Asal-Usul Stigmatisasi Komunis di Indonesia
Stempel negatif untuk kaum komunis dan tuduhan yang bersifat pukul
rata sudah dimulai sejak zaman kolonial. Menyasar kepada mereka
yang kritis terhadap kekuasaan.
OlehBonnie Triyana <https://historia.id/@bonnie.t>|02 Okt 2020
https://historia.id/politik/articles/asal-usul-stigmatisasi-komunis-di-indonesia-v297d
header img
cameraMohammad Hatta (kedua dari kanan) di depan rumahnya di Boven
Digoel (1 Januari 1936) menjelang kepindahannya bersama Sutan Sjahrir
(berdiri, kedua dari kiri) ke Banda Neira. (Repro Mohammad Hatta Hati
Nurani Bangsa).
Bandung, 4 Juli 1927, delapan orang berkumpul di sebuah rumah Regentsweg
No. 22. Tujuh orang di antaranya bersepakat mendirikan sebuah partai
baru: Partai Nasional Indonesia (PNI). Seorang di antaranya, yang paling
tua, menolak ikut masuk ke dalam susunan pendiri partai. Dia cemas kalau
partai baru tersebut bakal dituduh sebagai partai komunis kelanjutan PKI
dan akan kembali dibubarkan oleh pemerintah kolonial.
Cerita tersebut dikisahkan oleh Iskaq Tjokrohadisurjo dalam
memoarnya,/Alumni Desa Bersemangat Banteng/. Orang tua yang keberatan
dengan pendirian partai itu adalah Tjipto Mangoenkoesoemo, politikus
antikolonial yang sedang menjalani masa pembuangannya di Bandung.
Sebagaimana dikutip Iskaq dari Sunario dalam biografinya,/PNI dan
Perjuangannya/, pemerintah kolonial menangkap Tjipto atas tuduhan
membantu PKI. Tjipto tak pernah tercatat sebagai anggota aktif partai
tersebut.
close
Kecemasan Tjipto menunjukkan dampak serius dari reaksi keras pemerintah
kolonial terhadap PKI. Hanya terpaut kurang setahun sebelum pertemuan di
Regentsweg itu terjadi, PKI melancarkan perlawanan di Banten, 12
November 1926, dan Silungkang, Sumatra Barat pada Januari 1927.
poster
480p low geselecteerd als afspeelkwaliteit720p geselecteerd als
afspeelkwaliteit
*BACA JUGA: *Tubagus Alipan dalam Pemberontakan PKI 1926 di Banten
<https://historia.id/politik/articles/tubagus-alipan-tokoh-kecil-dalam-sejarah-besar-P0mZG>
Merujuk kepada Petrus Blumberger dalam/De Communistische Beweging in
Nederlandsch-Indie/, 13 ribu orang ditangkap atas tuduhan keterlibatan
mereka dalam pemberontakan tersebut, sebagian dibebaskan. Tiga ribu
orang ditahan di Jawa Barat, dua ribu lainnya ditahan di Sumatra Barat,
dan lebih dari 4.500 orang dijatuhi hukuman penjara, beberapa
pemimpinnya seperti Egom, Dirdja, Hasan Bakri dari Ciamis dan Haji Sukri
dari Pandeglang dijatuhi hukuman mati.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda memberlakukan larangan terhadap PKI
dan/onderbouw/-nya, Sarekat Rakyat, di seluruh wilayah Hindia Belanda.
Setiap orang yang memiliki hubungan dengan organisasi tersebut dan
terbukti terlibat dalam kekerasan dan gangguan ketertiban umum, akan
dijatuhi hukuman penjara serendah-rendahnya enam tahun.
*BACA JUGA: *Kisah Budisucitro, Buangan Digul Nomor 1
<https://historia.id/politik/articles/kisah-budisucitro-buangan-digul-nomor-1-PG8wM>
Dengan menggunakan hak/exorbitante rechten/, berdasarkan konstitusi
Hindia Belanda (/Nederlandsch-Indie Staatregeling/) pasal 37, Gubernur
Jenderal, atas persetujuan Raad van Nederlandsch-Indie, berhak
mengasingkan orang-orang yang dianggap membahayakan ketertiban umum.
Atas dasar tersebut pada akhir 1927 Gubernur Jenderal Hindia Belanda
A.C.D. de Graeff menjadikan Boven Digul, Nieuw Guinea (sekarang Papua)
sebagai area pembuangan tahanan politik yang terlibat peristiwa 1926.
