-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>



https://news.detik.com/kolom/d-5203420/racun-demokrasi-dalam-pilkada?tag_from=wp_cb_kolom_list




Mimbar Mahasiswa

Racun Demokrasi dalam Pilkada

Azizah Karima - detikNews
Rabu, 07 Okt 2020 15:10 WIB
0 komentar
SHARE
URL telah disalin
Seruan untuk berpartisipasi Pilkada Solo 2020 terus dilakukan. Salah satunya 
dengan membuat poster Pilkada damai.
Ragam poster sambut pilkada di Solo, Jawa Tengah (Foto: Agung Mardika)
Jakarta -

Perdebatan yang muncul di masa pandemi selalu saja membahas tentang apa yang 
seharusnya diprioritaskan oleh negara, apakah itu kesehatan atau ekonomi. 
Pro-ekonomi akan memilih untuk melakukan kegiatan seperti biasa dengan 
menerapkan protokol kesehatan, sedangkan pro-kesehatan akan lebih memilih untuk 
lockdown atau melaksanakan PSBB. Namun, dalam tulisan ini tidak membahas 
hal-hal tersebut. Tulisan ini lebih membahas tentang aspek politiknya, yaitu 
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak yang tetap dijalankan meskipun di 
masa pandemi Covid-19.

Pilkada merupakan kegiatan yang dianggap sebagai pesta demokrasi rakyat. Hal 
ini dikarenakan ketika pemilihan tersebut berlangsung, masyarakat pada umumnya 
memiliki hak untuk memilih calon pemimpin mereka. Namun, apakah pesta tersebut 
layak dilakukan di masa pandemi seperti sekarang? Dengan jumlah kasus yang 
tidak kunjung menurun dan beberapa orang dari penyelenggara maupun bakal 
pasangan calon terjangkit Covid-19 menimbulkan pertanyaan tersendiri tentang 
bagaimana keberlangsungan Pilkada.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai panitia pelaksana mengatasi permasalahan 
Pilkada di masa pandemik dengan menetapkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum No 6 
Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati 
dan Wakil Bupati, Dan/Atau Walikota dan Wakil Walikota Serentak Lanjutan dalam 
Kondisi Bencana Nonalam Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang kemudian 
diubah menjadi PKPU No 10 Tahun 2020 dan kemudian diubah lagi menjadi PKPU No 
13 Tahun 2020. Sayangnya, dalam pelaksanaannya masih banyak ditemui pelanggaran 
oleh para calon dalam melaksanakan tahapan di Pilkada.

Pelanggaran

Beberapa minggu yang lalu telah dilakukan pendaftaran calon kepala daerah yang 
kemudian dilanjutkan ke tahapan verikasi dan pengumpulan datanya. Lucunya di 
masa pandemik seperti sekarang yang mana rata-rata tingkat bertambahnya kasus 
Covid-19 sejumlah 3000 jiwa lebih tidak melunturkan semangat tim sukses untuk 
mengiringi bakal pasangan calon (bapaslon) ketika mendaftarkan diri. Bahkan di 
beberapa daerah, ada pasangan calon maupun tim suksesnya yang secara sadar 
mengumpulkan massa untuk menemani paslon mendaftarkan diri.

Misalnya pasangan calon (paslon) Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Malang, 
Lathifah - Didik yang mencalonkan diri dengan diiringi lebih dari 40 becak dan 
musik rebana, ataupun paslon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surabaya, Eri 
Cahyadi – Armuji yang membawa massa sejumlah ratusan orang sambil berjalan 
kaki. Contoh pelanggaran tersebut hanya sebagian kecil dari banyaknya 
pelanggaran yang dilakukan paslon dalam tahapan menuju Pilkada.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat adanya 243 dugaan pelanggaran protokol 
kesehatan dalam proses pendaftaran bapaslon kepala daerah. Pelanggaran tersebut 
menyalahi PKPU No 6 Tahun 2020 pasal 5 yang menjelaskan diharuskannya jaga 
jarak dan larangan berkerumun di satu tempat.

Momen Pilkada di masa krisis juga berpotensi menjadi ladang praktik politik 
patronase yang dilakukan oleh calon petahana dan non-petahana. Keadaan ekonomi 
masyarakat yang tidak stabil menyebabkan kebutuhan masyarakat akan bantuan 
ekonomi dari pemerintah semakin tinggi.

Situasi tersebut memungkinkan petahana yang mencalonkan diri kembali di Pilkada 
akan memanfaatkan dana hibah yang memang sudah semestinya hak masyarakat 
menjadi suatu situasi yang mana seakan-akan pemerintah atau calon kepala daerah 
tersebutlah yang membantu masyarakat. Begitu pula dengan calon non-petahana 
yang "membantu" dengan dana privatnya. Hal ini memunculkan kesan kampanye dari 
calon kepala daerah secara implisit.

Potensi Kluster Baru

Peraturan dari pelaksanaan kampanye juga turut menjadi perhatian banyak orang. 
Hal ini dikarekan KPU mengeluarkan kebijakan yang memperbolehkan paslon untuk 
mengadakan konser musik dan olahraga bersama secara langsung sebagai bentuk 
kampanye. Hal ini tercantum dalam PKPU No 10 Tahun 2020 pasal 63 tentang 
Perubahan Atas PKPU Nomor 6 Tahun 2020.

