Bukan Milenial, Megawati Sindir Jokowi?
R53<https://www.pinterpolitik.com/author/r53-203>-Saturday, October 31,
2020 17:00
https://www.pinterpolitik.com/bukan-milenial-megawati-sindir-jokowi
/Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. (Foto: Garudeya/Dreamstime.com)/
/7 min read/
*Uniknya, alih-alih mengangkat heroisme kalangan muda di Hari
Sumpah Pemuda, Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri justru
melayangkan kritik terhadap kalangan milenial, khususnya mereka
yang terlibat dalam demonstrasi penolakan UU Ciptaker. Namun,
mungkinkah kritik tersebut sebenarnya ditujukan kepada Presiden
Jokowi?*
------------------------------------------------------------------------
*PinterPolitik.com* <https://www.pinterpolitik.com/a>
Tanggal 28 Oktober 1928 adalah pertama kalinya ikrar persatuan tanah
air, bangsa, dan bahasa dibacakan. Sejak tahun 1959, 28 Oktober kemudian
ditetapkan sebagai Hari Sumpah Pemuda yang diperingati sampai saat ini.
Namun, peringatan Hari Sumpah Pemuda tahun ini agaknya sedikit berbeda.
Bagaimana tidak? Selaku pemimpin partai politik (parpol) paling berkuasa
saat ini, Megawati Soekarnoputri justru*mempertanyakan*
<https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201029212333-32-564061/sindir-megawati-demokrat-singgung-anak-jokowi-di-pilkada/>sumbangsih
milenial, khususnya mereka yang terlibat dalam demonstrasi penolakan
Undang-undang Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) untuk bangsa dan negara
pada 28 Oktober lalu. Lalu, Ketua Umum (Ketum) PDIP tersebut juga
mengaku telah mewanti-wanti Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar tidak
memanjakan milenial.
Sontak saja, pernyataan tersebut mengundang berbagai kritik. Tidak hanya
dari kalangan politisi dan pengamat, komedian Ernest Prakasa juga turut
memberi komentar. Pertama, Ernest meluruskan bahwa mereka yang terlibat
demonstrasi kemarin bukanlah milenial, melainkan agensi (Gen Z). Kedua,
sang komedian menegaskan bahwa milenial sudah banyak memberikan
sumbangsih yang membanggakan, misalnya di bidang*industri digital*
<https://kaltim.tribunnews.com/2020/10/29/megawati-singgung-milenial-ernest-prakasa-di-mata-najwa-narasi-tv-terlalu-bersemangat-hingga-lupa/>.
Namun, tentu aneh membayangkan bahwa Megawati tidak memahami poin
seperti yang diungkapkan oleh Ernest. Lantas, konteks sumbangsih apa
yang sekiranya diungkit oleh putri Soekarno tersebut?
*/Straw Man Fallacy/*
Di titik ini, mungkin kita dapat memahami bahwa pernyataan tersebut
adalah bentuk kejengkelan Megawati terhadap para demonstran, khususnya
mereka yang melakukan tindakan anarkis. Atas kejengkelan tersebut, Ia
kemudian melayangkan kritik atau mungkin tepatnya serangan dengan
mempertanyakan sumbangsih para pedemo.
Akan tetapi, konteks sumbangsih yang dicetuskan Megawati tampaknya tidak
seperti yang disebutkan Ernest, melainkan lebih kepada sumbangsih
politik. Dengan kata lain, boleh jadi Ketum PDIP tersebut hendak
membandingkan para milenial dengan pejabat-pejabat yang duduk di
pemerintahan.
Jika benar itu yang terjadi, maka terdapat kemungkinan Megawati telah
melakukan kesalahan penalaran yang disebut dengan/straw man fallacy/.
Louis de Saussure dalam*tulisannya*
<https://www.researchgate.net/publication/323635601_The_Straw_Man_Fallacy_as_a_Prestige-Gaining_Device>/The
Straw Man Fallacy as a Prestige-Gaining Device/menyebutkan/straw
man/sebagai “pemenang pragmatis”. Ini bukan hanya karena kekuatan
persuasifnya, melainkan lebih kepada kemampuannya untuk menyerang lawan
sekaligus meningkatkan prestise penggunanya.