Sekitar 1.300 orang komunis diasingkan ke kamp yang terkenal sebagai
wilayah endemik malaria hitam yang mematikan itu. Sejak tahun yang sama
pemerintah kolonial juga mengetatkan pengawasan terhadap “bahaya merah”
yang sejak awal 1920 melancarkan agitasi dan propaganda melawan
pemerintah kolonial.
Stigmatisasi komunis mulai terlihat sejak meletusnya peristiwa
pemberontakan PKI 1926. Laporan-laporan kepolisian kolonial menunjukkan
adanya pengawasan ekstra kepada mereka yang diduga memiliki hubungan
dengan PKI maupun gerakan antipemerintah lain kendati tak berlatar
belakang komunisme.
*BACA JUGA: *Polisi Zaman Kumpeni
<https://historia.id/politik/articles/polisi-zaman-kumpeni-v2jZv>
Sejarawan Marieke Bloembergen dalam bukunya/Polisi Zaman Hindia Belanda:
Dari Kepedulian dan Ketakutan/mengungkapkan adanya kecemasan yang
menjalar di kalangan warga kulit putih di Hindia Belanda atas aktivitas
kaum komunis tersebut. Dari koran/Bataviaasch Nieuwsblad/, 6 Desember
1926, sebagaimana juga dikutip oleh Marieke, menyebutkan adanya
kekhawatiran terhadap serangan kaum komunis.
Koran konservatif itu juga melancarkan kritik terhadap pemerintah yang
dianggap kurang sigap dalam menghadapi teror komunis. Dalam
laporan-laporan arsip polisi yang dikutip Marieke terungkap fakta
klasifikasi gerakan politik yang dianggap berbahaya oleh polisi
kolonial. “Pertama adalah ‘komunisme dan ekstremisme’, sejak akhir 1926
dinyatakan terlarang; dan kedua, ‘gerakan nasionalis’ yang terlepas dari
sejumlah aksi represif 1933 tampaknya dibiarkan dan ditenggang,” tulis
Marieke dalam bukunya halaman 351.
Dalam rangka menghadapi ancaman komunis terhadap otoritas kolonial,
kurikulum pendidikan polisi kolonial pun ditambah pengajaran khusus
tentang komunisme. Mengutip laporan arsip kepolisian, 1 Januari 1927,
Marieke menulis, “Tercakup ke dalamnya kemampuan untuk mengenali ajaran
dan organisasi komunisme, serta cara-cara penyidikan dan pemberantasan
komunisme.”
*BACA JUGA: *PID Mengawasi Kaum Pergerakan
<https://historia.id/politik/articles/mengawasi-kaum-pergerakan-6am96>
Alarm kewaspadaan terhadap gerakan komunis di Hindia Belanda terlihat
diberlakukan secara sistematis. Mulai dari pendidikan kepolisian,
pengawasan dinas reserse maupun Dinas Pengawasan Politik (/Politieke
Inlichtingendienst/, PID) terhadap aktivitas politik antikolonial,
hingga kewaspadaan di kalangan pangreh praja meningkat setelah peristiwa
1926.
Satu hal yang menarik diperhatikan adalah refleksi seorang pejabat
pribumi dalam pemerintahan kolonial, Pangeran Aria Achmad
Djajadiningrat, yang saat kejadian menjabat bupati Batavia. Menurutnya
pemberontakan terjadi karena rakyat dihasut PKI melawan pemerintah
kolonial. Dalam memoarnya P.A.A. Djajadiningrat menulis banyak rakyat di
wilayah tanah partikelir Tangerang yang terpaksa bekerja serabutan,
mulai jadi pedagang kecil-kecilan sampai kuli untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.
“Hal ini yang menyebabkan banyak penduduk sering bolak balik ke Batavia,
di mana mereka berhubungan dengan orang-orang yang menyebut diri mereka
komunis,” tulis Djajadiningrat dalam/Memoar Pangeran Aria Achmad
Djajadiningrat/halaman 411.
*BACA JUGA: *Palu Arit Selalu Bikin Sengit
<https://historia.id/politik/articles/palu-arit-selalu-bikin-sengit-D8ZmP>
Pandangan Djajadiningrat mencerminkan bagaimana pemerintah kolonial
berkepentingan untuk mencegah laju “si merah” yang menghasut rakyat
ketimbang melihat kondisi obyektif kehidupan masyarakat. Kepentingan
untuk menjaga situasi “rust en orde” (ketenangan dan ketertiban)
mengabaikan kenyataan mulai munculnya benih-benih kesadaran merdeka di
kalangan rakyat.
