-------- 轉寄郵件 --------
主旨: Siaran Pers Koalisi untuk Reformasi Sektor Keamanan
日期: Mon, 5 Oct 2020 16:58:28 +0200 (CEST)
從: arif...@t-online.de <arif...@t-online.de>
到: GELORA45 <sa...@netvigator.com>
Siaran Pers
Koalisi untuk Reformasi Sektor Keamanan
*“75 Tahun TNI: Kemunduran Reformasi TNI” *
Pada tanggal 5 Oktober 2020, Tentara Nasional Indonesia (TNI) akan
memasuki usianya yang ke- 75. Pada momentum Hari Ulang Tahun ke- 75 ini,
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengucapkan
selamat dan sekaligus apresiasi setinggi-tingginya kepada seluruh
prajurit TNI atas perannya selama ini dalam menjaga pertahanan negara
Indonesia. Di usianya yang tidak lagi muda ini, muncul harapan besar TNI
ke depan menjadi alat pertahanan yang semakin kuat, modern, profesional,
dan mampu menjalankan tugas-tugasnya secara akuntabel, menghormati tata
negara demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Kami memandang momentum HUT TNI yang ke-75 tahun ini tidak boleh hanya
menjadi sekadar repetisi perayaan yang sifatnya seremonial belaka. Di
tengah kondisi bangsa dan negara yang sedang berada dalam suasana
keperihatinan akibat krisis pandemi Covid-19, sudah seharusya HUT TNI
kali ini juga dijadikan momentum untuk melakukan pembenahan diri
mengingat masih banyaknya permasalahan dan agenda reformasi TNI yang
belum terlaksana.
Perlu diakui, agenda reformasi dan transformasi TNI sejak tahun 1998
memang telah menghasilkan sejumlah capaian positif seperti seperti
penghapusan peran sosial-politik TNI, pemisahan TNI dan Polri,
penghapusan bisnis TNI dan lain sebagainya. Namun, semua pencapaian itu
bukan berarti menandakan bahwa proses reformasi TNI telah tuntas
dijalankan. Sejumlah agenda tersisa seperti reformasi peradilan militer,
restrukturisasi komando teritorial dan agenda lainnya masih urung
dilakukan. Bahkan yang terjadi adalah sebaliknya dimana proses reformasi
TNI mengalami stagnasi dan dalam sejumlah aspek bisa dikatakan malah
mengalami kemunduran.
Berikut tujuh catatan Koalisi terkait agenda reformasi TNI yang menjadi
pekerjaan rumah yang harus didorong dan dijalankan oleh pemerintah ke
depan, antara lain yaitu:
Pertama, peran internal militer yang semakin menguat. Salah satu agenda
reformasi TNI pada tahun 1998 adalah membatasi ruang keterlibatan
militer dalam ranah sipil dan keamanan dalam negeri. Sebagai alat
pertahanan negara, TNI difokuskan untuk bersiap menghadapi ancaman
perang dari luar yang mengancam kedaulatan negara sebagaimana diatur
dalam UU Pertahanan dan UU TNI. Namun demikian, dalam beberapa tahun
belakangan ini terdapat perkembangan dimana militer mulai terlibat
secara aktif dalam mengatasi permasalahan dalam negeri.
Keterlibatan aktif TNI dalam penanganan keamanan dalam negeri terlihat
dengan masih dikirimnya pasukan TNI non-organik ke Papua dan Poso untuk
mengatasi kelompok kriminal bersenjata (KKB).. Pelibatan TNI dalam
membantu Polri memang dimungkinkan, namun tugas perbantuan TNI kepada
Polri baik di Papua maupun di Poso tidak dilandaskan keputusan politik
negara (Pasal 5 UU TNI: keputusan presiden setelah berkonsultasi dengan
DPR) sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat (3) UU TNI. Hal ini untuk
memastikan adanya otorisasi sipil dalam menjamin akuntabilitas gelar
pasukan yang diperbantukan.
Menguatnya keterlibatan TNI dalam tugas keamanan dalam negeri juga
terlihat dalam rancangan Perpres tentang tugas TNI dalam mengatasi aksi
terorisme. Perpres ini memberikan kewenangan yang luas mulai dari
penangkalan, penindakan hingga pemulihan dan pelibatannya tidak melalui
keputusan politik negara sebagaiama amanat Pasal Pasal 7 ayat (3) UU No.
