Adams menempatkan konsep ini sebagai nilai yang sentral terhadap
identitas nasional AS. Nilai kebebasan yang dibawa oleh/American
Dream/setidaknya membedakan negara Paman Sam dengan peradaban-peradaban
lainnya.
Mimpi ala AS ini dianggap membebaskan masyarakat AS dari belenggu dan
hambatan guna memenuhi mimpi dan keinginan personal masing-masing –
entah dari kelompok atau kelas mana pun. Mimpi/American Dream/ini juga
masih diyakini di masa kontemporer.
Mantan Presiden AS Barack Obama, misalnya,*menuangkan
<https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0021934707305431>*konsep
mimpi ala AS ini dalam bukunya yang berjudul/The Audacity of Hope/.
Menurut Obama,/American Dream/menjadi dasar bagi kehebatan AS, yakni
kesetaraan kesempatan bagi siapa saja.
Selain itu,/American Dream/dianggap juga memiliki kontribusi bagi
perkembangan ekonomi AS. Hal ini terlihat dari bagaimana ledakan ekonomi
terjadi di negara tersebut, khususnya sebelum tahun 1970-an.
Presiden AS Dwight D. Eisenhower, misalnya, pada tahun 1958
menyebutkan/American Dream/sebagai gambaran atas kenyamanan kelas
menengah, seperti memiliki rumah, memiliki dua mobil, hingga kecukupan
pangan. Visi kesejahteraan kerap mengisi gambaran atas masyarakat AS.
Bila berkaca pada/American Dream/, bagaimana dengan mimpi Luhut akan
kemajuan Indonesia di masa depan? Apakah mimpi sang Menko Marves mirip
dengan mimpi ala AS tersebut?
*/Chinese Dream/***
Bila berkaca pada/American Dream/, bukan tidak mungkin Indonesia juga
memiliki mimpi serupa. Lagi pula, banyak orang Indonesia yang ingin
negara ini menjadi negara yang kaya dan kuat.
Namun, mimpi yang diungkapkan oleh Luhut dalam wawancaranya tersebut
bukan sekali saja datang dari seorang pejabat atau pemimpin negara. Di
negara lain, yakni Republik Rakyat Tiongkok (RRT), mimpi serupa juga
pernah datang.
Mantan pemimpin tertinggi Tiongkok yang bernama Deng Xiaoping, misalnya,
memiliki mimpi yang besar akan negaranya. Bahkan, mimpi ala Deng
tersebut menjadi dasar bagi mimpi-mimpi ala Tiongkok yang dibawa oleh
pemimpin-pemimpin penerusnya.
Sebenarnya, mimpi ala Tiongkok – biasa disebut/Chinese Dream/– dimiliki
oleh setiap pemimpin negara tersebut. Presiden Tiongkok Xi Jinping,
misalnya, juga menerapkan/Chinese Dream/dalam pemerintahannya.
Lantas, apa yang membuat mimpi Deng menjadi berbeda? Sebenarnya, apa
mimpi yang dibawa oleh mantan pemimpin tertinggi Tiongkok tersebut?
Zheng Wang dari Seton Hall University dalam*tulisannya
<https://thediplomat.com/2013/09/the-chinese-dream-from-mao-to-xi/>*yang
berjudul/The Chinese Dream From Mao to Xi/menjelaskan bahwa setiap
pemimpin tertinggi Tiongkok memiliki mimpinya masing-masing – mengingat
ini sudah menjadi tradisi dalam Partai Komunis Tiongkok.
Mimpi politik seperti ini sebenarnya juga menjadi hal yang wajar. Ira
Chernus dari University of Colorado, Boulder, dalam*tulisannya
<https://www.thenation.com/article/archive/political-dreaming-twenty-first-century/>*yang
berjudul/Political Dreaming in the Twenty-First Century/– dengan
mengutip Sigmund Freud – menjelaskan bahwa mimpi merupakan perwujudan
dari keinginan yang bisa berimplikasi pada dimensi politik.
Mimpi merupakan visi akan alam publik yang terbebaskan dari pembagian
dan hambatan di dunia nyata. Bahkan, mimpi akan masa depan – menurut
Chernus – dapat menjadi energi sendiri.
