Harap jaga kesehatan baik-baik Bung Djie. Semoga hasil pemeriksaannya baik semuanya. Salam hangat, Arif Harsana -----Original-Nachricht----- Betreff: Re: [GELORA45] Tionghoa dalam Sumpah Pemuda Datum: 2020-10-30T09:21:48+0100 Von: "kh djie dji...@gmail.com [GELORA45]" <GELORA45@yahoogroups.com> An: "Gelora45" <GELORA45@yahoogroups.com>, "Sunny ambon" <ilmeseng...@gmail.com> Bung Sunny, Ya, kalau sumpah mestinya juga disebut kalau melanggar, bersedia dia sendiri, atau keluarganya atau sampai keturunannya kena kutuk ? Kami baru pindah apartemen. Untungnya kesehatan saya membaik setelah hampir setahun sejak juni tahun lalu sakit mulai dari sakit maag gara2 sudah puluhan tahun minum baby aspirin (81 mg) dan suatu hari makan terlalu banyak jeruk sekaligus, sampai kesakitan luar biasa dan jam 2.00 pagi dibawa ke EHBO rumah sakit. Saya minum baby aspirin dianjuri teman seorang cardioloog menjaga diri dari serangan jantung karena saya punya diabetes. Dokter MDL di rumah sakit bilang ya tidak apa apa waktu usia saya antara 60-70 tahun. Tetapi begitu di atas 70 tahun harus dibarengi minum anti asam, karena lapisan lambung sudah tipis. Lolos, sembuh dari sakit maag, sakitnya bergeser ke kanan. Ada batu empedu dan abces di liver. Chirurg R.S.Amstelland tidak berani mengo- perasi, untungnya saya diserahkan ke colleganya chirurg Vrije Univerisiteit Medisch Centrum. Setelah behandeling dua kuur antibiotika, dan menguatkan badan di rumah, saya dioperasi precis malam tahun baru Imlik, sehingga tidak bisa ikut pesta tahunan bersama. Dioperasi 5 jam, chirurgnya wanita menggantikan chirurg kepala yang kecapaian. Dioperasi jam 10.00 malam, padahal tadinya di plan jam 13.30 siang. Herannya tadinya jam 12.00 saya merasa lapar, kok akhirnya laparnya bisa hilang sampai besok paginya jam 5.00 pagi sadar, lalu diberi makan roti dan teh manis. Beberapa bulan kemudian saya muntah2 sampai setengah ember besar. Diastole saya tinggal 17, waktu dibawa ambulans masuk ICU. Dokternya bilang, hampir terlambat, tepat pada waktunya. Besok siangnya mulai membaik, dipindah ke Medio care 3-4 hari, kemudian 3-4 hari di interne dan boleh pulang setelah dokternya lihat saya sudah latihan jalan sendiri dengan rollator, sudah sanggup jalan bolak balik, dan ukuran2 Hb dan tekanan darah cukup baik. Senin yang lalu saya diambil darah, diperiksa, dan Jumát akhir minggu ini dokternya akan telpon beritahu kesimpulannya. Ada untungnya di zaman Covic-19, tidak perlu datang untuk bicara dengan dokternya sendiri. Sekarang takut kedinginan, gampang kena flu, takut kena Covic-19, jadi gerak jalan dalam apartemen dari kamar, ke kamar tamu ke pintu luar balik lagi sampai 10 kali. Sekarang massage sendiri dengan massage gun buatan Tiongkok. Murah 50 Euro, dianjuri fysiotherapeut saya, karena saya tidak berani datang ke prakteknya. Sudah dua kali di prakteknya ada dua patient kena Covic-19, sehingga fysiotherapeutnya ditest dulu apa ketularan. Ternyata tidak ketularan, boleh buka praktek lagi. Tetapi saya tidak berani ke prakteknya. Jadi dia yang datang, dihitung sekali behandeling di rumah = 1.5 kali normal. Tetapi sekarang karena pindah dari Amsterdam ke Amstelveen dekat anak, jadi terlalu jauh bagi fysiotherapeut saya untuk datang. Salam, Djie
