1.:

Rizal Ramli Ingatkan Sejarah Runtuhnya Soeharto Hanya Butuh 20 Hari
Aksi Demonstrasi 
Rabu, 07 Oktober 2020 | 22:45 WIB

https://www.netralnews.com/news/nasional/read/224547/rizal.ramli.ingatkan.sejarah.runtuhnya.

JAKARTA, NETRALNEWS.COM - Mantan Menteri Kordinator Kementerian
Kemaritiman era Presiden Joko Widodo, Rizal Ramli mengingatkan banyak
pihak terkait sejarah runtuhnya Orde baru.

Menurut RR sapaan akrabnya, masyarakat dan segenap elemen menjatuhkan
Presiden Soeharto hanya butuh lebih dari 20 hari. 

Malahan, kata Menteri Perekonomian era Presiden Abdurahman Wahid itu,
rusuh bermula dari tanah Sulawesi hingga Jakarta pada puncaknya.

Hal itu diungkapkan pemilik slogan Kepret rajawali lewat akun resmi
twitternya @RamliRizal seperti dilansir Rabu (7/10/2020).

"Flashback: Yg sok tahu, analisa kacangan dan ndak ngerti sejarah, ya
gitu kepedean (Ketawa) Demonstrasi besar2an jatuhkan Soeharto itu
dimulai tgl 2 Mei di Makassar, seminggu kemudian Medan, Solo, Jkt akhir
Minggu Mei, habis itu Soeharto Jatuh. Hanya butuh waktu 20an hari
(tanda maaf)," tulisnya. 

Reporter : PD Djuarno 
Editor : Nazaruli Tag:

    


2.:
AJI: Omnibus Law Rugikan Pekerja Jurnalis dan Mengancam Demokratisasi
Penyiaran 
Rabu, 07 Oktober 2020 | 23:25 WIB

shttps://www.netralnews.com/news/nasional/read/224548/aji-omnibus-law-rugikan-pekerja-jurnalis-dan-mengancam-demokratisasi-penyiaran



JAKARTA, NETRALNEWS.COM - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara resmi
telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja
menjadi undang-undang pada Senin (5/10/2020) meski pembahasannya
mendapat kecaman luas publik. Pengesahan yang berlangsung saat
Indonesia masih di bawah tekanan pandemi ini didukung mayoritas fraksi
di DPR, yaitu PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, PPP, dan
PAN. Hanya Fraksi Partai Demokrat dan PKS yang menolak pengesahannya.

Undang-undang sapujagat ini berusaha mengubah sejumlah undang-undang
sekaligus. Semula akan mencakup 79 undang-undang, belakangan ada yang
dikeluarkan dari pembahasan namun ada juga yang dimasukkan lagi
menjelang akhir. Undang-undang yang berhubungan dengan jurnalis dan
media yang diubah adalah Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang
Pers, Undang Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, dan Undang
Undang Ketenagakerjaan. Undang Undang Pers kemudian dikeluarkan dari
pembahasan.

Kritik terbesar publik terhadap pembahasan ini adalah pada soal
prosedur pembahasan yang cenderung mengabaikan aspirasi publik yang
terdampak langsung oleh regulasi ini. Meski Indonesia dilanda pandemi,
yang itu diikuti dengan adanya sejumlah pembatasan bergerak untuk
mencegah penyebaran virus, pemerintah dan DPR tetap meneruskan
pembahasan. Ada tekanan kuat agar pembahasannya dihentikan agar negara
ini fokus pada penanganan Covid-19 dan mengurangi kegaduhan publik,
namun aspirasi itu tak diengarkan pemerintah dan DPR.

Selain dari aspek prosedur pembahasan, penolakan publik terutama pada
substansi dari Omnibus Law yang dinilai sangat merugikan buruh dan
kepentingan negara dalam jangka panjang. Pemerintah merevisi cukup
banyak pasal Undang Undang Ketenagakerjaan, yang semangatnya terlihat
untuk memberikan kemudahan kepada pengusaha tapi itu justru merugikan
pekerja. Undang-undang baru ini juga melonggarkan kebijakan untuk
mendorong investasi namun akan memiliki implikasi yang membahayakan
lingkungan dalam jangka panjang.