“Semboyan mereka adalah memaksakan ‘kamerdikaan’, apa yang mereka
maksudkan dengan sebenarnya, dari penyidikan sementara tidak jelas, juga
dari siapa atau apa ‘kamerdikaan’ tersebut harus dipaksakan,” kata
Djajadiningrat.
Keinginan menciptakan stabilitas negeri koloni dan kecurigaan terhadap
gerakan komunis membuat pemerintah kolonial menyasar semua gerakan
antikolonial yang berkembang sejak awal 1920-an. Sejarawan M.C. Ricklefs
dalam/Sejarah Indonesia Modern/menyebutkan pada era tersebut sebagai
“tahapan sejarahnya yang bersifat paling menindas pada abad XX” dari
rezim kolonial Belanda di Indonesia.
*BACA JUGA: *Ricklefs yang Tak Sempat Saya Temui
<https://historia.id/politik/articles/ricklefs-yang-tak-sempat-saya-temui-DO4Yw>
Pengawasan terhadap gerakan antikolonial semakin meningkat. Agen rahasia
PID dan petugas reserse polisi selalu hadir dalam setiap pertemuan
politik. Sasaran pertama pengawasan adalah para tahanan politik Boven
Digoel, kerap disebut “Digoelis” yang telah dibebaskan dan menyatakan
‘/verzoenlijk/’ (mau berdamai). Sejarawan Marieke Bloembergen menilai
tindakan tersebut sebagai upaya stigmatisasi terhadap orang-orang
komunis di era 1930-an.
Penggunaan istilah “bahaya laten” komunisme mulai dikenali melalui media
massa zaman kolonial, seperti tersua dalam/Het Nieuws Van Den Dag/,
edisi 13 Februari 1928. Istilah itu dikutip dari Bupati Bandung yang
mengatakan “unsur-unsur kriminal yang membawa propaganda
(komunis,/red/.)” yang berada di luar jangkauan hukum akan tetap menjadi
“bahaya laten” (/latent gevaar/).
*BACA JUGA: *Bahaya Laten PKI hanya Halusinasi
<https://historia.id/politik/articles/bahaya-laten-pki-hanya-halusinasi-PzdaV>
Koran beraliran konservatif itu memberitakan adanya perkumpulan komunis
di Cimahi merencanakan pemberontakan bersenjata sekitar bulan puasa atau
usai Lebaran 1928. Koran yang sama juga melaporkan kabar berdirinya
asosiasi komunis Cina di Bandung dan perkumpulan komunis yang didirikan
oleh warga Arab di Batavia.
Sejak 1927 terjadi penangkapan-penangkapan terhadap tokoh pergerakan.
Komunis atau bukan tidak lagi jadi soal sepanjang mereka menunjukkan
tanda-tanda melawan pemerintah kolonial. Sukarno ditangkap di Yogyakarta
pada 29 Desember 1929, tak lama kemudian PNI dinyatakan sebagai
perhimpunan yang bertujuan menjalankan kejahatan menurut undang-undang
hukum pidana Hindia Belanda pasal 169. Kecemasan Tjipto terbukti benar.
Setelah sempat dipenjara di Sukamiskin, Sukarno diasingkan ke Ende,
Flores. Menyusul berikutnya penangkapan Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir
pada 1932. Mereka berdua diasingkan ke Boven Digoel, bersama ribuan
tahanan komunis yang telah terlebih dahulu diasingkan ke sana. Sejak
1933 penghuni Boven Digoel pun semakin beragam, mulai dari aktivis PKI,
PNI, Partindo, Perhimpunan Muslimin Indonesia (Permi) sampai dengan
Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dengan tokohnya Muhammad Lutfi dan
Ilyas Yakub dari Minangkabau.
*BACA JUGA: *Satu Perahu Dua Haluan dalam Pemberontakan PKI 1926-1927
<https://historia.id/politik/articles/satu-perahu-dua-haluan-DAlNb>
Pengasingan, label kejahatan, bahkan stempel kriminal yang dilekatkan
kepada mereka yang ditangkap setelah peristiwa pemberontakan PKI 1926
membuktikan adanya stigmatisasi terhadap kaum komunis. Hal itu kemudian
menyasar secara luas kepada mereka yang melancarkan perlawanan terhadap
otoritas kolonial, dengan acuan kewaspadaan atas bahaya “si merah”.
Marieke Bloembergen menyebut situasi ini sebagai “kebijakan” polisional
yang menjadikan “warna merah sebagai penanda” sehingga akhirnya
“menyasar semua yang bernuansa merah” berdasarkan sudut pandang penguasa
kolonial.