Op vr 30 okt. 2020 om 08:07 schreef Sunny ambon ilmeseng...@gmail.com <mailto:ilmeseng...@gmail.com> [GELORA45] <GELORA45@yahoogroups.com <mailto:GELORA45@yahoogroups.com> >: Anehnya ikrar bersama disebut sumpah.. Apakah bukan pemalsuan? On Fri, Oct 30, 2020 at 1:05 AM ChanCT sa...@netvigator.com <mailto:sa...@netvigator.com> [GELORA45] <GELORA45@yahoogroups.com <mailto:GELORA45@yahoogroups.com> > wrote: Tionghoa dalam Sumpah Pemuda Oleh RAVANDO LIE* HALTE <https://www.jawapos.com/minggu/halte/> 25 Oktober 2020, 18:59:45 WIB <https://www.jawapos.com/minggu/halte/25/10/2020/tionghoa-dalam-sumpah-pemuda/> [Tionghoa dalam Sumpah Pemuda] ILUSTRASI (BUDIONO/JAWA POS) Pada 19 Oktober 2020, dilakukan serah terima secara simbolik rumah Sumpah Pemuda milik Sie Kong Lian dari keluarga Sie kepada negara. — MOMEN bersejarah tersebut dilakukan antara Dr Janti Silman selaku cucu Sie Kong Lian dan Dr Junus Satrio Atmodjo yang mewakili pemerintah Republik Indonesia. Peristiwa bersejarah itu dilakukan dalam sebuah webinar mingguan yang diselenggarakan panitia diskusi Nggosipin Tionghoa, yuk! (Cap Nggo Tio) dengan tema Sumpah Pemuda, Tionghoa Ikut? Turut hadir dua pembicara. Pertama, Prof Truman Simanjuntak (Center for Prehistoric and Austronesian Studies) yang memaparkan mengenai asal usul manusia Indonesia. Pembicara kedua, Udaya Halim (budayawan Tangerang), memaparkan tentang peran Tionghoa dalam Sumpah Pemuda yang selama ini mungkin kerap luput didiskusikan dalam sejarah besar Indonesia. Mulai tokoh-tokoh Tionghoa yang turut hadir dalam Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober 1928, kisah di balik rumah Sie Kong Lian yang ternyata sejak lama menjadi ’’markas’’ para tokoh pergerakan, media yang kali pertama memublikasikan lagu Indonesia, hingga sosok Tionghoa yang memproduksi dan memperbanyak piringan hitam lagu tersebut. Rumah Sie Kong Lian Sejarah Indonesia kerap mencatat bahwa Sumpah Pemuda merupakan salah satu tonggak sejarah terpenting yang menjadi titik balik perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Pemuda dari berbagai suku bangsa berkumpul di Jalan Kramat 106, Batavia. Termasuk empat orang Tionghoa yang berperan sebagai pengamat, yaitu Kwee Thiam Hong (anggota Jong Sumatranen Bond), Oey Kay Siang, Liauw Tjoan Hok, dan Tjio Djien Kwie. Empat sosok itu juga dikenal sebagai anggota kepanduan. Di rumah Sie Kong Lian tersebut, mereka mengikrarkan satu tumpah darah, satu bangsa, dan menjunjung tinggi bahasa Indonesia. Sejak rumah tersebut dibeli kali pertama oleh Sie Kong Lian pada 1908, berbagai pelajar STOVIA dan aktivis pergerakan Indonesia tercatat pernah indekos di sana. Nama-nama beken seperti Mohammad Yamin, A.K. Gani, Abu Hanifah, Amir Sjarifuddin, hingga Assaat pernah indekos di sana. Sie Kong Lian memang bermimpi agar atmosfer rumahnya tersebut bisa menginspirasi anak-anaknya untuk menjadi dokter sekaligus aktivis. Hal yang berhasil diwujudkan anak-anaknya kelak. Kepada anaknya yang bernama Sie Hok Liang (Yuliar Silman), Sie Kong Lian berpesan agar rumah tersebut tidak dijual lantaran ada nilai historis yang tak bisa dibayar dengan uang. Sang anak berhasil menjaga amanah tersebut dan bahkan meminta kepada para penerusnya untuk menghibahkan rumah itu ke negara bila saatnya tiba. Rumah Sie Kong Lian menjadi saksi perjuangan kemerdekaan dan pergerakan Indonesia didiskusikan di sana sehingga membuat rumah itu dijuluki sebagai Indonesische Clubgebouw atau Indonesische Clubhuis (IC). Setelah para aktivis IC memutuskan pindah ke Kramat Raya 156, rumah tersebut berkali-kali berganti penghuni baru sebelum menjadi Museum Sumpah Pemuda yang kita kenal saat ini. Indonesia (Raya) & Sin Po Kongres Pemuda II ditutup dengan lantunan syahdu lagu