Pada praktiknya,/straw man/digunakan dengan cara fokus untuk menyerang
titik terlemah lawan, yang kemudian dibesar-besarkan seolah itu adalah
masalah yang begitu substansial. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald
Trump adalah salah satu politisi yang paling sering menggunakan teknik ini.
Pada*debat Pilpres*
<https://www.inverse.com/article/25781-straw-men-arguments-politics-2016/>AS
2016 yang lalu, Trump menggunakan teknik ini untuk menyerang Hillary
Clinton. Saat itu, Clinton menggunakan istilah/open borders/(membuka
perbatasan) ketika membahas topik mengenai reformasi imigran.
Saat itu, tanpa memedulikan konteks Clinton, yakni membuka pintu untuk
barang dan energi, Trump justru berfokus pada istilah tersebut dengan
menyebut Clinton ingin membuka gerbang agar imigran bebas masuk. Jelas
saja serangan tersebut menguatkan jargon/America First/yang diusung Trump.
Pada debat Pilpres AS 2020, Trump kembali menggunakan teknik ini.
Alih-alih memuji Joe Biden karena tampil prima dan kompeten di debat
terakhir, Trump justru menantang Biden untuk melakukan*tes narkoba*
<https://www.suara.com/news/2020/08/27/170218/heran-lihat-joe-biden-tampil-prima-donald-trump-tantang-tes-narkoba/>.
Menariknya, tantangan serupa juga dilayangkan pada 2016 lalu kepada
Clinton ketika terlihat begitu bersemangat di sesi debat.
Menurut de Saussure,/straw man/memiliki tingkat persuasi yang tinggi
karena lawan bicara dengan mudah terpancing emosi sehingga tidak tenang
dan jernih menghadapi serangan. Ini kemudian membuat lawan mau tidak mau
menerima serangan tersebut meskipun mereka menyadari argumentasi yang
dikeluarkan oleh penyerang tidak memiliki relevansi logis. Konteks emosi
ini yang membuat teknik/straw man/sulit untuk dilawan balik.
George Y. Bizer, Shirel M. Kozak, dan Leigh Ann Holterman
dalam*tulisannya*
<https://www.researchgate.net/publication/233313775_The_persuasiveness_of_the_straw_man_rhetorical_technique>/The
Persuasiveness of the Straw Man Rhetorical Technique/, juga menyebutkan
bahwa/straw man/telah menjadi semacam teknik umum politisi karena teknik
ini dipercaya memiliki kemampuan persuasi yang mumpuni.
*/Straw Man/**Kala Pilpres 2019*
Di Indonesia, teknik ini juga kerap kali dipertontonkan oleh politisi
tanah air. Pada Pilpres 2019 lalu, teknik ini kerap digunakan oleh kubu
pendukung Joko Widodo-Ma’ruf Amin untuk menyerang Prabowo
Subianto-Sandiaga Uno.
Mantan politisi Partai Demokrat, Ruhut Sitompul, misalnya, menyindir
Prabowo-Sandi yang disebutnya*belum memberikan*
<https://akurat.co/ekonomi/id-537334-read-prabowosandi-sudah-berbuat-apa-hingga-produksi-karet-alam-terus-merosot/>bukti
kinerja. Saat itu, berbagai capaian Presiden Jokowi seperti membangun
jalan tol juga disanding-sandingkan dengan Prabowo yang disebut belum
berbuat apa-apa.
Terang saja, serangan tersebut direspons geram oleh berbagai pendukung
Prabowo-Sandi. Ini misalnya dilakukan dengan mengkritik capaian-capaian
yang dikemukakan oleh pihak Jokowi-Ma’ruf. Akan tetapi, apabila pihak
Prabowo-Sandi melihat secara jernih dan tenang, mereka sebenarnya dapat
dengan mudah membalikkan serangan tersebut.
Alasannya sederhana, yakni serangan tersebut adalah kekeliruan logis.
Itu adalah/straw man fallacy/. Masalahnya, dengan status Prabowo yang
belum pernah menjabat sebagai Kepala Daerah atau Kepala Pemerintahan,
tentu saja mantan Danjen Kopassus tersebut tidak memiliki capaian
seperti Presiden Jokowi. Dengan kata lain, itu adalah serangan yang
menitikberatkan pada aspek lemah sang Ketum Partai Gerindra.
