Monday, October 5, 2020
https://erizeli.aboutbusiness.info/2020/10/omnibus-law-dan-rasionalitas.html?m=1
Omnibus Law dan rasionalitas.
<https://1.bp.blogspot.com/-ZALSNNwGogU/X3tstnnY_jI/AAAAAAAAR-k/TtkTpqXxqLwu6bo5xlSeOpLS-hKI2ih0QCNcBGAsYHQ/s1600/omi.jpg>
Kalau anda jadi pengusaha dan Perusahaan anda berencana berinvestasi
dalam skala besar di Indonesia, maka anda harus berhadapan dengan rimba
perizinan. Sangking padatnya, rimba itu menutupi pandangan ke langit.
Kalau anda tidak hati hati, di rimba itu anda bisa kena mangsa binatang
buas, dan tersesat. Begitu gambaran tentang panjang dan rumitnya
perizinan di Indonesia. Tetapi kalau panjang dan rumitnya perizinan itu
dilaksanakan dengan standar skill da moral yang hebat dari birokrat,
tidak ada masalah. Toh bagaimanapun semua perizinan itu adalah standar
kepatuhan bagi kepentingan negara. Yang jadi masalah, standar moral dan
skill aparat rendah dan lebih banyak untuk kepentingan pribadi dapatkan
suap.
Engga percaya? Mari kita lihat dan telusuri perizinan yang sangat basic.
Katakanlah anda ingin membuka usaha kawasan Industri. Itu hanya perlu
izin lokasi dan kemudian bangun kawasan berserta fasilitasnya.
Sederhananya anda beli lahan sesuai izin lokasi, kemudian bangun.
Selesai. Tetapi dalam proses yang ada, engga sesederhana itu. Pertama
anda harus dapatkan izin dari BKPM. Kemudian izin dari BKPM itu harus
ditindak lanjuti ke tingkat Daerah dan instansi terkait. Karena
berdasarkan UU , hak tanah ada pada daerah. Anda harus dapatkan izin
lokasi dari Pemda. Hak Pemda pun berjenjang dari tingkat 1 sampai
tingkat 2. Semua harus anda lewati. Bayangin, izin BKPM tidak menjamin
otomatis anda berhak mendapatkan izin lokasi. Semua tergantung Daerah.
Ada biaya resmi dan proses loby yang tidak murah.
Lucunya setelah berlelah mendapatkan izin lokasi, mau bebaskan tanah
silahkan saja. Tetapi belum ada jaminan bisa langsung bangun. Anda masih
harus dapatkan lzin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
(PPLH). Mau berbahaya atau tidak usaha anda wajib dapat izin PPLH. Kalau
bersinggungan langsung dengan alam maka urusannya lebih runyam lagi.
Yang sederhana saja seperti bangun kawasan perkantoran atau pabrik, itu
ada 11 lapis izin PPLH yang harus anda dapatkan. Urusannya dari tingkat
Menteri sampai ke tingkat Bupati. Kadang walau izin PPLH sudah didapat,
tidak ada jaminan anda aman. Masih ada lagi ancaman yang bisa batalkan
izin itu. Apa? LSM. Mereka bisa kerahkan aksi demo sampai ke pengadilan
menentang pendirian proyek. Kalau kalah di pengadilan, itu derita anda.
Pemerintah yang kasih izin, hanya bilang maaf.
Ok, lanjut. Katakanlah izin PPLH sudah di tangan. Apakah anda bisa
langsung bangun? Belum. Masih ada lagi izin IMB. Izin ini mengharuskan
anda melampirkan design bangunan untuk menentukan besaran biaya
retribusi yang harus dibayar. Dan kalau Design dan layout dianggap tidak
sesuai dengan RTRW, ya IMB tidak diberikan. Soal izin lain sudah di
tangan tidak ada pengaruhnya. Anda silahkan gunakan izin yang ada tetapi
engga boleh dirikan bangunan. Konyol ya. Begitulah logika perizinan.
Satu sama lain saling sandera. Sehingga proses prizinan adalah juga
proses distribusi kekuasaaan dari RT, Pemda sampai ke Menteri. Semua ada
ongkosnya.