Indonesia yang dimainkan hanya dengan biola oleh Wage Rudolf Supratman, tanpa syair. Beberapa minggu berselang, tepatnya pada 10 November 1928, Sin Po Wekelijksche Editie (Sin Po edisi mingguan) memublikasikan lirik lagu tersebut lengkap dengan partiturnya. Keputusan itu jelas mengejutkan banyak pihak, terutama dari kalangan bumiputra, yang menganggap lagu tersebut seharusnya diterbitkan lebih dulu di koran Indonesia. Namun, sang penggubah lagu, W.R. Supratman, mengaku sempat menawarkan lagu tersebut ke beberapa surat kabar Indonesia, namun harus berakhir dengan penolakan. Ketakutan terhadap ancaman delik pers menjadi alasan kuat di balik penolakan tersebut. Supratman pun tidak patah semangat. Dirinya menawarkan lagu tersebut ke Sin Po, media tempatnya menjadi koresponden aktif. Setelah memainkan lagu itu di hadapan Ang Yan Goan, direktur Sin Po, disepakati agar lagu tersebut dimuat di Sin Po edisi mingguan. Di dalam memoarnya, Ang Yan Goan mengaku terkesima dengan alunan nada biola Supratman. Ia juga kagum dengan Supratman sebagai seniman sekaligus nasionalis sejati. Spirit itu dianggap Ang Yan Goan sejalan dengan misi Sin Po, yang sejak awal kemunculannya pada 1 Oktober 1910 memang dikenal sebagai pendukung kemerdekaan Indonesia. Baca juga: * Peringati Sumpah Pemuda, Anies Tekankan Kebijakan Berkeadilan <https://www.jawapos.com/jabodetabek/28/10/2019/peringati-sumpah-pemuda-anies-tekankan-kebijakan-berkeadilan/> * Hari Sumpah Pemuda, KPK Ajak Elemen Bangsa Bersihkan Negeri <https://www.jawapos.com/nasional/28/10/2019/hari-sumpah-pemuda-kpk-ajak-elemen-bangsa-bersihkan-negeri/> Yo Kim Tjan Setelahnya, Supratman berniat merekam dan memperbanyak lagu tersebut dalam bentuk piringan hitam. Setelah sempat ditolak Odeon dan Tio Tek Hong lantaran takut berurusan dengan polisi Belanda, akhirnya Yo Kim Tjan, pemilik Roxi Cinema House dan Lido, bersedia memproduksi dan mendistribusikan rekaman lagu tersebut melalui Toko Populair. Yo Kim Tjan jugalah yang menyarankan Supratman untuk memproduksi rekaman Indonesia Raya dalam dua versi. Versi pertama adalah versi asli yang dinyanyikan Supratman, sedangkan versi lainnya dibuat dalam format keroncong. Seluruh proses rekaman dilakukan secara sembunyi-sembunyi di rumah Yo di Gunung Sahari 37, Batavia. Namun, rencana itu keburu terendus intelijen Belanda yang membuat polisi bergerak untuk menyita seluruh rekaman tersebut. Salah satu piringan hitam yang tersisa diselamatkan putri tertua Yo, Kartika Kertayasa (Yo Hoey Gwat), dalam evakuasi semasa pendudukan Jepang dan awal revolusi. Pada 1953, Yo berencana memperbanyak rekaman tersebut supaya Indonesia Raya dapat dikenal lebih luas. Sempat ditolak Maladi yang kala itu menjabat kepala djawatan RRI, beberapa tahun berselang, Kusbini menjanjikan Yo dapat mengupayakan lisensi tersebut. Ternyata, Kusbini malah menyerahkan rekaman tersebut ke pemerintah republik dan Yo menerima surat yang menyatakan seolah-olah ia menyerahkan rekaman itu dengan sukarela. Terlepas dari berbagai catatan sejarah tersebut, baik yang heroik maupun kelam, momen serah terima rumah Sie Kong Lian itu tentu menjadi peristiwa penting yang patut dirayakan. Setelah bertahun-tahun tidak jelas status kepemilikannya, Gedung Museum Sumpah Pemuda tersebut akhirnya resmi dihibahkan kepada negara oleh keluarga Sie. Di tengah pandemi yang tengah melanda, berita seperti ini tentu ibarat oase di tengah gurun pasir. (*) — RAVANDO LIE, Kandidat doktor di University of Melbourne, Australia