Konteksnya tentu berbeda apabila perbandingan dilakukan pada konteks
yang setara, seperti kecerdasan atau pengetahuan masing-masing kandidat
presiden. Jika ini yang dilakukan, akan mudah bagi pihak Prabowo-Sandi
untuk menyeimbangi ataupun melawan balik serangan yang ada. Akan tetapi,
sebagaimana yang kita lihat, pada Pilpres 2019 kemarin, apa yang
ditonton publik bukanlah adu gagasan, melainkan lebih pada melempar
narasi-narasi sentimental yang memancing emosi publik.
*Megawati Kritik Gibran-Bobby?*
Dalam kritiknya kepada milenial baru-baru ini, Megawati besar
kemungkinan telah melakukan teknik ini. Pasalnya, jika benar konteks
sumbangsih Megawati adalah sumbangsih politik, maka putri Soekarno
tersebut telah melakukan serangan serupa seperti yang dialami Prabowo
pada penjelasan sebelumnya.
Tentu kita paham, milenial atau mungkin tepatnya para anak muda yang
melakukan demonstrasi kemarin bukanlah pejabat yang memang bukan
tugasnya untuk menelurkan kebijakan politik. Kapasitas mereka adalah
untuk memberikan kritik melalui demonstrasi. Ini adalah/checks and
balances/yang memang menjadi keunggulan mahasiswa.
Akan tetapi, rasa-rasanya cukup ganjil jika menyimpulkan Megawati telah
melakukan teknik ini. Pasalnya, dalam kesempatan tersebut, Megawati juga
menyinggung agar Presiden Jokowi tidak memanjakan milenial. Melihat pada
kasus banyaknya demonstran yang mendapatkan tindakan represif dari
aparat, bukankah itu jelas tidak mencerminkan istilah “memanjakan”?
Lalu, Megawati yang sangat menghormati ayahnya, Soekarno, tentu tidak
mungkin melupakan pernyataan “Beri aku 10 Pemuda niscaya akan ku guncang
dunia” dari sang proklamator. Keganjilan tersebut juga diperkuat dengan
kemampuan bahasa politik Megawati yang disebut*memiliki*
<https://pinterpolitik.com/megawati-soeharto-dan-politik-dendam>/high
level political language/atau bahasa politik level tinggi.
Dengan kata lain, besar kemungkinan pernyataan Megawati tersebut justru
memiliki makna yang berbeda daripada yang selama ini direspons publik.
Dengan pernyataannya agar Presiden Jokowi tidak memanjakan milenial,
boleh jadi kritik tersebut ditujukan kepada keluarga sang presiden,
yakni Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution yang saat ini tengah
maju di Pilkada 2020.
Dengan usia Bobby yang baru menginjak 29 tahun dan Gibran yang baru 33
tahun, keduanya jelas masuk ke dalam ketegori milineal. Artinya,
terdapat kemungkinan bahwa kritik tersebut sebenarnya ditujukan kepada
keduanya. Pasalnya, majunya Gibran dan Bobby telah memunculkan gejolak
internal di tubuh PDIP dan memantik sentimen minor publik perihal
politik dinasti. Ini jelas buruk bagi PDIP yang membutuhkan
elektabilitas dan proses kaderisasi partai.
Selain itu, bagi mereka yang mengikuti perjalanan pencalonan Gibran dan
Bobby, tentu melihat sikap PDIP sejak awal seperti mendua. Kader senior
PDIP, Akhyar Nasution dan Achmad Purnomo juga telah menjadi korban atas
majunya keluarga Presiden Jokowi tersebut.
Akan tetapi, di luar spekulasi yang ada, tentu kita paham bahwa hanya
Megawati yang benar-benar mengetahui siapa yang sebenarnya Ia kritik
pada Hari Sumpah Pemuda kemarin. Entah itu para demonstran, Gibran
ataupun Bobby, kita hanya bisa melihat bagaimana PDIP merespons kritik
sejumlah pihak atas pernyataan Ketua Umumnya tersebut. Menarik untuk
ditunggu kelanjutannya. (R53)