-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>





https://news.detik.com/kolom/d-5227019/tuhan-yang-berdiam-dalam-rumus-dan-angka?tag_from=wp_cb_kolom_list


Pustaka

Tuhan yang Berdiam dalam Rumus dan Angka

Muhammad Aswar - detikNews

Sabtu, 24 Okt 2020 13:05 WIB
0 komentar
SHARE
URL telah disalin
sains dan agama
Jakarta -

Judul: Sains dan Agama; Penulis: Albert Einstein; Penerjemah: Hari Taqwan 
Santoso; Penerbit: Circa, Juli 2020; Tebal: x + 120 halaman

Atas dasar apa Newton merasa perlu menghabiskan bertahun-tahun usianya demi 
mengamati benda langit? Apakah sekadar menguji penemuan pendahulunya, Kepler; 
ataukah demi menemukan apa yang kelak kita percayai sebagai hukum gravitasi dan 
mekanika benda langit?

"Kita sering berdebat perihal definisi agama. Tetapi sains, perkaranya, kita 
terus mereduksinya hanya sebagai kerja metodologis untuk mengurai simpul-simpul 
yang mengatur gerak tubuh manusia," demikian suatu kali Albert Einstein menulis 
tanggapan untuk Liberal Ministers' Club of New York City.

Maka, pengamatan Newton terhadap benda-benda langit pun tereduksi dan sampai 
kepada kita sekadar angka dan kalkulasi. Lantas kita terima dan yakini untuk 
menjelaskan mengapa kaki tak pernah bisa berjalan di udara dan air tak akan 
pernah mengalir ke tempat yang lebih tinggi; atau planet-planet di tata surya 
tidak jatuh ke Bumi lantaran terikat oleh gravitasi Matahari.

Kerja Newton menghasilkan pemahaman bahwa keteraturan alam semesta muncul 
justru karena saling terikat. Dan alam semesta bisa dikalkulasi disebabkan oleh 
keterikatan dan gerak yang berulang terus-menerus.

Tetapi di balik itu, kata Einstein, pemahaman saintifik juga menyimpulkan bahwa 
gerak manusia sama terikatnya dengan gerak benda-benda langit. Sebagaimana 
Jupiter tidak mungkin bertukar jalur dengan Saturnus ketika mengelilingi 
Matahari, manusia juga tidak bisa menggantikan kaki dengan tangan untuk 
berpijak di atas tanah.

"Manusia tidak bebas dalam berpikir, menunjukkan perasaan, dan bertindak, 
tetapi memiliki hubungan sebab-akibat seperti gerakan bintang," kata Einstein 
di depan Spinoza Society pada 1932.

Jagat raya dan kehidupan manusia telah ditentukan, dari awal hingga akhir, oleh 
kekuatan yang tidak bisa kita kendalikan. Semuanya telah ditentukan, baik untuk 
serangga maupun bintang. Manusia, sayuran, bahkan debu kosmis; jagat raya 
berdansa mengikuti irama misterius yang dimainkan dari jauh oleh entitas yang 
tak kasat mata (hal. 87).

Buku berjudul Sains dan Agama ini menyingkap selubung penalaran saintifik, 
bahwa justru ketika membicarakan agama, sains menunjukkan sisi manusiawinya. Di 
balik rumus-rumus yang mempercepat laju teknologi dan menerjemahkan tarian alam 
semesta, sains pada dasarnya tetap beranjak dari kebingungan manusia untuk 
mengenali dirinya.

Namun cara mereka menjelaskan teka-teki kehidupan tidak dengan bahasa verbal, 
melainkan menyembunyikannya dalam deretan rumus dan angka (hal. 39-40). 
Einstein tengah memindahkan pusat alam semesta dari Matahari ke manusia.