Namun, mimpi bisa membuat sang pemimpi melakukan berbagai cara untuk
menggapai mimpinya. Hal ini terlihat dari bagaimana Deng menerapkan
mimpinya.
Zheng dalam tulisannya menjelaskan bahwa Deng tidak lagi menjalankan
mimpi ala Mao Tsetung – pemimpin sebelumnya yang menerapkan ideologi
sosialisme dan komunisme sebagai tujuan utama. Deng lebih menekankan
pada kebangkitan Tiongkok sebagai negara kuat dan kaya (/zhenxing
zhonghua/).
Penerapan mimpi Tiongkok ala Deng ini tidak lagi melibatkan unsur
ideologi, melainkan lebih*menekankan
<https://www.washingtonpost.com/news/monkey-cage/wp/2018/12/19/40-years-ago-deng-xiaoping-changed-china-and-the-world/>*pada
praktikalitas (/practicality/). Pemerintahan negara Tirai Bambu tersebut
alhasil meninggalkan keketatan ideologisnya dan menerapkan reformasi –
berbeda dengan/American Dream/yang menekankan pada gagasan kebebasan.
Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Apakah Luhut juga menerapkan mimpi
ala Deng Xiaoping ini?
*/Indonesian Dream/**?*
Boleh jadi, praktikalitas dan pragmatisme yang serupa juga diterapkan
oleh pemerintahan Jokowi – beserta Luhut sebagai salah satu menteri yang
paling berpengaruh. Hal ini terlihat dari bagaimana sang Menko Marves
sangat mendorong masuknya investasi ke Indonesia guna membangun
infrastruktur dan apa pun yang dibutuhkan – misalnya
proyek-proyek/smelter/bijih mineral.
Pragmatisme seperti ini sebenarnya terlihat dari bagaimana Luhut
menanggapi pertanyaan publik soal keterpihakannya pada investasi
Tiongkok. Sang Menko Marves pernah mengatakan bahwa*pinjaman murah
<https://katadata.co.id/yuliawati/berita/5e9a55f5a6699/luhut-dorong-petani-sawit-manfaatkan-pinjaman-dari-tiongkok>*menjadi
alasan di balik masuknya beberapa investasi Tiongkok.
Selain itu, pragmatisme juga terlihat dari jalannya pemerintahan Jokowi.
Ben Bland dalam buku barunya yang berjudul/Man of
Contradictions/bahkan*menyebutkan
<https://www.smh.com.au/world/asia/man-of-contradictions-joko-book-a-warning-to-australia-about-a-pragmatic-president-20200812-p55kyx.html>*bahwa
Presiden Jokowi lebih menekankan pada kebijakan yang menguntungkannya.
Mungkin, praktikalitas yang dibawa oleh Luhut dan Jokowi ini juga
terlihat dari kebijakan dan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) yang
kontroversial. Salah satunya adalah RUU Cipta Lapangan Kerja – atau
biasa dikenal sebagai/Omnibus Law/.
Meski mendapatkan penolakan dari banyak pihak, pemerintahan Jokowi
dianggap melihat peraturan tersebut sebagai salah satu komponen penting
dalam Jokowinomics – sebuah istilah yang menggambarkan developmentalisme
yang digaungkan oleh pemerintahan Jokowi. Luhut pun bisa jadi mengambil
peran penting dalam agenda ekonomi tersebut.
Jefferson Ng dari S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS)
dalam*tulisannya
<https://www.newmandala.org/jokowis-macron-moment/>*yang
berjudul/Jokowi’s Macron Moment/juga menjelaskan bahwa Luhut menjadi
wajah bagi pendekatan pro-investasi dari pemerintahan Jokowi dengan
bersikap ramah pada para investor.
Meski begitu, mimpi ala Luhut untuk Indonesia yang dijelaskan di atas
belum tentu tergambar dengan benar. Pasalnya, sang Menko Marves sendiri
lah yang benar-benar mengenal mimpinya sendiri.
Namun, yang jelas, mimpi yang diungkapkan Luhut setidaknya juga
tercerminkan dalam sejumlah kebijakan yang dijalankan oleh pemerintahan
Jokowi. Mari kita nantikan saja bagaimana kebijakan itu akhirnya
berdampak pada kemajuan Indonesia di masa mendatang. (A43)