Mengacu pada pengertian sosiolog Erving Goffman dalam bukunya/Stigma:
Notes on Management of Spoiled Identity/(1963), stigma adalah atribut
yang sangat merendahkan (/attribute that is deeply discrediting/).
Stigma membuat orang-orang yang diberi atribut, baik secara ras, warna
kulit, penyakit, agama dan dalam hal ini ideologi, tersingkir dari
masyarakat, terasingkan karena dianggap remeh atau malah dituduh
membahayakan.
Dalam kasus stigma komunis era kolonial, atribut yang memojokkan itu
diciptakan oleh penguasa kolonial. Acapkali stigma yang terlanjur
dilekatkan pada orang-orang dari kelompok tertentu tak sepenuhnya
mencerminkan kebenaran faktual pada level individual. Misalnya label
yang bersifat pukul rata bahwa orang komunis sudah pasti ateis.
*BACA JUGA: *Saat Islam dan Komunis Harmonis dalam Pemberontakan PKI
1926-1927
<https://historia.id/politik/articles/saat-islam-dan-komunis-harmonis-6j3wD>
Dalam kasus peristiwa 1926, kejanggalan itu terungkap dalam surat Sutan
Sjahrir kepada istrinya Maria Duchateau. Pada surat yang dikirim dari
Tanahmerah, Boven Digoel, 10 September 1935 itu Sjahrir menyampaikan
keheranannya tentang orang-orang komunis yang ada di Digoel yang
menurutnya bukan orang komunis sebagaimana yang ditemuinya di Eropa.
“Aku belum ketemu dengan orang komunis di Tanahmerah yang sesuai dengan
maksud kata komunis di Eropa,” kata Sjahrir.
Menurutnya, orang-orang komunis yang berada di pembuangan bersamanya itu
tak lebih dari sekumpulan orang-orang yang ingin melawan pemerintah
kolonial. Tidak semua dari mereka memahami apa arti menjadi seorang
komunis, bahkan sebagian dari mereka menurut Sjahrir lebih tampak
sebagai orang-orang yang terdorong melawan karena semangat keagamaan
atau gerakan mistik yang dipimpin seorang Ratu Adil.
*BACA JUGA: *Penelitian: Pelabelan PKI, Stigmatisasi Paling Kejam
<https://historia.id/politik/articles/pelabelan-pki-stigmatisasi-paling-kejam-P9jzz>
“…menurutku, sebagian besar dari orang yang dibuang ke sini, walaupun
mereka bukan orang komunis, mereka memang benar-benar ingin
memberontak…Gejala-gejala yang mereka alami juga sama dengan rakyat
kita. Orang di sini bukan luar biasa, walaupun mereka disebut komunis
atau pemberontak. Terutama mereka orang Indonesia, maksudnya orang Jawa,
orang Minangkabau, orang Banten, orang Sunda. Dan kalau orang ingin
mengerti mereka, orang harus mengerti mereka sebagai orang Jawa, orang
Minangkabau, d.l.l., baru setelah itu kita juga bisa menilai komunisme
yang mereka anut. Dan karena itu, komunisme mereka adalah yang aneh,
penuh mistik, diwarnai Hindu Jawa atau Islam Minangkabau atau juga Islam
Banten, maksudnya di dalam tiga-tiganya terdapat elemen animisme,” tulis
Sjahrir.
Stigma yang sama juga diberlakukan terhadap mereka yang dituduh terlibat
dalam peristiwa Gestok 1965. Dalam beberapa hal malah jauh lebih
berdampak luas ketimbang masa kolonial. Karena stigma tak hanya
dilabelkan kepada anggota dan simpatisan PKI atau mereka yang
teridentifikasi sebagai pendukung Sukarno garis keras (PNI atau golongan
“Sukarno Sentris”, SS) melainkan pula pada sanak keluarga terdekat mereka.
Kebijakan yang diskriminatif yang tercermin dalam beberapa produk hukum
di era Orde Baru, seperti label “Eks Tapol” pada KTP, larangan hak
dipilih dan memilih dalam Pemilu, memang sudah dihapuskan, namun
stigmatisasi negatif komunis masih berlangsung hingga kini. Bahkan cap
komunis digunakan sebagai cara mereduksi peran sosial seseorang atau
kelompok politik tertentu, sampai dengan membungkam atau membunuh
karakter seseorang dalam ajang pertarungan politik dan kehidupan sosialnya.