Menanti Ekonomi Hatta di Tengah Pandemi
R53<https://www.pinterpolitik.com/author/r53-203>-Friday, October 23,
2020 15:51
https://www.pinterpolitik.com/menanti-ekonomi-hatta-di-tengah-pandemi
/Wakil presiden pertama RI, Mohammad Hatta (Foto: Minews ID)/
/8 min read/
*Pandemi Covid-19 telah benar-benar menjadi bencana ekonomi yang
memperkuat alasan pemerintah untuk mengesahkan RUU Ciptaker.
Namun, seperti dalam kritik Rizal Ramli, mungkinkah jawaban atas
kondisi ekonomi adalah dengan menerapkan sistem ekonomi UUD 1945
seperti yang digagas oleh Bung Hatta?*
------------------------------------------------------------------------
*PinterPolitik.com* <https://www.pinterpolitik.com/a>
Dewasa ini, ekonomi menjadi pembahasan vital yang tidak terelakkan. Ini
pula yang menjadi kelumrahan kita mengapa pemerintah lebih melihat
pandemi Covid-19 sebagai bencana ekonomi, alih-alih sebagai bencana
kesehatan. Resesi yang terjadi akibat pandemi juga telah mendorong
berbagai pihak untuk memutar otak guna memberikan saran terbaik agar
ekonomi tidak jatuh semakin dalam.
Dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) pada*20 Oktober*
<https://www.youtube.com/watch?v=98VswDkxC_c&ab_channel=IndonesiaLawyersClub>2020,
ekonom senior Rizal Ramli (RR) menunjukkan kapasitasnya dalam
mengevaluasi dan memberi saran terhadap kondisi ekonomi saat ini.
Menariknya, mantan Menko Kemaritiman ini menyebutkan bahwa kejatuhan
ekonomi sebenarnya sudah terjadi bahkan sebelum pandemi mendera.
Selain itu, saran RR juga tidak kalah menarik. Tuturnya, seharusnya
sistem ekonomi dijalankan sesuai dengan UUD 1945. Menurutnya, Mohammad
Hatta dan pendiri bangsa lainnya telah menetapkan sistem ekonomi jalan
tengah yang tidak otoriter seperti komunis, namun tidak pula
“ugal-ugalan” seperti ekonomi kapitalistik.
Lantas, mungkinkah sistem ekonomi ala Bung Hatta adalah evaluasi dan
jawaban atas sistem ekonomi saat ini? Lalu, apakah Undang-undang Cipta
Lapangan Kerja (UU Ciptaker) sejalan dengan sistem ekonomi tersebut?
*Pasar Bebas*
Dengan stagnannya akumulasi kekayaan sebelum abad 18, Adam Smith melalui
/The Wealth of Nations (1776)/kemudian hadir memperkenalkan konsep
perdagangan bebas sebagai kritik sekaligus jawaban.
Guntur Freddy Prisanto dalam disertasinya/Market Justice: Kritik atas
Determinasi Pasar Neoklasik/ menyebutkan bahwa sebelum peradaban manusia
mengenal konsep perdagangan bebas, sistem ekonomi kuno sampai abad
pertengahan melakukan akumulasi kekayaan dengan disandarkan pada praktik
pengumpulan emas dan perak, serta melakukan perbudakan.
Ini membuat akumulasi kekayaan sebenarnya tidak terjadi, melainkan
perpindahan atau penumpukan kekayaan di satu tempat. Alhasil, praktik
tersebut hanya bekerja untuk mengisi kantong-kantong golongan kaya,
kuat, dan berpengaruh, serta hanya menyisakan kesengsaraan bagi mereka
yang lemah dan tidak beruntung.
Oleh karenanya, Adam Smith kemudian mempromosikan perdagangan bebas, di
mana sistem ini memungkinkan setiap pihak untuk memiliki akses terhadap
akumulasi kekayaan, sehingga kemakmuran atau kesejahteraan tidak lagi
menjadi mimpi kosong belaka.
Akan tetapi, panggang tampaknya jauh dari api. Sistem ekonomi berbasis
perdagangan bebas justru tetap melahirkan kesenjangan ekonomi, bahkan
tidak sedikit disebut melakukan perbudakan gaya baru karena dijalankan
di atas asas individualisme atau/self-interest/.
Dengan sistem ekonomi global yang mengadopsi pasar bebas, nyatanya,
kesejahteraan bangsa-bangsa yang menjadi judul buku Adam Smith tidak
terjadi, melainkan menyisakan kesenjangan yang lebih dalam.