34 Tahun 2004 tentang TNI. Koalisi menilai ada beberapa substansi
rancangan Perpres yang bermasalah, seperti pengaturan kewenangan TNI
untuk menjalankan fungsi penangkalan yang sangat luas, yakni dengan
menjalankan operasi intelijen, operasi teritorial, operasi informasi dan
operasi lainnya (Pasal 3). Di sisi lain, Peraturan Presiden ini tidak
memberi penjelasan lebih rinci terkait apa yang dimaksud dengan “operasi
lainnya”. Masalah lainnya adalah tentang penggunaan anggaran daerah dan
sumber lain di luar APBN yang dapat digunakan oleh TNI dalam penanganan
terorisme sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Rancangan Perpres. Ketentuan
ini jelas bertentangan dengan Pasal 66 UU TNI yang menyatakan anggaran
TNI hanya bersumber dari APBN.. Pelibatan TNI sebenarnya baru dapat
dilakukan ketika kondisi ancaman sudah kritis dan institusi penegak
hukum sudah tidak dapat menanganinya (imminent threat). Lebih dari itu,
pelibatan TNI dalam menangani aksi terorisme berpotensi menggeser
kebijakan penanganan terorisme menjadi eksesif serta keluar dari koridor
penegakan hukum (criminal justice system).
Lebih jauh, berbagai MoU antara TNI dengan beberapa kementerian dan
instansi yang belakangan ini marak dibentuk dan sering digunakan sebagai
landasan bagi pelibatan militer dalam ranah sipil dan keamanan dalam
negeri merupakan langkah keliru dan secara jelas bertentangan dengan UU
TNI No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Berdasarkan catatan Imparsial,
setidaknya terdapat 41 MoU antara TNI dan kementerian dan instansi lain
telah dibentuk dalam kerangka pelaksanaan tugas perbantuan TNI (operasi
militer selain perang). Berbagai MoU itu bertentangan dengan Pasal 7
ayat (3) UU TNI yang menyebutkan bahwa operasi militer selain perang
hanya bisa dilakukan jika terdapat keputusan politik negara dalam hal
ini keputusan Presiden.
Merebaknya berbagai MoU itu mengarah pada menguatnya kembali
militerisme. Hal itu sedikit demi sedikit dan tahap demi tahap
berpotensi menempatkan tata kelola keamanan seperti pada masa orde baru,
yang membuka ruang bagi hadirnya peran militer secara luas dalam
keamanan dalam negeri dan ranah sipil. Perkembangan itu tidak sejalan
dan tidak senafas dengan arah reformasi sektor keamanan dan kehidupan
negara demokratik.
Kedua, kembalinya TNI di jabatan sipil. Reformasi politik paska 1998
mensyaratkan mensyaratkan penghapusan peran sosial politik TNI dan salah
satu cerminnya adalah militer aktif tidak lagi menduduki jabatan politik
seperti di DPR, Gubernur, Bupati, atau jabatan di kementerian dan
lainnya. Sejak UU TNI disahkan, militer aktif hanya dapat menduduki
jabatan-jabatan yang memiliki keterkaitan dengan fungsi pertahanan
seperti Kementerian Pertahanan, Kemenkopulhukam, Sekmil Presiden,
Intelijen Negara, Sandi Negara, Lemhanas, Dewan Pertahanan Nasional,
Narkotika Nasional dan Mahkamah Agung (Pasal 47 ayat 2 UU TNI). Namun
demikian, kini banyak anggota TNI aktif yang menduduki jabatan sipil
seperti di, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan bahkan di
Badan Usaha Milik Negagara. Ombudsman RI mencatat sebanyak 27 anggota
TNI aktif menjabat di BUMN.
Ketiga, rencana pelatihan militer di perguruan tinggi. Rencana
kementerian pertahanan berencana merekrut mahasiswa terlibat dalam
latihan militer melalui program bela negara ataupun komponen cadangan.
Selain tidak memiliki urgensi, rencana ini juga akan menjadi pintu masuk
militerisasi di dalam kampus.
