-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>

https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1974-pilih-pilih-teken-uu




Kamis 29 Oktober 2020, 05:00 WIB 

Pilih-Pilih Teken UU 

Gaudensius Suhardi Dewan Redaksi Media Group | Editorial

   Pilih-Pilih Teken UU MI/Ebet Gaudensius Suhardi Dewan Redaksi Media Group. 
APAKAH boleh presiden tidak meneken undang-undang (UU) yang rancangannya 
dibahas bersama kemudian disetujui bersama DPR? Jawabannya boleh dan sesuai 
dengan ketentuan konstitusi meski secara etis boleh-boleh saja dipersoalkan. 
Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 menyatakan bahwa dalam hal rancangan undang-undang 
(RUU) yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan presiden dalam waktu 
30 hari semenjak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi undang-undang 
dan wajib diundangkan. Frasa ‘sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan’ 
sempat menimbulkan perdebatan saat pembahasan di Panitia Ad Hoc III Badan 
Pekerja MPR pada 1999. Perdebatannya ialah apakah frasa tersebut tidak bermakna 
memaksa presiden? Ada pendapat yang muncul dalam rapat Panitia Ad Hoc III Badan 
Pekerja MPR pada 11 Oktober 1999. Pendapat itu mengatakan frasa itu memang 
bertujuan memaksa presiden. Argumentasinya, ada praktik pemerintahan yang ikut 
membahas RUU, malah dibahas kalimat per kalimat, tiba-tiba di ujungnya presiden 
tidak mau meneken. Contoh yang diberikan dalam rapat itu antara lain RUU 
Penanggulangan Keadaan Bahaya. RUU itu disetujui DPR bersama presiden pada 23 
September 1999, tapi tak kunjung disahkan presiden. Tidak disahkan karena ada 
penolakan masyarakat. Ada istilah bahasa Jawa yang muncul dalam rapat Panitia 
Ada Hoc III Badan Pekerja MPR, yaitu muspro. Artinya ialah melakukan sesuatu 
perkerjaan yang sia-sia. Disebutkan bahwa frasa ‘sah menjadi undang-undang dan 
wajib diundangkan’ bukanlah upaya memaksa, melainkan agar pembahasan bersama 
RUU oleh pemerintah dan DPR tidak mengalami hal-hal yang muspro. Pemfinalan 
Pasal 20 ayat (5) itu baru disahkan pada Sidang MPR 15 Agustus 2000. Disahkan 
setelah ada pemahaman bahwa Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 itu merupakan sebuah 
penegasan bahwa karena presiden telah memberikan persetujuan bersama DPR atas 
RUU, tidak ada alasan lagi buat presiden untuk menolak. Dengan demikian, RUU 
yang telah mendapat persetujuan bersama tidak sia-sia dan berlaku walaupun 
presiden tidak menandatangani. Dengan demikian, ada empat ayat dalam Pasal 20 
UUD 1945 yang diputuskan pada Sidang MPR 1999 dan ayat (5) diputuskan dalam 
Sidang MPR 2000. Selengkapnya bunyi Pasal 20 ayat (1) ialah Dewan Perwakilan 
Rakyat memegang kekuasaan membentuk UU. Ayat (2) ialah setiap RUU dibahas DPR 
dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Selanjutnya, ayat (3) jika RUU 
itu tidak mendapat persetujuan bersama, RUU itu tidak boleh diajukan lagi dalam 
persidangan DPR masa itu. Ayat (4) presiden mengesahkan RUU yang telah 
disetujui bersama untuk menjadi UU dan ayat (5) dalam hal RUU yang telah 
disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh presiden dalam waktu 30 hari 
semenjak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib 
diundangkan. UU yang berlaku otomatis diatur lebih lanjut di Pasal 73 UU 
12/2001 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kalimat 
pengesahannya, menurut Pasal 73 ayat (3), UU ini dinyatakan sah berdasarkan 
ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945. Kalimat pengesahan itu, menurut ayat (4), 
harus dibubuhkan pada halaman terakhir UU sebelum pengundangan naskah UU ke 
dalam lembaran negara. Ambil contoh UU 19/2019 tentang KPK. Di lembaran 
terakhir tidak ada tanda tangan Presiden Joko Widodo. Di halaman itu ditulis: 
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 17 Oktober 2019, diteken Tjahjo Kumolo 
selaku Plt Menkum dan HAM. Di bawah nama Kumolo tertera tulisan: UU ini 
dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945. Megawati 
Soekarnoputri selama menjabat presiden, 23 Juli 2001-20 Oktober 2004, juga 
tidak menandatangani lima UU yang telah disetujui bersama dalam Sidang 
Paripurna DPR. Kelima UU itu ialah UU tentang Kepulauan Riau (2002), UU tentang 
Penyiaran (2002), UU tentang Profesi Advokat (2003), UU tentang Keuangan Negara 
(2003), serta UU tentang Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan 
Perdagangan (2003). Mengapa presiden pilih-pilih untuk teken UU? Bukankah RUU 
diajukan ke DPR disertai amanat presiden (ampres) yang didalamnya terdapat 
penugasan menteri untuk ikut membahas dan menteri itu membacakan persetujuan 
pemerintah dalam Rapat Paripurna DPR? Jika ada substansi RUU yang disetujui 
untuk diundangkan tidak sesuai dengan keinginan presiden, ada dua kemungkinan. 
Pertama, lemahnya kontrol presiden atas menteri yang memberikan persetujuan 
tersebut. Tersirat bahwa menteri tidak pernah melaporkan perkembangan 
pembahasan RUU kepada presiden. Kedua, presiden berubah sikap setelah muncul 
penolakan masyarakat. Meskipun UUD 1945 memungkinkan suatu RUU menjadi UU tanpa 
pengesahan presiden, apakah persetujuan semacam itu tidak merupakan anomali 
praktik ketatanegaraan? Itulah pertanyaan mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir 
Manan ketika menjadi saksi ahli dalam uji materi UU 19/2019 tentang KPK. 
Anomali yang dimaksud Bagir Manan ialah, baik prosedural maupun substansial, 
tidak sesuai dengan asas atau prinsip umum pembentukan UU yang baik. Menurut 
Bagir, sebagai suatu beleid atau diskresi dalam tatanan demokrasi dan negara 
hukum, presiden seharusnya memberikan penjelasan kepada publik terkait dengan 
alasan tidak menandatangani UU KPK hasil revisi tersebut. Eloknya, ke depan, 
presiden perlu menjelaskan secara terbuka alasan tidak membubuhkan tanda tangan 
untuk mengesahkan UU agar tidak muncul tafsiran liar.

Sumber: 
https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1974-pilih-pilih-teken-uu






Kirim email ke