Sebastian Dullien, Hansjörg Herr, dan Christian Kellermann dalam
bukunya/Kapitalisme yang Layak/menyebutkan bahwa kapitalisme pasar bebas
telah mendapatkan kritik keras setelah terjadinya Depresi Besar pada
tahun 1930-an. Berbagai pakar ekonomi, seperti Karl Polanyi, sejak tahun
1944 telah menegaskan bahwa pasar harus diatur dengan peraturan yang
ketat. Jika tidak demikian, pasar akan menjadi “penggilingan setan”.
*Pemikiran Ekonomi Hatta*
Menurut RR, Hatta yang belajar*ekonomi*
<https://republika.co.id/berita/selarung/suluh/17/08/17/ouu2wg282-hatta-belajar-ekonomi-sampai-ke-negeri-belanda>di
Erasmus Universiteit Rotterdam, Belanda sejak tahun 1921 telah menyadari
buruknya kapitalisme pasar bebas, sehingga mempromosikan sistem ekonomi
jalan tengah, di mana negara harus hadir untuk menjamin kesejahteraan
masyarakat. Lanjut RR, sistem ekonomi ini sama seperti di negara-negara
Skandinavia yang menerapkan negara kesejahteraan atau/welfare state/.
Senada, Fadli Zon dalam disertasinya/Pemikiran Ekonomi Kerakyatan
Mohammad Hatta (1926 – 1959)/juga menyebutkan bahwa ekonomi kerakyatan
Hatta adalah gagasan negara kesejahteraan yang menjalankan pasar dengan
regulasi yang ketat. Menurut Fadli, ciri khas ekonomi kerakyatan yang
diusung Hatta adalah koperasi, di mana ini tertuang dalam UUD 1945
sebelum diamendemen.
Sebelum diamendemen, penjelasan Pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa
koperasi merupakan bangun usaha yang sesuai dengan asas kebersamaan
(/mutualism/) dan kekeluargaan (/brotherhood/) – dua pilar pokok dari
demokrasi ekonomi (/economic democracy/).
Menariknya, sosok yang begitu mempromosikan demokrasi liberal dan
kapitalisme, yakni Francis Fukuyama juga menyadari betapa pentingnya
praktik ekonomi yang dijalankan di atas ikatan emosi semacam itu.
Dalam bukunya /Trust: The Social Virtues and the Creation of
Prosperity/, Fukuyama menyebutkan bahwa prinsip-prinsip individualisme
yang cenderung egois dan tidak menjunjung ikatan kolektif, justru
berkonsekuensi tidak hanya pada praktik politik, melainkan juga buruk
bagi ekonomi.
Tanpa adanya ikatan cinta kasih atau perasaan kolektif, /trust/ atau
rasa saling percaya akan sulit tumbuh. Sebagai pengganti
/trust/ tersebut, biaya produksi tambahan untuk mengikat agen-agen
ekonomi harus dilakukan.
Dalam bukunya yang fenomenal, yakni /The End of History and the Last
Man/, Fukuyama juga telah menyinggung masalah ini. Menurutnya, jika
didasarkan pada prinsip-prinsip liberal, konsep kekeluargaan benar-benar
tidak berfungsi karena anggotanya tidak didasarkan pada ikatan cinta
kasih, melainkan pada kalkulasi untung-rugi (/cost-benefit calculus/).
Pun begitu pada tingkat asosiasi terbesar seperti negara. Prinsip
liberal atau individualisme justru dapat meniadakan bentuk-bentuk
patriotisme yang penting bagi keberlangsungan suatu komunitas.
Singkatnya, ekonomi kerakyatan Hatta adalah gagasan ekonomi kolektivis
yang mengedepankan pasar yang harus mampu menegakkan kategori imperatif,
khususnya mengenai keadilan. Pasar tidak boleh dilihat sebagai cara
untuk mengakumulasi kekayaan semata, melainkan harus dilihat sebagai
cara untuk mendistribusikan kesejahteraan.
*/Trickle Down Effect/*
Getirnya, melihat sistem ekonomi Indonesia, pemerintah tampaknya sulit
mewujudkan ekonomi kolektivis ala Hatta karena masih terjebak
dalam/trickle down effect/./Trickle down effect/ adalah mazhab ekonomi
yang memiliki asumsi bahwa pertumbuhan yang dihasilkan oleh pengusaha
swasta (khususnya pengusaha besar) akan dengan sendirinya “menetes ke
bawah”, ke para pekerja.