Dalih kementrian pertahanan yang menjadikan UU No. 23 Tahun 2019 tentang
Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan UU PSDN sebagai dasar
pelatihan militer dalam kampus mengandung banyak masalah. Sejak awal
pembentukannya, UU PSDN sudah cacat secara prosedural dan bermasalah
secara substansial. Proses pengesahan UU PSDN dilakukan sangat singkat,
cenderung dipaksakan dan minim patisipasi publik. Sementara, substansi
pasal di dalamnya banyak memuat pasal-pasal karet yang mengabaikan hak
asasi manusia.Dalam konteks kekinian, bela negara dan alasan
nasionalisme sudah seharusnya tidak lagi ditafsirkan sempit yakni
sebatas kewajiban pelatihan kemiliteran yang cenderung bersifat
militeristik misalnya dalam konteks perguruan tinggi, aksi-aksi bela
Negara bisa ditunjukkan melalui implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi
yakni Pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Keempat, restrukturisasi Komando Teritorial (Koter). Restrukturisasi
Koter adalah salah satu agenda reformasi TNI yang diusung oleh gerakan
mahasiswa dan demokratik lainnya pada awal reformasi 1998. Agenda ini
disuarakan dalam satu paket dengan agenda penghapusan peran
sosial-politik ABRI—sekarang TNI—yang dikenal sebagai dwifungsi ABRI.
Dalam perjalanannya, meski peran politik ABRI/TNI telah dihapus, namun
struktur Koter hingga kini tak kunjung juga direstrukturisasi dan masih
dipertahankan. Bahkan, eksistensi Koter semakin mekar sejalan dengan
pemekaran atau pembentukan provinsi dan kabupaten-kabupaten baru di
Indonesia. Pemekaran terbaru terlihat dari pembentukan dua Komando
Daerah Militer (Kodam) baru yakni Kodam Kasuari di Papua Barat dan
pengaktifan kodam yang pernah dilikuidasi yakni Kodam Merdeka yang
meliputi Gorontalo, Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah. Pembentukan dan
pengaktifan Kembali satuan-satuan Kodam ini tentunya akan diikuti oleh
pembentukan struktur teritorial di bawahnya, seperti Komando Resort
Militer (Korem) dan Komando Distrik Militer (Kodim).
Eksistensi Koter pada masa Orde Baru sangat terkait dengan dwifungsi
ABRI. Koter yang dibentuk menyerupai hirarki dan struktur pemerintahan
sipil, mulia dari pusat hingga daerah sampai di tingkat kecamatan,
menjadi instrumen bagi ABRI menjalankan peran sosial-politiknya. Koter
juga menjadi instrumen kontrol terhadap masyarakat, seperti digunakan
untuk merepresi kelompok demokratik yang menentang rezim Soeharto.
Karakter dan watak penggunaan Koter juga tidak berubah pasca perubahan
politik dari otoritarianisme ke demokrasi sejak tahun 1998. Koter
kadangkala diduga digunakan sebagai instrumen politik terutama di masa
elektoral.
Restrukturisasi ini sejatinya juga telah diamanatkan oleh UU No. 34
Tahun 2004 tentang TNI yang mensyaratkan kepada otoritas politik untuk
melakukan restrukturisasi Koter yang penggelarannya tidak selalu
mengikuti struktur administrasi pemerintahan. Restrukturisasi Koter juga
bertujuan agar gelar kekuatan TNI (Postur TNI) dapat mendukung peran TNI
sebagai alat pertahanan negara. Sebagai konsekuensi dari restrukturisasi
Koter dan mempertimbangkan lingkungan strategis serta dinamika ancaman
terkini adalah perlu segera dipikirkan dan dibentuk model Postur TNI
yang menekankan pembangunan kesatuan gelar kekuatan trimatra secara
terpadu dan lebih terintegrasi.
Kelima, membangun transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaaan
Alutsista. Upaya modernisasi alutsista TNI untuk memperkuat pertahanan
Indonesia merupakan langkah penting dan harus didukung. Sebagai komponen
utama pertahanan negara, TNI perlu dilengkapi oleh alutsista militer
yang lebih baik, kuat, dan modern untuk mendukung tugas pokok dan
fungsinya dalam menjaga dan melindungi wilayah pertahanan Indonesia.
Namun demikian, penting dicatat bahwa langkah tersebut harus dijalankan
oleh pemerintah secara akuntabel, transparan, serta dengan
mempertimbangkan ketersediaan anggaran dan kebutuhan TNI itu sendiri.
Hal ini penting untuk memastikan pengadaan alutsista TNI mendukung upaya
penguatan pertahanan negara Indonesia dan tidak memunculkan masalah baru
di masa yang akan datang.