Merespons atensi dari masyarakat tersebut, KPU mengeluarkan PKPU No 13 Tahun 
2020 Tentang Perubahan Kedua Atas PKPU No 6 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan 
Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Dan/Atau Wali 
Kota Dan Wakil Wali Kota Serentak Lanjutan Dalam Kondisi Bencana Non-alam 
Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Musik konser dan segala kegiatan publik yang mengundang banyak orang memang 
telah dilarang dalam peraturan perubahan. Hal ini patut diapresiasi karena 
menandakan KPU tanggap terhadap respons masyarakat, meskipun kebijakan mengenai 
konser musik memang sudah seharusnya tidak diperbolehkan sejak awal mengingat 
kondisi krisis seperti saat ini. Namun, hal yang saat ini perlu dikritisi ialah 
hukuman kepada paslon yang menyelenggarakan bentuk kampanye kegiatan publik 
tersebut yang terkesan tidak memberikan efek jera. Tentu hukuman yang tidak 
membuat jera tersebut berpotensi memunculkan "pelanggaran umum" dari para 
paslon.

Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengungkap bahwa hingga 
14 September 2020, terdapat 60 bakal calon kepala daerah yang dinyatakan 
positif Covid-19. Belum lagi terjangkitnya beberapa penyelenggara pilkada 
seperti Arief Budiman (Ketua KPU), Evi Novida Ginting (Komisioner KPU), Pramono 
Ubaid (Komisioner KPU), dan beberapa anggota KPU daerah lainnya menunjukkan 
bahwa bayang-bayang penyebaran Covid-19 tidak akan lepas dari pelaksanaan 
Pilkada.

Perlu dicatat juga bahwa para aktor yang terlibat dalam Pilkada pada umumnya 
memiliki mobilitas yang tinggi. Selain itu, dari 270 daerah yang 
menyelenggarakan Pilkada, setengahnya merupakan daerah dengan zona merah dan 
oranye Covid-19. Beberapa contoh kasus dan bukti tersebut membuktikan bahwa 
potensi kluster di Pilkada akan sangat mungkin terjadi.

Demokrasi yang Sakit

Berbagai permasalahan di atas seakan memperlihatkan bahwa pelaksanaan Pilkada 
yang dianggap sebagai pesta demokrasi itu berpotensi menimbulkan banyak 
kerugian dan masalah. Namun, memang seperti itulah keadaannya bila tidak ada 
pembenahan dari pemerintahan pusat, KPU sebagai penyelenggara pilkada, maupun 
lembaga yang membuat perundangan. Poisoned democracy menjadi istilah yang pas 
dalam hajatan demokrasi tahun ini.

Poisoned democracy atau racun demokrasi dapat dimaknai sebagai demokrasi yang 
"sakit". Demokrasi tidak berjalan dengan semestinya --pemerintahan dari, untuk, 
dan oleh rakyat. Demokrasi seharusnya menjadi ajang masyarakat dapat menyatakan 
pendapatnya dan ikut serta dalam proses penyelenggaraan negara; salah satu 
bidang penyelenggaraan tersebut adalah bidang kesehatan. Terlihat ironis bila 
Pilkada yang diagung-agungkan sebagai pesta demokrasi rakyat justru mengancam 
kesehatan rakyat itu sendiri. Pilkada hanya menjadi urgensitas bagi elite 
politik dan pemangku kepentingan yang memiliki power untuk memperlancar 
kepentingannya masing-masing.

Tidak cukup bila setiap kegiatan hanya diatur dalam kaliimat "dilakukan sesuai 
protokol kesehatan" karena kenyataannya dari awal berjalannya adaptasi 
kebiasaan baru (new normal) hingga saat ini masih terjadi penambahan jumlah 
kasus yang signifikan. Perlu adanya kebijakan strategis yang berdampak masif 
untuk mengatur pelaksanaan Pilkada. Kebijakan tersebut bisa berupa penundaan, 
khususnya di daerah yang merupakan zona merah dan zona oranye penyebaran 
Covid-19, ataupun pengubahan sistem pemilihan. DPR sebagai lembaga legislatif 
juga mampu menggunakan perannya untuk merevisi UU Pilkada agar perundangan 
mengenai Pilkada di tengah pandemi lebih kuat.

Sudah seharusnya pemerintah menjamin human security dari warga negaranya. Hak 
konstitusi memang menjadi hak setiap warga negara, namun hak kesehatan harus 
menjadi prioritas negara karena berhubungan dengan keberlangsungan hidup tiap 
orang. Jangan sampai pemenuhan hak konstitusi warga negara justru menjadi 
potensi menghilangnya hak kesehatan bagi masyarakat, terlebih lagi di masa 
krisis seperti saat ini.

Azizah Khusnul Karima mahasiswa Universitas Brawijaya

(mmu/mmu)
pilkada 2020
demokrasi








Kirim email ke