Kalau semua izin sudah di tangan. Dan anda siap bekerja. Ada lagi
masalah. Terutama kalau anda beli mesin dari luar negeri yang butuh
Tenaga Kerja Asing (TKA) untuk instal mesin atau anda berkerja sama
dengan asing. Dapatkan izin bagi TKA juga tidak mudah. Anda harus
mendapatkan izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Proses mendapatkan izin lumayan rumit. Anda harus mengantongi beberapa
perizinan seperti Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), Visa
Tinggal Terbatas (VITAS), dan Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing
(IMTA). Bayangin ajak kalau TKA ada ratusan. Betapa repotnya urus izin
masing masing mereka. Kalaupun lolos semua izin itu, belum tentu aman
bagi TKA. Karena masih bisa diributin sama Buruh lokal. Masih bisa
diributin sama Aktifis atau ormas buruh. Selama ribut itu sudah pasti
proses produksi terganggu.
Setelah usaha berdiri dengan mengantongi izin ini dan itu, anda juga
harus menghadapi ketentuan mengenai perburuhan. Ini sangat sensitip.
Karena buruh adalah juga mesin politik bagi para politisi. Jadi kapan
saja bisa meledak membuat semua izin tidak ada artinya. Kalau anda
menerima pekerja, maka anda tidak bisa pecat buruh tanpa mereka setuju.
Hebat engga?. Gimana kalau pekerjaan sudah selesai atau adanya perubahan
alur produksi sehingga perlu pengurangan buruh. Itu engga ada urusan.
Mereka engga mau diberhentikan, anda engga bisa pecat. Tetap harus
bayar. Kalau akhirnya sengketa di pengadilan, anda engga bisa atur
Hakim, pejabat pemerintah, Serikat pekerja dan bayar lawyer, siap siap
aja dipanggang oleh mereka. Artinya lagi lagi harus keluar uang kalau
ingin selamat.
Belum lagi soal ketentuan UMR. Itu bisa setiap tahun naik tanpa peduli
produktifitas naik atau engga. Serikat Pekerja juga berpengaruh
menentukan jam kerja lembur. Jadi anda engga bisa seenaknya mengatur jam
lembur walau produksi mengharuskan peningkatan jam kerja. Kalau anda
pecat atau berakhir kontrak kerja , anda harus bayar uang pesangon.
Engga mau? siap siap diributin serikat pekerja. Siap siap perang di
pengadilan. Hampir semua pengusaha stress dengan ulah pekerja ini.
Apalagi kalau mereka bandingkan dengan China dan Vietnam. Uh. bisnis di
Indonesia itu bukan cari uang tetapi cari masalah.
Kalau anda pernah berinvestasi di Luar negeri katakanlah di Vietnam,
Malaysia atau Thailand, anda akan bilang seperti cerita awal tulisan
saya. Perizinan di Indonesia seperti rimba belantara. Di dalamnya ada
pemangsa. Bisa membuat anda tersesat dan frustasi. Pertanyaannya adalah
mengapa anda harus masuk rimba belantara? kalau ada banyak pilihan.
Apalagi sudah ada kerjasama regional bidang investasi dan perdagangan.
Artinya kalau anda butuh bahan baku dari Indonesia , anda tidak perlu
bangun pabrik di Indonesia. Karena sudah ada ME- Asean, Bangun di
Vietnam atau negara ASEAN lainnya, soal tarif sama saja dengan
indonesia.Saat sekarang kerjasama regional bukan hanya diantara negara
ASEAN, tetapi juga ada China Free Trade Asean, Korea Free Trade Asean,
Jepang Free Trade Area, APEC, Indo Pacific.
Nah keberadaan UU Omnibus law bertujuan untuk memangkas perizinan
sehingga ramah bagi investor. Sebetulnya pemangkasan itu bukan berarti
kekuasaan pemerintah berkurang dan terkesan memanjakan pengusaha. Tetapi
lebih kepada aturan yang rasional dengan prinsip good governance.