Dalam sejumlah pengadaan, misalnya, beberapa alutsista yang dibeli oleh
pemerintah Indonesia berada di bawah standar dan kadang kala tidak
sesuai dengan yang dibutuhkan. Selain itu, pengadaan melalui pembelian
alutsista bekas juga menjadi persoalan. Padahal, jelas terdapat
kecenderungan bahwa pengadaan alutsista bekas selalu memiliki potensi
bermasalah yang lebih besar. Tidak hanya membebani anggaran untuk
perawatan, tetapi juga beresiko terjadi kecelakaan yang mengancam
keselamatan dan keamanan prajurit.
Selain itu, pengadaan Alutsista kerap diwarnai keterlibatan pihak ketiga
(broker). Dalam beberapa kasus, keterlibatan mereka kadang kala
berimplikasi terhadap dugaan mark-up dalam pengadaan alutsista. Oleh
karena itu, sudah seharusnya pengadaan alutsista di masa depan hendaknya
tidak melibatkan pihak ketiga, tetapi langsung dilakukan dalam mekanisme
government to government.
Rencana Menteri Pertahanan Prabowo Subianto untuk membeli pesawat tempur
Eurofighter Typhoon bekas dari Austria misalnya adalah Langkah bukan
hanya tidak tepat, tetapi juga berpotensi menimbulkan masalah baru di
masa datang. Ide pembelian tersebut akan mengulangi kesalahan di masa
lalu, dimana pengadaan alutsista bekas menimbulkan masalah akuntabilitas
anggaran pertahanan dan yang lebih berbahaya lagi adalah penggunaannya
oleh prajurit TNI menghadapi risiko terjadi kecelakaan. Pemerintah
hendaknya belajar dari pengalaman saat melakukan pembelian alutsista
bekas di masa lalu, baik itu pesawat, kapal, tank dan lainnya yang
memiliki sejumlah problem teknis dan mengalami beberapa kali kecelakaan.
Transparansi Internasional merilis survei bertajuk Government Defence
Anti-Corruption Index 2015 yang menunjukkan risiko korupsi di sektor
militer/pertahanan. Pada survei itu dinyatakan bahwa risiko korupsi
sektor militer/pertahanan di Indonesia masih tergolong tinggi (Indonesia
mendapatkan nilai D). Persoalan transparansi dan akuntabilitas dalam
pengadaan alutsista memang menjadi persoalan yang serius. Ketiadaan
peran dan kewenangan lembaga independen seperti KPK yang turut memonitor
dan mengawasi persoalan pengadaan alutsista membuat proses pengadaannya
rawan terhadap terjadinya penyimpangan. Alhasil transparansi dan
akuntabilitas dalam pengadaan alutsista menjadi bermasalah. Padahal,
belanja alutsista di Indonesia menggunakan dana yang besar.
Dalam upaya mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan
Alutsista, pemerintah harus mendorong peran lembaga-lembaga pengawas
independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan
pengawasan dan menginvestigasi penggunaan anggaran pertahanan, atau
lebih khususnya dalam pengadaan Alutsista. Salah satu upaya untuk
mendo¬rong peran KPK itu, langkah awal yang harus didorong oleh
pemerintah dan parlemen adalah mereformasi peradilan militer melalui
revisi UU No 31/1997. Meski tanpa menunggu revisi UU tersebut, KPK bisa
terlibat dalam pengawasan dan penyelidikan dugaan penyimpangan pengadaan
alutsista dengan dasar asas lex specialis derogat lex generalis.
Keenam, masih adanya kekerasan TNI terhadap masyarakat dan Impunitas
yang terus berlangsung. Hingga saat ini, kekerasan yang dilakukan
anggota TNI terhadap masyarakat dan pembela HAM masih terjadi di
berbagai daerah, khususnya di daerah konflik di Papua. Berbagai kasus
kekerasan itu menunjukkan bahwa reformasi TNI sesungguhnya belum tuntas,
khususnya dalam upaya untuk memutus budaya militerististik yang diwarisi
dari rezim otoritarian Orde Baru. Motif dari tindakan kekerasan yang
dilakukan oknum anggota itu beragam, mulai dari motif persoalan pribadi,
bentuk solidaritas terhadap korps yang keliru, sengketa lahan dengan
masyarakat, terlibat dalam penggusuran, serta kekerasan terhadap
jurnalis dan pembela HAM.