Dalam taraf pemahaman ini, barulah kita bisa duduk berhadap-hadapan 
membicarakan sains dan agama. Maka rumus F1= -F2 dari hukum ketiga gerak 
Newton, selain memungkinkan kapal-kapal bermuatan besar mengarungi samudera, 
mempercepat laju ekonomi dan peradaban, juga menyiratkan keteraturan alam 
semesta lewat keterikatan benda-benda. Einstein menyebutnya hukum kausalitas 
universal yang mengikat seluruh benda-benda langit untuk tidak bertabrakan dan 
buah apel untuk jatuh ke tanah. Persis seperti alunan musik yang memiliki 
irama. Tetapi siapa yang memainkannya?

"Apakah Anda percaya kepada Tuhan?" demikian pertanyaan penyair Amerika-Jerman 
George Sylvester Viereck yang berkunjung ke apartemen Einstein tepat setelah 
ulang tahunnya yang ke-50. Di apartemen itu, Elsa menghidangkan jus rasberi dan 
salad buah, kemudian kedua pria itu naik ke kamar pertapaan Einstein di lantai 
atas.

"Saya bukan ateis," kata Einstein. "Masalah itu terlalu besar untuk pikiran 
kita yang terbatas. Kita seperti anak kecil yang memasuki perpustakaan maha 
luas dipenuhi buku dalam banyak bahasa. Anak itu tahu seseorang pasti telah 
menulis semua buku itu. Namun anak itu tidak tahu cara menuliskannya. Anak itu 
tidak tahu bahasa yang si penulis gunakan. Anak itu sedikit mencurigai ada 
urutan misterius ketika meletakkan buku-buku itu di dalam rak, tetapi dia tidak 
bisa menjelaskan mengapa harus berurutan seperti itu. Menurut saya, inilah 
sikap manusia paling pintar kepada Tuhan. Kita melihat alam semesta diatur 
dengan sangat bagus dan mematuhi hukum tertentu, tetapi kita hanya sedikit 
memahami hukum tersebut."

Pada musim panas 1930, ketika sedang berlayar dan merenung di Caputh, Einstein 
menulis sebuah esai sebagai kredo yang berjudul Apa yang Saya Yakini (hal. 
66-72). Kredo tersebut diakhiri dengan pernyataan religiusitasnya, tentang 
Newton, dan pemikir-pemikir sains yang suka menghabiskan waktu mengamati 
benda-benda langit:

"Perasaan paling indah yang bisa kita rasakan adalah perasaan misterius. Itu 
adalah perasaan mendasar yang menjadi tiang bagi semua seni dan ilmu 
pengetahuan sejati. Bagi mereka yang merasa asing dengan perasaan ini, yang 
tidak pernah merasa heran dan berdiri dengan penuh kekaguman, sama saja dengan 
mati, seperti lilin yang padam. Memahami bahwa di balik semua yang bisa kita 
alami terdapat sesuatu yang tidak bisa dipahami oleh pikiran kita, yang 
keindahan dan keagungannya menyentuh kita secara langsung, inilah yang disebut 
religius. Dalam pengertian ini, hanya dalam pengertian ini, saya bisa disebut 
pria beragama yang taat." (hal. 71-72).

"Sebab Tuhan tidak sedang melempar dadu ketika menciptakan jagat raya. Tuhan 
tidak bertaruh dan menyerahkan masa depan benda-benda kepada waktu. Sudut 
terkecil dari lempengan ruang-waktu, daun-daun yang berjatuhan, debu 
benda-benda langit, keseluruhannya berada dalam keteraturan kausalitas 
universal yang tidak mungkin diciptakan oleh entitas yang sederhana dan tak 
memikirkan segala sesuatunya. Maka seluruh penalaran Newton akan alam semesta 
yang kita warisi menjadi teori, rumus, dan angka-angka, tidak lain adalah 
caranya untuk 'mengetahui pikiran Tuhan, sisanya hanya detail-detail'." (hal. 
82).