Contoh, kalau sudah ada Izin lokasi, untuk apa lagi ada izin IMB dan
PPLH. Karena bukankah izin lokasi itu diberikan atas dasar Rencana
Tata Ruang Wilayah?. Artinya by design pemerintah sudah memperhatikan
semua aspek ketika menentukan RTRW. Aspek peruntukan lahan, sampai
kepada PPLH. Itu sebabnya UU Omnibus law menghapus izin IMB. Khusus PPLH
hanya untuk usaha yang sangat berbahaya, seperti Industri smelter dan
bahan kimia.
Berkaitan dengan tenaga kerja, tidak bisa menempatkan perusahaan dalam
posisi equal dengan karyawan. Karena resiko ada pada perusahaan dan
secara organisasi perusahaan punya sistem pembinaan terhadap buruh dan
pekerja. Apa jadinya kalau posisi karyawan setara dengan perusahaan?
Jelas upaya pembinaan engga akan efektif. System reward & punishment
engga jalan. Lah gimana mau jalan.? Karyawan dan boss equal. Itu
sebabnya UU Omnibus memberikan hak kepada Perusahaan memberhentikan
pekerja kalau pekerjaan sudah selesai. artinya, jangka waktu kontrak
kerja berada di tangan pengusaha. UU Omnibus law ini sangat rasional ,
bahwa perusahaan tidak bayar orang tetapi bayar kerjaan atau
produktifitas. Kalau engga ada produktifitas ya sorry saja. Mending
keluar. Silahkan ambil uang pesangon. Masih banyak di luar sana yang mau
kerja serius.
Soal UMR itu dasarnya adalah tingkat pertumbuhan ekonomi daerah. Semakin
tinggi pertumbuhan ekonomi daerah semakin tinggi UMR. Itu wajar saja.
Karena pertumbuhan ekonomi biasanya dipicu oleh inflasi dan tentu
dampaknya harga akan naik. Sebelumnya UMR ditetapkan sesuka PEMDA tanpa
memperhatikan pertumbuhan ekonomi. Jusru itu tidak adil dari sisi
pekerja maupun Pengusaha. Dan lagi UMR itu hanya patokan minimal saja.
Bukan keharusan jumlahnya sebesar itu. Kalau memang buruh itu
produktifitasnya tinggi, tentu perusahaan akan bayar upah lebih tinggi
dari UMR. Di mana mana pengusaha juga ingin jadikan buruh itu sebagai
asset bernilai meningkatkan pertumbuhan usaha. Jadi egga perlu terlalu
kawatir. Sebaiknya focus aja bagaimana meningkatkan produktifitas.
UU Omibus law juga memangkas perizinan untuk TKA. Sangat sederhana yaitu
kalau perusahaan sudah dapat izin Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing
(RPTKA) ya sudah. Dia tinggal datangkan TKA. Selagi tidak melanggar
RPTKA, pekerja asing engga perlu repot lagi dapatkan berbagai izin.
Mengapa? dalam RPTKA itu sudah ada standar kepatuhan yang harus dipenuhi
perusahaan seperti kriteria TKA, upah dan lain lain. Secara berkala akan
ada audit dari pemerintah terhadap penerapan RPTKA. Kalau mereka
melanggar ya izin dicabut.
Menurut saya, UU Omnibus law ini bukan berarti Jokowi anti demokrasi
atau anti otonomi daerah. Tetapi sebagai solusi agar Indonesia berubah.
Dari birokrasi menjadi meritokrasi. Dari dilayani menjadi melayani.
Mengapa ? itu sebagai jawaban atas tantangan global yang semakin terbuka
dan berkompetisi. Tanpa itu, sulit bagi kita mendatangkan investasi.
Tanpa investasi pertumbuhan ekonomi akan lambat dan tentu semakin besar
masalah sosial dan politik yang dihadapi bangsa ini akibat pengangguran
dan kemiskinan. Memang UU Omnibus law ini tidak segera bisa dirasakan.
Namun langkah besar untuk perubahan pasti akan membuahkan hasil baik.
Erizeli
Bandaro<https://www.blogger.com/profile/01925231835467388002>at11:59 AM
<https://erizeli.aboutbusiness.info/2020/10/omnibus-law-dan-rasionalitas.html?m=1>