Menyikapi pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja tersebut, Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) menyatakan sikap, yakni:

1. Mengecam pengesahan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja karena
dilakukan secara tergesa-gesa, tidak transparan dan mengabaikan
aspirasi publik. Pembahasan undang-undang dipersoalkan sejak awal
karena rendahnya partisipasi publik dalam pembahasannya, terutama dari
kelompok yang terdampak langsung dari regulasi tersebut, di antaranya
adalah buruh. Pertanyaan soal partisipasi itu makin besar karena DPR
dan pemerintah ngotot tetap melakukan pembahasan pada saat negara ini
menghadapi pandemi. Saat undang-undang ini disahkan, kasus infeksi
sudah lebih dari 311.000 dan lebih dari 11.000 meninggal. 

Sikap ngotot pemerintah dan DPR ini menimbulkan pertanyaan soal apa
motif sebenarnya dari pembuatan undang-undang ini. Kami menilai bahwa
pembahasan yang cenderung tidak transparan dan mengabaikan aspirasi
kepentingan publik ini karena pemerintah ingin memberikan insenstif
yang besar kepada pengusaha agar investasi makin besar meski
mengorbankan kepentingan buruh dan membahayakan lingkungan hidup.
Pemerintah Joko Widodo sendiri sejak awal memang menggadang-gadang
Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja ini untuk menggenjot investasi.

2. Mengecam pengesahan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja karena
merevisi pasal-pasal dalam Undang Undang Ketenagakerjaan yang justru
mengurangi kesejahteraan dan membuat posisi buruh lebih lemah posisinya
dalam relasi ketenagakerjaan. Hal ini ditunjukkan dari revisi sejumlah
pasal tentang pengupahan, ketentuan pemutusan hubungan kerja, ketentuan
libur dan pekerja kontrak. Omnibus law ini membolehkan PHK dengan
alasan efisiensi, perusahaan melakukan penggabungan, peleburan atau
pemisahan. Padahal putusan Mahkamah Konstitusi pada 2012 melarang PHK
dengan alasan efisiensi. 

Omnibus Law juga menghapus aturan mengenai jangka waktu perjanjian
kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak dan menyerahkan
pengaturannya melalui Peraturan Pemerintah. Praktek ini tentu saja bisa
merugikan pekerja media yang cukup banyak tidak berstatus pekerja
tetap. Ketentuan baru ini membuat status kontrak semacam ini akan
semakin luas dan merugikan pekerja media. Omnibus law juga mengurangi
hari libur, dari semula bisa dua hari selama seminggu, kini hanya 1
hari dalam seminggu. Pasal soal cuti panjang juga dihapus dan menyebut
soal pemberian cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah
pekerja/buruh bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus. 

Ketentuan soal ini juga disebut harus diatur dalam perjanjian kerja
bersama. Padahal kita tahu bahwa mendirikan serikat pekerja di media
itu sangat besar tantangannya sehingga sebagian besar media kita tidak
memiliki serikat pekerja. Omnibus Law juga menghapus pasal sanksi bagi
pengusaha yang tidak membayarkan upah sesuai ketentuan, Ini bisa
menjadikan kesejahteraan jurnalis makin tidak menentu karena peluang
pengusaha memberikan upah layak semakin jauh karena tidak ada lagi
ketentuan soal sanksi.

3. Mengecam pengesahan Omnibus Law karena merevisi Undang Undang
Penyiaran dengan ketentuan baru yang tidak sejalan dengan semangat
demokratisasi di dunia penyiaran. Omnibus Law ini akan membolehkan
dunia penyiaran bersiaran secara nasional, sesuatu yang dianggap
melanggar oleh Undang Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.
Padahal, larangan siaran nasional ini justru untuk mendorong semangat
demokratisasi penyiaran, yaitu memberi ruang pada budaya dan ekonomi
lokal bertumbuh. 

Omnibus Law juga memberi kewenangan besar kepada pemerintah mengatur
penyiaran. Sebab, pasal 34 yang mengatur peran KPI dalam proses
perijinan penyiaran, dihilangkan. Dihapusnya pasal tersebut juga
menghilangkan ketentuan batasan waktu perizinan penyiaran yaitu 10
tahun untuk televisi dan 5 tahun untuk radio dan juga larangan izin
penyiaran dipindahtangankan ke pihak lain. Ketentuan penting lain yang
diubah Omnibus Law adalah diberikannya wewenang migrasi digital
sepenuhnya kepada pemerintah. Padahal migrasi digital bukan hanya
semata alih teknologi tetapi juga perubahan tata kelola penyiaran yang
selayaknya diatur negara pada tingkat UU, bukan di Peraturan
Pemerintah. 

Reporter : PD Djuarno 
Editor : Nazaruli



  • [GELORA45] Runtuhnya Soeharto... 'Lusi D.' lus...@rantar.de [GELORA45]

Kirim email ke