Praktik Impunitas negara juga ditunjukan oleh otoritas sipil Ketika
Presiden Jokowi menetapkan Brigjen Dadang Hendrayudha dan Brigjen Yulius
Selvanus masing-masing sebagai sebagai Direktur Jenderal Potensi
Pertahanan Kementerian Pertahanan dan Kepala Badan Instalasi Strategis
Pertahanan Kementerian Pertahanan. Sebelumnya, pada 6 Desember 2019
Prabowo juga mengangkat Chairawan Kadasryah Nusyirwan, yang pernah
menjadi Komandan Tim Mawar sebagai Asisten Khusus Menteri Pertahanan
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertahanan Nomor: KEP/1869/M/XII/2019.
Meski nama-nama di atas telah melalui proses hukum di Pengadilan Tinggi
Militer II Jakarta dengan hasil menjatuhkan putusan masing-masing 1
tahun 4 bulan dan 20 bulan penjara masing-masing untuk Brigjen. Dadang
Hendrayudha dan Brigjen. Yulius Selvanus pada April 1999 selaku Kepala
Unit I dan Kepala Unit II Tim Mawar, namun vonis tersebut sangatlah
tidak sebanding dengan perbuatan yang dilakukan. Persidangan juga gagal
untuk mengungkap seluruh aktor yang terlibat. Selain itu publik juga
tidak tahu-menahu kelanjutan perkara tersebut karena putusannya tidak
dipublikasikan secara terbuka hingga ternyata karier militer keduanya
masih berjalan hingga menjadi jederal
Alih-alih memberikan hukuman setimpal kepada pelaku pelanggar HAM,
otoritas sipil justeru melanggengkan praktik Impunitas sekaligus
mengkhianati komitmen penyelesaian pelanggaran HAM dengan memberikan
pelaku pelanggar HAM jabatan-jabatan strategis di pemerintahan.
Ketujuh, agenda reformasi peradilan militer melalui revisi UU nomer
31/1997 yang belum selesai dilakukan. Hingga sat ini pemerintah dan DPR
belum melakukan reformasi sistem peradilan militer melalui perubahan UU
No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Bahkan, agenda ini
merupakan salah satu jantung dari reformasi TNI. Selama reformasi
peradilan militer belum dilakukan, maka selama itu pula bisa dikatakan
bahwa reformasi TNI belum selesai. Dengan UU ini, TNI memiliki rezim
hukum sendiri dimana anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum
diadili di peradilan militer. Dalam praktiknya, peradilan militer
menjadi sarana impunitas bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana.
Alih-alih memberikan hukuman setimpal kepada pelaku pelanggar HAM,
otoritas sipil justeru melanggengkan praktik Impunitas sekaligus
mengkhianati komitmen penyelesaian pelanggaran HAM dengan memberikan
pelaku pelanggar HAM jabatan-jabatan strategis di pemerintahan.
Kedelapan, meningkatkan kesejahteraan prajurit TNI. Sebagai alat
pertahanan negara, TNI bertugas pokok menjaga wilayah pertahanan
Indonesia. Ini bukan pekerjaan mudah. Untuk melaksanakan tugas pokoknya
itu, TNI membutuhkan kelengkapan alat utama sistem persenjataan
(alutsista) yang memadai dan kapasitas sumber daya manusia yang
profesional.
Dengan beban tugas yang berat dan suci itu, wajar apabila
profesionalisme TNI ditunjang dengan peningkatan kesejahteraan prajurit.
Selama ini penguatan sumber daya manusia terkait dengan kesejahteraan
prajurit TNI masih minim. Terbatasnya rumah dinas anggota TNI adalah
satu contoh dari permasalahan kesejahteraan prajurit.
Jakarta, 05 Oktober 2020
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan
(LBH Jakarta, Public Virtue Institute, Imparsial, KontraS, SETARA
Institute, Pil-Net, ELSAM, ICW, PBHI, LBH Pers, LBH Masyarakat)
CP
1. Hussein (Imparsial) : 0812-5966-8926
2. Ikhsan Yosarie (SETARA Institute): 0822-8638-9295
3. Nelson (LBH Jakarta): 081396820400)
------------------------------------------------------------------------
Gesendet mit der Telekom Mail App
<https://kommunikationsdienste.t-online.de/redirects/email_app_android_sendmail_footer>