Tuhan dalam Benak Einstein

Seberapa taat Einstein sebagai orang beragama? Suatu kali seorang gadis kecil 
yang masih duduk di sekolah dasar mengajukan pertanyaan tersebut dalam redaksi 
yang sedikit lugu dan polos: Apakah ilmuwan berdoa? Einstein tersentak 
mendengar pertanyaan ini, lantas menuliskan jawaban panjang yang sangat serius, 
entah bisa dipahami oleh gadis kecil yang bahkan belum mengenal penderitaan. 
Jawaban ini yang kemudian mengantarkan kita kepada konsepsi Einstein tentang 
agama, Tuhan, dan cosmic religion (hal. 4; mungkinkah konsep ini diterjemahkan 
lebih baik dari 'religius kosmis'?)

Penjelasan panjang Einstein, jika hendak kita sederhanakan, ketaatan agama 
seorang ilmuwan menghendakinya untuk tidak berdoa. Doa diperuntukkan bagi 
orang-orang yang menyembah Tuhan karena rasa takut atau moralitas yang selalu 
mengharapkan perlindungan. Orang-orang ini masih melihat diri mereka sendiri 
terpisah dengan benda-benda di sekitarnya dan hanya menghendaki kebahagiaan 
untuk diri sendiri. Sementara para ilmuwan telah sampai kepada pemahaman bahwa 
hubungan manusia dengan alam semesta telah sempurna dan tak perlu lagi 
intervensi Tuhan secara langsung. Sebab ini bisa mengganggu keteraturan alam 
semesta.

Cosmic religion Einstein sejatinya adalah model spiritualitas para penemu. 
Mereka menemukan Tuhan yang telah sempurna, sesempurna keteraturan dan 
keterikatan yang berlaku di alam semesta. Ini justru membebaskan mereka dari 
keterikatan terhadap agama yang diwariskan oleh sejarah yang penuh dengan 
mitos, pembalasan, dan pengampunan. Jika kita menyembah Tuhan, pada umumnya, 
karena rasa takut atau karena mengharapkan sesuatu yang lebih baik, Einstein 
dan para ilmuwan merasa tidak ada lagi yang perlu diubah dari alam semesta ini. 
Semuanya telah sempurna. Bahkan penderitaan, bahkan kebahagiasn, semua benda 
dan entitas jagat raya telah memiliki kadarnya masing-masing.

Kita tidak bisa membayangkan seandainya buku ini beserta esai-esai perihal 
religiusitas dan kemanusiaan diterjemahkan lebih awal bersamaan dengan masuknya 
rumus-rumus Einstein ke dalam kurikulum sekolah. Einstein mulai beralih kepada 
wacana spiritualitas sesaat sebelum penyesalannya yang sangat mendalam ketika 
teori kuantum justru memorak-porandakan peradaban lewat bom atom. Tentu guru 
dan pakar sains kita tidak begitu kaku dan jauh dari agama; anak-anak sekolahan 
yang kelak memegang otoritas agama tidak akan semena-mena merasa paling 
beragama lantaran sains ternyata telah sampai kepada taraf pemahaman agama yang 
jauh lebih tinggi.

Namun memasuki semesta pikiran Einstein sama susahnya dengan mencari keberadaan 
Tuhan yang disembunyikannya dalam rumus E = MC2. Jauh sebelum dan setelah 
Einstein hidup, sains dan agama berjalan dalam wilayah edarnya masing-masing, 
tanpa pertautan, bahkan lebih sering berbenturan. Maka perlu permenungan, 
imajinasi dan kejenakaan layaknya Einstein untuk menautkan kembali keduanya. 
Sebab, sebagaimana keteraturan alam semesta, begitulah ia menjalin ikatan 
antara sains dan agama.

Muhammad Aswar dosen Ilmu Alquran dan Tafsir STAI Sunan Pandanaran Yogyakarta

(mmu/mmu)
albert einstein
sains
agama
isaac newton







Kirim email ke