Dalam mazhab ini, pemerintah tidak memprioritaskan pemberian subsidi
atau bantuan kepada rakyat kecil atau usaha mikro, melainkan kepada
usaha makro karena dinilai lebih memberi sumbangan terhadap pertumbuhan
ekonomi.
Implementasi mazhab ini setidaknya sudah terlihat sejak era Soeharto.
RM. A. B. Kusuma dalam bukunya /Sistem Pemerintahan “Pendiri Negara”
Versus Sistem Presidensiel “Orde Reformasi”/menyebutkan bahwa di era
Soeharto terjadi konglomerasi dan subsidi besar kepada para konglomerat.
Pada tahun 1998, misalnya, ketika terjadi krisis moneter, untuk
menghindari kebangkrutan para pengusaha, pemerintah justru memutuskan
untuk membebankan “bunga utang” para pengusaha pada APBN sebesar Rp 60
triliun.
Tidak hanya itu, utang konglomerat yang sebesar Rp 650 triliun beserta
bunganya juga diserahkan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk
menanggungnya, yang diperkirakan baru lunas pada tahun 2030. Peristiwa
ini dikenal sebagai diubahnya /private debt/ (utang pribadi) menjadi
/public debt/ (utang publik).
Saat ini, mazhab ini masih kental terlihat. UU Ciptaker yang baru
disahkan, jelas memperlihatkan kecondongan ini. Keterpurukan ekonomi
akibat pandemi Covid-19 telah dijadikan justifikasi kuat untuk
memuluskan produk hukum tersebut. Tujuannya? Tentu saja untuk menarik
investasi sebanyak-banyaknya karena persoalan tumpang tindih regulasi
dinilai telah dijawab.
Padahal, apabila kita mengacu pada diskursus kekinian, mazhab/trickle
down effect/telah banyak dikritik dan dibantah. Kimberly Amadeo
dalam*tulisannya*
<https://www.thebalance.com/trickle-down-economics-theory-effect-does-it-work-3305572>/Why
Trickle-Down Economics Works in Theory But Not in Fact/menyebutkan bahwa
mazhab ini telah terbukti tidak bekerja. International Monetary Fund
(IMF) sendiri telah menolak mazhab ini.
Dalam laporan IMF yang dikutip Amadeo, disebutkan bahwa meningkatkan
pendapatan orang miskin dan kelas menengah justru yang sebenarnya
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Peningkatan kekayaan hanya 1 persen
untuk 20 persen orang berpenghasilan rendah menghasilkan pertumbuhan
0,38 persen dalam produk domestik bruto (PDB). Di sisi lain,
meningkatkan pendapatan 20 persen orang berpenghasilan tinggi teratas
justru menghasilkan pertumbuhan negatif 0,08 persen dalam PDB.
Dengan kata lain, untuk menjawab tantangan ekonomi, khususnya di tengah
pandemi Covid-19, pemerintah seharusnya lebih fokus memberikan subsidi
kepada pelaku usaha mikro atau UMKM. Dalam survei Organization of
Economic Cooperation Development (OECD), ditunjukkan bahwa sektor
UMKM justru yang menyerap*paling banyak*
<https://www.suara.com/bisnis/2018/10/10/153032/sekjen-oecd-sektor-umkm-serap-703-pekerja-indonesia?page=all>tenaga
kerja di Indonesia (70,3 persen).
Dengan kata lain, jika pemerintah berfokus untuk menjawab masalah
banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di tengah pandemi, bukankah
UMKM yang seharusnya diprioritaskan? Apalagi, Indonesia bukanlah negara
dengan kekayaan alam yang minim. Kita sebenarnya mampu mandiri secara
ekonomi, asalkan jargon nasionalisme dalam ekonomi benar-benar diterapkan.
Kita nantikan saja, apakah pandemi Covid-19 ini akan dijadikan momentum
untuk melakukan evaluasi terhadap strategi ekonomi yang selama ini
dilakukan. Fokus pemerintahan Jokowi untuk mendorong pembangunan masif
infrastruktur juga telah terbukti gagal dengan meningkat drastisnya
utang negara.
Tampaknya, para pemangku kebijakan publik harus melepas diri dari mazhab
kapitalisme pasar besar dan menengok kembali dengan serius sistem
ekonomi kolektivis Bung Hatta. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)